Opini
Sertifikat Bodong, Aspal Adalah Pidana Korupsi, Organized Crime
Catatan Munarman SH
Ramai pembelokan dan penyesatan informasi oleh pihak Agung Sedayu Group terkait SHM dan SHGB di kawasan laut yang tengah dijadikan proyek PIK-2. Gerombolan Agung Sedayu Group melalui buzzer dan influencer sedang berupaya keras untuk membenarkan semua kejahatan yang dilakukan oleh Agung Sedayu Group.
Modus disinformasi - penyesatan informasi secara sengaja - yang dilakukan oleh mereka adalah sebagai berikut ;
1. Menyebarkan informasi sesat dan hoax, seolah- olah proyek PIK-2 yang meliputi 8 kecamatan dan puluhan desa di kabupaten Tangerang hingga Kabupaten Serang adalah PSN.
Padahal jelas, sebagaimana dikatakan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bahwa PSN Eco Tourism Tropical Coast hanya seluas 1.775 Ha, yang meliputi wisata kawasan hutan mangrove. Bukan proyek koloni pemukiman mewah ekslusif yang akan dijual ke warga negara Republik Rakyat China sebagai konsumen utama.
2. Menyebarkan informasi sesat dan hoax, bahwa SHM dan SHGB yang berjumlah 260-an yang terbit tahun 2023, dan di atas laut, adalah dulunya daratan berupa tambak dan sawah milik warga, yang sudah punya dokumen kepemilikan tanah dan dibeli oleh Agung Sedayu Group.
Terhadap issue sertifikat ini jelas jelas merupakan sebuah kejahatan terorganisir baik berupa korupsi sebagai pidana pokoknya (predicate crime), maupun berbagai pidana ikutan sebagai modus, yaitu, pidana pemalsuan dokumen, pidana pencucian uang dan berbagai pelanggaran HAM terhadap warga desa yang telah diintimidasi dan dipaksa melepaskan hak atas tanahnya di wilayah daratan.
Seharusnya negara dalam hal ini aparat penegak hukum mulai dari KPK dan Kepolisian, segera bertindak untuk melakukan proses hukum. Baik itu tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam penerbitan SHM dan SHGB yang jelas melanggar hukum maupun pidana pemalsuan dokumen untuk perolehan hak atas tanah, penyebaran informasi hoax yang terorganisir oleh kaki tangan Agung Sedayu Group.
Bahkan hingga pidana kekerasan dan intimidasi terhadap warga desa yang tertipu dengan informasi awal, bahwa PIK-2 adalah PSN padahal bukan. Juga harus ada pemecatan terhadap aparat keamanan yang selama ini telah bertindak sebagai kaki tangan Agung Sedayu Group dalam mengkriminalisasi banyak orang yang menolak melepaskan hak atas tanahnya.
Tidak boleh masalah pagar bambu di laut yang semula ditujukan sebagai batas untuk mereklamasi daratan baru, hanya sekedar dibiarkan sebagai masalah pagar laut tanpa izin lalu dicabut begitu saja, tanpa ada proses hukum pidana terhadap semua yang terlibat dalam organized crime tersebut.
Proses Hukum Pidana Umum
Terhadap hal ini, perlu dikenakan UU ITE, terhadap kaki tangan Agung Sedayu Group, yang telah secara sengaja menyebarkan informasi HOAX, bahwa PIK-2 adalah merupakan PSN.
Larangan menyebarkan informasi hoax dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tercantum dalam Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 28 ayat (1) UU ITE melarang penyebaran berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang penyebaran informasi yang menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain untuk membenci atau bermusuhan. Pasal 28 ayat (3) UU ITE melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Pelaku penyebaran berita hoax dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Dalam kasus PIK-2 ini, jelas jelas, bahwa pihak pengembang yaitu Agung Sedayu Group telah secara sengaja menyebarkan informasi hoax, seolah-olah PIK-2 adalah Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dengan mendompleng status PSN ini, maka banyak sekali rakyat yang ditipu, dipaksa, diintimidasi, dan bahkan dikriminalisasi, sehingga harus terpaksa melepaskan hak mereka atas tanahnya.
Belum lagi aset negara, berupa jalan desa, jalan umum, sungai dan area publik lainnya, yang berpindah tangan ke pihak Agung Sedayu Group, secara melanggar hukum.
Terhadap situasi demikian, bisa dikembangkan tindak pidana, pemalsuan surat (pasal 263 dan 266 KUHP), perampasan kemerdekaan terhadap rakyat yang dikriminalisasi (pasal 333 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP) terhadap operator lapangan Agung Sedayu Group, maupun terhadap para buzzernya yang hingga hari ini terus menyebarkan informasi HOAX (pasal 28 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE).
