Opini
Laporan Pidana terhadap dr Tifa Cs Ngawur, Dagelan
Catatan Munarman SH

SETELAH alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diwakili Dokter Tifauzia Tyassuma (dr Tifa), Doktor Roy Suryo, dan Doktor Rismon berkunjung ke almamaternya UGM, Khususnya Fakultas Kehutanan di Jogja, dan rombongan TPUA diwakili Rizal Fadilah dkk silaturahmi ke rumah Joko Widodo (Jokowi) di Solo (15-16/4/2025), drama yang sengaja diperpanjang oleh pihak Jokowi berikutnya adalah dengan membuat Laporan Polisi terhadap ke-4 public speaker tersebut.
Dari pemberitaan media, dapat dikutip bahwa Peradi Bersatu melaporkan Roy Suryo ke Bareskrim Polri atas dugaan penghasutan terkait dugaan ijazah palsu Presiden RI ke-7 Jokowi(24/4/2025). Sehari sebelumnya Jokowi dan beberapa orang mengadakan pertemuan di Restoran Seribu Rasa, Jakarta (22/4/2025). Pertemuan tersebut dihadiri oleh Yakup Hasibuan dan sejumlah kuasa hukum.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan akan mempertimbangkan langkah hukum karena menganggap tudingan ijazah palsu sebagai fitnah. Dua hari berselang, sekelompok advokat yang tergabung dalam Peradi Bersatu mendatangi Bareskrim Polri untuk melaporkan 4 orang yaitu mantan Menpora Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Sianipar, Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Rizal Fadillah dan dokter Tifa.
Keempatnya dilaporkan sebab dituding sebagai pembuat kegaduhan soal ijazah palsu Jokowi. Laporan tersebut dilayangkan Andi Kurniawan selaku Ketua Pemuda Patriot Nusantara. Teregister dengan nomor LP/B/978/IV/2025/SPKT/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA.
"Kami akan melaporkan terkait tudingan ijazah palsu, dugaan penghinaan, penghasutan, dan membuat gaduh," kata Sekretaris Jenderal Peradi Bersatu Ade Darmawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan (24/4/2025).
Apa Itu Penghasutan? LP yg dibuat oleh anak buah jokowi, dari liputan berbagai media, salah satunya adalah terkait PENGHASUTAN. Dalam KUHP lama yang akan berakhir masa berlakunya awal tahun 2026 ini, Penghasutan diatur dalam Pasal 160. Bunyi Pasal 160 KUHP lama yang akan habis masa berlakunya hingga awal Februari 2026, sebagai berikut:
Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Patut diperhatikan bahwa pidana denda dalam Pasal 160 KUHP tersebut tidak lagi Rp4500 melainkan Rp4.5 juta berdasarkan ketentuan Pasal 3 PERMA 2/2012.
Unsur Pasal 160 KUHP
Dari bunyi Pasal 160 KUHP di atas, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal (hal. 136-137) menerangkan bahwa:
- “Menghasut” artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Contoh menghasut orang secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah.`Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: “Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?” - Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik.
- Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan adalah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang.Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum, demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat “kita sama kita”(onder onsjes, vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.
- Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya:
- Dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua perbuatan yang diancam dengan hukuman;
- Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan;
- Jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan;
- Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang.
PERUBAHAN DELIK DARI FORMIL KE MATERIIL
Sejak tahun 2009 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009, telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil (hal. 73).
Perubahan pasal penghasutan dari delik formil menjadi delik materil, artinya, perbuatan penghasutan itu hanya bisa dipidana apabila ada dampak langsung yang bersifat kejahatan maupun pelanggaran dari perbuatan penghasutan tersebut.
Dengan kata lain, Rumusan delik materil adalah seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.
Oleh karena itu dengan adanya putusan MK tersebut, jelas terlihat bahwa perbuatan penghasutan tidak dapat dipidana jika orang yang dihasut tersebut tidak melakukan perbuatan yang ada hubungannya dengan hasutan tersebut.
Harus ada hubungan sebab akibat (kausalitas) yang harus dapat dibuktikan secara material antara orang yang menghasut dan orang yang terhasut dalam satu rangkaian perbuatan sehingga dapat dipidana.
IMPLEMENTASI
Bila kita lihat dari segi pelaporan oleh Tim Jokowi, maka di antara 4 orang yang dilaporkan tersebut, adalah public speaker yang menggagas kunjungan ke UGM dan silaturahmi ke rumah Jokowi. Dalam posisi sebagai public speaker jelas ke-4 orang yang dilaporkan, dimaksudkan adalah sebagai "penghasut". Lantas siapa orang yang terhasut tersebut? Ini masalah hukum yang pertama.
Lalu, masalah yang kedua adalah, apakah mengajak publik berkunjung ke UGM dan silaturahmi ke rumah Jokowi adalah perbuatan yang bersifat pidana dan melanggar hukum? Hanya orang tuna akal yang berpendapat kunjungan ke UGM dan silaturahmi ke rumah Jokowi adalah perbuatan pidana dan melanggar hukum.
