Nasional
MAKI Serahkan Bukti Baru ke KPK
SK Menteri Jadi Dasar Bagi-bagi Kuota Haji

JAKARTA- Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan, telah menyerahkan bukti baru kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota tambahan haji tahun 2024. Bukti tersebut berupa salinan digital Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024, yang disebut menjadi dasar hukum pembagian kuota tambahan dan diduga melanggar aturan.
Menurut Boyamin, dokumen tersebut sangat penting karena keberadaannya sulit dilacak, bahkan oleh Panitia Khusus Haji DPR pada 2024 lalu. Ia menilai SK itu bertentangan dengan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji yang menetapkan kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen, bukan 50 persen seperti dalam SK tersebut.
“Surat keputusan ini diduga melanggar Undang-Undang Penyelenggaraan Haji yang mengatur kuota haji khusus hanya 8 persen, bukan 50 persen,” ujarnya.
Boyamin juga menyoroti bentuk hukum kebijakan tersebut. Menurutnya, pengaturan kuota haji seharusnya ditetapkan melalui Peraturan Menteri Agama yang disahkan Menteri Hukum dan HAM serta diundangkan dalam Lembaran Negara, bukan sekadar SK Menteri. Ia menduga SK tersebut disusun tergesa-gesa oleh empat orang, yaitu staf khusus menteri agama berinisial AR (Gus AD), pejabat eselon I berinisial FL, pejabat eselon II berinisial NS, dan pegawai setingkat eselon IV berinisial HD.
Atas dasar itu, MAKI mendesak KPK untuk menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam penyidikan perkara ini. Tujuannya, agar penelusuran aliran dana bisa dilakukan secara maksimal dan aset hasil korupsi dapat dikembalikan kepada negara.
Sementara itu, KPK telah resmi meningkatkan status perkara dugaan korupsi kuota tambahan haji 2024 dari penyelidikan ke penyidikan. Salah satu pertimbangannya adalah besarnya kerugian negara yang diperkirakan melampaui Rp 1 triliun.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan estimasi fantastis tersebut. Ia menjelaskan, angka itu merupakan hasil kalkulasi internal KPK yang telah dibahas bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selanjutnya, BPK akan melakukan audit investigatif untuk menentukan total kerugian negara secara rinci dan final.
“Dalam perkara ini, hitungan awal, dugaan kerugian negaranya lebih dari 1 triliun,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (11/8/2025).
Budi memaparkan, modus dugaan korupsi ini berpusat pada penyalahgunaan kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah. Sesuai aturan, alokasi kuota seharusnya 92 persen untuk jemaah haji reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus. Namun, dalam SK tersebut, pembagian kuota diubah menjadi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
Perubahan ini dinilai menguntungkan penyelenggara haji khusus yang dikelola pihak swasta, sekaligus merugikan jemaah haji reguler yang dikelola pemerintah karena memperpanjang masa antre keberangkatan mereka.
Dengan naiknya perkara ke tahap penyidikan, KPK kini memiliki kewenangan untuk memanggil paksa saksi dan melakukan langkah hukum lainnya. Fokus penyidikan diarahkan pada dua hal utama: mencari siapa pemberi perintah perubahan alokasi kuota dan menelusuri aliran dana yang mengalir ke pihak-pihak tertentu.
“Penyidik akan mendalami terkait dengan perintah-perintah penentuan kuota tersebut dan juga aliran uang tentunya,” ujar Budi.
KPK menegaskan komitmennya untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas dan memastikan seluruh pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum. Penelusuran aliran dana diharapkan dapat membuktikan adanya unsur suap atau gratifikasi dalam pengambilan kebijakan tersebut. (sa)