Penegakan Aturan Hukum di Bidang Bisnis
Terhadap Agung Sedayu Group harus juga dikenakan sanksi, yang paling tidak harus dihentikan (suspend) perdagangan saham anak usahanya dengan kode PANI di Bursa Efek Indonesia, karena tidak memberikan informasi yang jujur terkait dengan PIK-2, yang sengaja disebarkan justru seolah PIK-2 adalah bagian dari PSN. Boleh dikatakan bahwa ini adalah merupakan penipuan informasi terhadap pemain saham dan bahkan terhadap lembaga BEI.
Sehingga setidaknya berdasarkan ;
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
- Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2015 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.04/2016 Tentang Laporan Tahunan Emiten Atau Perusahaan Publik.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 74/POJK.04/2016 tentang Penggabungan Usaha Atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.04/2017 tentang Laporan Kepemilikan Atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka.
Maka saham dengan kode PANI harus dihentikan bahwa harus dikeluarkan dari daftar perusahaan publik yang melakukan jual beli saham di Bursa Efek Indonesia.
Hal ini perlu dilakukan oleh OJK sebagai pengawas perdagangan saham di BEI, agar kredibilitas pasar saham Indonesia tidak hancur lebur oleh praktek bisnis tidak jujur pelaku usaha di Indonesia.
Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam kasus penerbitan SHM dan SHGB yang jumlahnya ratusan di dalam wilayah PIK-2 dan sudah diakui oleh pihak Agung Sedayu Group bahwa mereka memang melakukan proses untuk memperoleh SHM dan SHGB dari tangan pihak yang diklaim sebagai pemilik asal.
Patut diduga kuat, bahwa cara perolehan SHM dan SHGB tersebut adalah jelas - jelas melanggar hukum, baik berupa pemalsuan surat keterangan dari pihak perangkat desa yang menerbitkan seolah olah ada daratan atau bekas daratan, dengan menggunakan dokumen yang dibuat seolah olah dokumen tersebut sudah ada sejak tahun 1980-an.
Dengan modal dokumen 1980-an yang diduga kuat palsu inilah, lalu kemudian Agung Sedayu Group, membeli dokumen tersebut lalu mendaftarkan, seolah olah dokumen tersebut benar adanya berada di daratan.
Dengan menggunakan argumentasi logika hukum yang palsu tersebut, dengan gampang dapat dijawab sebagai berikut ;
Bahwa apabila memang klaim palsu dulunya pada tahun 1980-an lokasi yang dijadikan sertifikat tersebut adalah daratan berupa sawah dan tambak.
Maka jawaban hukum yang sudah sangat pasti, menurut ketentuan pasal Pasal 27 huruf b, pasal 34 huruf f, pasal 40 huruf f UUPA No.5 Tahun 1960, yaitu TANAHNYA MUSNAH.
Dengan kondisi fisik keadaan saat ini, sertifikat terbit di wilayah yang sudah menjadi laut/pesisir laut, maka ini artinya TANAH TERSEBUT SUDAH MUSNAH DITELAN LAUT, yang menimbulkan konsekuensi hukum HAPUSNYA HAK, BAIK HAK MILIK, HGU ATAUPUN HGB atas tanah yang "pernah ada" ada tersebut.
Itu apabila kita gunakan logika sesat dan informasi palsu dari pihak Agung Sedayu Group. Tanahnya "pernah ada" saja namun sudah musnah ditelan laut, maka otomatis hilang hak tersebut. Bagaimana bila kenyataannya bahwa tanah tersebut TIDAK PERNAH ADA ?
Maka sudah dapat dipastikan penerbitan ratusan sertifikat baik SHM maupun SHGB telah menyalahi UUPA No. 5 Tahun 1960 dan berbagai peraturan perundangan lainnya.
Yang jelas dengan terbitnya ratusan sertifikat tersebut, telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dibidang pertanahan, mulai dari tingkat kantor BPN hingga sangat memungkinkan di tingkat kantor kementerian ATR/BPN yang melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu PENYALAHGUNAAN WEWENANG.
Oleh karenanya Presiden Prabowo harus memerintahkan juga dengan membentuk satgasus pemberantasan pidana korupsi dalam kasus skandal penerbitan ratusan sertifikat tersebut.
Semoga segera terbit Keppres pembentukan Satgasus hukum yang komprehensif dalam menyelesaikan masalah PSN Palsu. Jangan sampai para mafia, bandar politik, bandit politik, dan organized crime mengganggu dan merobohkan pilar pilar negara dan pemerintahan. Ayo Pak Prabowo, Anda bisa dan kuat! (penulis adalah Advokat dan Praktisi Hukum)