Opini

Pelajaran dari Pati, Jangan Rakyat Disakiti

Catatan: Eko Satiya Hushada

Eko Satiya Hushada — Satu Indonesia
8 hours ago
Pelajaran dari Pati, Jangan Rakyat Disakiti
MELAWAN KEPONGAHAN - Rakyat Pati memenuhi janji.

RAKYAT Pati, Jawa Tengah, sedang mengajarkan sebuah pelajaran berharga kepada para pemimpin daerah di seluruh Indonesia: jangan pernah pongah kepada rakyat. Pelajaran ini muncul dari kemarahan besar terhadap Bupati Pati, Sudewo, yang memicu gelombang demonstrasi akibat kebijakannya menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

Kenaikan itu saja sudah cukup menyulut keresahan. Bara kekecewaan rakyat benar-benar membuncah setelah Sudewo, yang merupakan politikus Partai Gerindra, mengeluarkan pernyataan yang dinilai menantang dan meremehkan suara rakyat. Dengan nada angkuh ia berkata, “Jangankan 5 ribu orang yang demo, 50 ribu orang yang demo pun tidak akan membatalkan kebijakan PBB.”

Sikap semacam ini bukan saja melukai perasaan warga, tetapi juga menginjak martabat rakyat yang sedang bergulat dengan kesulitan ekonomi. Zaman sulit makan, pemimpinnya menambah persoalan. 

Meski pada akhirnya kebijakan kenaikan PBB-P2 tersebut dibatalkan, rakyat Pati tidak berhenti. Mereka tetap turun ke jalan, bukan hanya menolak kebijakan itu, tetapi juga menuntut Sudewo mundur dari jabatannya. Rakyat sudah terlanjur marah. Hati yang cukup terluka. 

Secara teori, pemerintah daerah memang memiliki kebutuhan untuk memperkuat fiskal. Banyak daerah yang sudah belasan tahun tidak menyesuaikan tarif PBB-P2, sementara ruang fiskal semakin sempit dan kebutuhan pembangunan meningkat. Pilihan yang tersedia untuk kepala daerah pun terbatas. Menaikkan pajak atau menambah utang daerah. 

Namun teori itu akan selalu berhadapan dengan realitas di lapangan. Rakyat yang saat ini kesulitan memenuhi kebutuhan pokok tentu akan bereaksi keras jika dikenai beban tambahan tanpa komunikasi yang baik, apalagi tanpa empati. Di sinilah Sudewo gagal total. Tidak hanya mengabaikan sensitivitas rakyat, tapi juga menambahkan bumbu kesombongan yang membuat luka itu semakin dalam, sangat dalam.

Kita perlu mengingatkan semua pemimpin, dari bupati/walikota hingga presiden, bahwa rakyat bukan objek pajak, bukan mesin pendulang dana, dan bukan sekadar angka di laporan keuangan daerah. Rakyat adalah pemilik sah negara ini. Seorang pemimpin dipilih untuk melayani mereka, bukan memerintah dengan jarak dan arogansi.

Pemimpin sejati akan berani menunda atau mengubah kebijakan demi melindungi rakyatnya. Pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik tembok kekuasaan sambil menikmati fasilitas mewah yang dibayar dari uang rakyat. Ia justru harus turun ke tengah rakyat, mendengar keluh kesah mereka, merasakan susah senang mereka, dan memutuskan kebijakan dari hati, bukan dari ego.

Pelajaran dari Pati ini jelas, rakyat akan membayar tunai kesombongan pemimpinnya. Harga yang dibayar seorang pemimpin pongah bisa sangat mahal. Mulai dari hilangnya kepercayaan hingga runtuhnya kekuasaan.

Sudewo lupa bahwa jabatan bupati bukanlah tahta kerajaan. Ia hanya mandat sementara, “disewa” lima tahun dengan gaji dan fasilitas dari uang rakyat. Maka pemimpin yang benar akan memposisikan diri sebagai pelayan rakyat. Bahkan kalau perlu, menjadi kacung rakyat. Karena di negara demokrasi, tuan sejatinya adalah rakyat itu sendiri.

Sekali lagi, bahwa pelajaran dari Pati ini jelas, kesombongan itu mahal. Satu kalimat pongah bisa membakar modal politik yang dibangun bertahun-tahun. Rakyat yang terluka tidak akan lupa. Rakyat Pati, saya angkat topi! (penulis adalah Pemimpin Redaksi Satuindonesia.co)


Berita Lainnya