Kemudian, masalah yang ketiga, apakah ada orang yang pada saat kunjungan ke UGM dan silaturahmi ke rumah Jokowi tersebut melakukan perbuatan pidana ? Sepanjang yang dilaporkan oleh media, tidak ada satupun dari pihak, baik yang berkunjung ke UGM maupun yang silaturahmi ke rumah Jokowi melakukan perbuatan pidana, melanggar hukum, tidak mematuhi perintah penguasa umum, atau menentang Undang Undang.
Dan yang keempat, apakah terjadi kerusuhan atau keonaran yang berakibat rusaknya fasilitas umum pada saat kunjungan ke UGM dan silaturahmi ke rumah Jokowi? Hingga tulisan ini dibuat, belum ada media yang melaporkan adanya kerusuhan atau keonaran tersebut.
Justru yang berseliweran di media sosial adalah tindakan pidana oleh salah satu pendukung berat Jokowi yang melakukan tindak kekerasan terhadap salah satu aktivis yang hadir di Solo dengan cara mengintimidasi dan menarik ikat kepala dari salah satu aktivis. Perbuatan ini yang seharusnya dipidana.
PENUTUP
Dari uraian di atas, terlihat jelas, pelaporan terhadap ke-4 public speaker tersebut adalah semata mata untuk membungkam suara masyarakat yang kritis dan memiliki right to know terhadap semua informasi pejabat publik.
Right to know adalah hak asasi yang melekat dalam sistem politik yang mengklaim dirinya sebagai sistem politik yang demokratis. Kecuali apabila memang dinyatakan oleh penyelenggara negara dan kuasa gelap yang saat ini sedang menguasai NKRI, bahwa Indonesia memang bukan republik yang demokratis. Ini apabila parameternya adalah demokrasi.
Dari drama masalah ijazah yang disebut sebut palsu oleh ke-4 orang public speaker, jelas terlihat bahwa jokowi justru sedang berupaya melakukan reproduksi kekuasaan. Reproduksi kekuasaan adalah proses di mana seorang aktor atau kelompok yang telah berkuasa atau sudah selesai masa kekuasaannya berusaha untuk dapat mempertahankan atau memperluas kekuasaannya.
Ini seringkali melibatkan strategi drama dengan menggunakan ruang publik dan instrumen publik atau aparatur negara yang masih sangat loyal kepada rezim lama untuk memastikan kekuasaan tersebut tetap berada di tangan mereka atau digantikan oleh individu atau kelompok yang sejalan dengan kepentingan mereka.
Reproduksi kekuasaan dapat terjadi melalui berbagai cara, termasuk :
POLITIK DINASTI:
Proses di mana kekuasaan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga, sering kali dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan untuk mendapatkan dukungan politik dan memenangkan pemilihan.
PEMANFAATAN JARINGAN DAN SUMBER DAYA:
Aktor yang berkuasa dapat menggunakan jaringan sosial, kekayaan, atau pengaruh mereka untuk mempertahankan kekuasaan mereka atau mempromosikan orang-orang yang sejalan dengan mereka.
PENGARUH TERHADAP KEBIJAKAN:
Kekuasaan dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, memastikan bahwa kebijakan tersebut menguntungkan mereka atau orang-orang yang mereka dukung, menurut.
PENGGUNAAN KEKUATAN SIMBOLIK:
Aktor yang berkuasa dapat menggunakan berbagai simbol dan narasi untuk menciptakan citra yang kuat dan membangkitkan dukungan publik, seperti yang dijelaskan dalam artikel tentang dinasti politik.
Bila kita lihat konfigurasi pertarungan dalam konteks issue ijazah yang diduga palsu ini, maka pihak yang paling diuntungkan adalah justru Jokowi.
Sebab melalui issue ini, Jokowi justru melakukan reproduksi kekuasaan ;
Dengan tetap menjadi pembicaraan publik dan media, sehingga tetap menempatkan pengaruhnya dalam ruang publik.
Jokowi bisa mengukur loyalitas para pendukungnya, baik dari kalangan non state actor maupun state actor. Ini akan kita lihat pembuktiannya sejauh mana kesigapan pendukung non state actor membuat laporan dan kesigapan state actor dalam memproses laporan tersebut, apakah gerak cepat dan jalur toll, bila dibandingkan dengan Laporan Polisi yang sudah terlebih dahulu dibuat oleh TPUA di Bareskrim Polri.
Jokowi justru mendistribusikan keuntungan dalam permainan playing victim, sebagai korban, untuk memperbesar dukungan kepada dinasti politiknya yang sedang menjabat.
Semoga drama politik yang seperti labirin tak berujung ini dapat dipahami oleh para aktivis pejuang. Khusus kepada Dokter Tifa, Bang Rismon, Kang Rizal, dan Mas Roy, jangan gentar. Mereka hanya sekedar ingin membungkam melalui tangan tangan kuasa gelap di tengah situasi hukum yang amburadul. (penulis adalah praktisi hukum)