Internasional

Gelombang Protes Tolak Perang di Israel

Warga Gaza Diminta Evakuasi Jelang Serangan Besar

Redaksi — Satu Indonesia
19 hours ago
Gelombang Protes Tolak Perang di Israel
DESAK MUNDUR - Puluhan ribu warga Israel menggelar aksi demo, menuntut Netanyahu mundur dan akhiri serangan ke Gaza.

YERUSALEM - Gelombang protes menolak perang terus bergolak di Israel, bersamaan dengan langkah pemerintah yang mulai memaksa warga sipil meninggalkan Kota Gaza menjelang serangan besar-besaran untuk memburu Hamas.

Pada Minggu (17/8/2025), ribuan warga Israel turun ke jalan di berbagai kota. Mereka mendesak pemerintah segera mengakhiri perang di Jalur Gaza dan menuntut pembebasan para sandera. Menurut militer Israel, masih ada 49 tawanan di Gaza, termasuk 27 orang yang telah tewas.

Protes nasional ini muncul setelah Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana untuk merebut Kota Gaza bagian utara, kota terbesar di Jalur Gaza. Pekan lalu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa penduduk sipil akan dievakuasi dari kota yang disebutnya sebagai benteng terakhir Hamas.

Di Tel Aviv, bendera Israel dengan foto para sandera dikibarkan di Lapangan Sandera. Para demonstran juga membakar ban dan memblokir sejumlah jalan, termasuk jalur utama penghubung Tel Aviv–Yerusalem. “Sudah waktunya mengakhiri perang, membebaskan semua sandera, dan membantu Israel pulih menuju Timur Tengah yang lebih stabil,” ujar Doron Wilfand (54), demonstran di Yerusalem.

Protes juga terjadi di dekat rumah sejumlah menteri, antara lain Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, Menteri Pendidikan Yoav Kisch, Menteri Ekonomi Nir Barkat, serta Wakil Menteri Luar Negeri Sharen Haskel. Rekaman APTFV memperlihatkan massa berdemonstrasi di Beeri, kibbutz dekat perbatasan Gaza yang menjadi salah satu lokasi terdampak serangan Hamas 7 Oktober 2023.

Kemarahan turut disuarakan keluarga sandera. Viki Cohen, ibu dari sandera Nimrod Cohen, menilai pemerintah menutup telinga. Sementara Danny Elgarat, saudara dari sandera yang tewas Itzik Elgarat, menyebut, “Netanyahu seorang fasis dan pengecut.”

Kelompok keluarga sandera dan penyelenggara aksi juga menyerukan pemogokan umum. Sejumlah bisnis, universitas, dan kantor kotamadya ikut mendukung. Hingga pukul 11.38 waktu setempat, sembilan pengunjuk rasa ditangkap di Tel Aviv, sementara di Yerusalem polisi menembakkan meriam air untuk membubarkan massa.

Namun, aksi protes ini menuai kecaman dari pejabat sayap kanan. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menulis di X, “Israel terbangun pagi ini dan menyadari adanya kampanye jahat yang menguntungkan Hamas, mengubur sandera di terowongan, dan mencoba membuat Israel menyerah.”

Sementara itu, negosiasi gencatan senjata 60 hari yang difasilitasi AS kandas bulan lalu. Mesir dan Qatar kini mencoba mencari jalan keluar baru.

Israel telah menyusun rencana bertahap untuk menguasai Gaza, dimulai dengan Kota Gaza dan kamp-kamp di bagian tengah. Menurut Channel 12, tahap awal mencakup pemberitahuan evakuasi bagi sekitar 1 juta penduduk, dilanjutkan serangan militer. Proses itu diperkirakan memakan waktu empat hingga lima bulan.

COGAT, badan Kementerian Pertahanan Israel untuk urusan sipil Palestina, menyebut mulai Minggu pihaknya akan menyalurkan tenda dan perlindungan tambahan. Warga dipindahkan ke Gaza selatan melalui bantuan PBB dan organisasi internasional lewat perbatasan Kerem Shalom. Meski demikian, militer Israel enggan menjawab apakah relokasi itu menuju Rafah, wilayah berbatasan dengan Mesir.

“Kami kini menyusun rencana komprehensif untuk mengalahkan Hamas di Gaza dan memulangkan para sandera,” tulis Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, di X.

Rencana tersebut memicu kecaman internasional dan penolakan Hamas. Kelompok Jihad Islam menyebut langkah Israel sebagai “olok-olok terhadap hukum internasional.” UNOCHA, lembaga PBB, memperingatkan bahwa relokasi akan menambah penderitaan ribuan keluarga di Gaza karena tidak ada tempat aman tersisa.

Sementara itu, operasi militer Israel di pinggiran Kota Gaza terus meningkat. Badan Pertahanan Sipil Gaza melaporkan sedikitnya 40 orang tewas akibat serangan terbaru di bagian tengah Gaza pada Sabtu. Warga Zeitoun dan Shejaiya menyebut ledakan dari udara dan tank berlangsung sepanjang hari. “Kami tidak tahu rasanya tidur,” kata Ghassan Kashko (40), warga Zeitoun.

Sekitar 50 ribu penduduk di kawasan itu kini hampir tidak memiliki akses ke makanan, air, maupun kebutuhan dasar, menurut juru bicara Badan Pertahanan Sipil Gaza, Mahmud Bassal.

Perang Hamas–Israel dimulai sejak Oktober 2023, ketika serangan Hamas menewaskan 1.219 orang di Israel dan menyandera 251 orang. Israel kemudian melancarkan balasan yang hingga kini menewaskan 61.897 warga Palestina.

Pakar PBB sudah memperingatkan ancaman kelaparan meluas di Gaza, dengan lebih dari 90 persen populasi berisiko kelaparan. Israel memperketat masuknya bantuan ke wilayah berpenduduk 2,2 juta orang itu. Pembatasan media juga membuat data korban sulit diverifikasi secara independen. (sa)


Berita Lainnya