Opini

Moral Hazard di Alam Merdeka

Catatan Ichsanuddin Noorsy*

Ichsanuddin Noorsy — Satu Indonesia
2 hours ago
Moral Hazard di Alam Merdeka

MARI kita pahami beberapa pengertian berikut. Merdeka namun tidak berdaulat disebut janitor atau pesuruh. Merdeka sekaligus berdaulat disebut leader fighter atau petarung yang memimpin. Berdaulat namun tidak merdeka disebut janitor prisoner atau tawanan pesuruh. Sedangkan tidak merdeka dan tidak berdaulat disebut humanless, atau ungkapan lainnya penindasan.

Berdaulat berarti memiliki kekuasaan tertinggi untuk menentukan hakikat dan keberadaan, tujuan dan keputusan sendiri tanpa campur tangan dan bebas dari tekanan pihak manapun. Negara berjalan dalam fondasi konstitusi yang sahih dan mengakar, serta  diarakan oleh visi dan misi yang diamanahkan oleh perjanjian akbar lagi suci. Maka, bagaimana mungkin dalam urusan pangan dan energi kita hanya berhenti pada level ketahanan, sebagaimana rencana RAPBN 2026? Padahal, ketahanan itu lebih rendah dari kemandirian, dan kemandirian sendiri berada di bawah tingkat kedaulatan.

Mari kita lihat RAPBN 2026. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat alokasi Rp335 triliun, Koperasi Merah Putih dan UMKM Rp 118 triliun, sementara Danantara dari dividen BUMN Rp200 triliun. Lantas, bagaimana dengan beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang di tahun 2026? Nyaris semua sektor barang dan jasa publik berada dalam daulat korporasi. Itulah neoliberalisme. Wujudnya adalah korporatisme, yang kini dikenal dengan sebutan oligark bisnis atau bandar politik.

Sejarah telah mencatat: tidak pernah ada pembangunan kemanusiaan yang adil dan beradab di bawah rezim neoliberalisme, korporatisme, dan finansialisasi. Adam Smith pernah menyindir, “Biarkan rakyat miskin menikmati hidup dari sisa-sisa makan malam kita.”

Dalam sejarah Barat merebut kuasa global dari Islam, tidak ditemukan konsep yang tangguh, teguh, dan teduh secara menyeluruh untuk menjawab kebutuhan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka memang mengakui adanya kekuatan yang Maha Kuasa, tetapi menolak adanya benchmark objektif. Padahal, contoh teladan ada pada Islam, sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad SAW.

Di Indonesia, banyak yang bersemangat mengikuti pola ekonomi Islam atau ekonomi syariah. Namun pada kenyataannya, pola dasar materialisme dan tata ruang materialistik tetap diberlakukan dan bercampur aduk tak keruan. Fantasi dan fatamorgana materialisme memang luar biasa, tetapi rapuh dalam pembuktiannya.

Ironisnya, di Barat kini justru muncul wacana post-neoliberalism, post-korporatisme, dan post-finansialisasi. Sementara di Indonesia, semua itu bukan hanya dipertahankan, tetapi bahkan berusaha diperkokoh. Contoh nyata adalah keberadaan Danantara serta perjanjian dagang Indonesia–Amerika Serikat. Lalu, apakah ini makna 80 tahun merdeka namun tidak berdaulat?

Banyak kalangan pemegang kuasa politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, pendidikan, hingga kesehatan lebih suka mengambil jalan penyesuaian dan penyelesaian struktural-fungsional. Sebab, jalan itu populis dan mudah difabrikasi. Padahal, masalah sebenarnya ada pada struktural fundamental (hulu) yang menuntut pondasi sikap jujur, tidak serakah (merasa cukup), bebas dari fantasi semu, serta realistis.  Pondasi berwujud dalam sikap tindak yang baik, benar, berani dan bertanggung jawab dalam menegakkan kedaulatan.

Karena itulah jangan heran bila kita kini merdeka tetapi tidak berdaulat, dan justru hidup dalam adab moral hazard: yang penting aku berkuasa dan kaya; jika engkau tak berdaya, itu urusanmu. (Penulis adalah analis politik ekonomi)


Berita Lainnya