Nasional
Prabowo Nilai Akal-akalan, Denny JA: Kebijakan Keliru Konteks
Soal Tantiem BUMN, Presiden Persilahkan Mundur

JAKARTA - Presiden RI Prabowo Subianto menyinggung soal tantiem di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dinilainya hanya akal-akalan. Kepala Negara bahkan menegaskan, direksi dan komisaris pelat merah yang keberatan dengan penghapusan tantiem dipersilahkan mundur dari jabatannya.
Pernyataan itu disampaikan Prabowo dalam Sidang Tahunan MPR-DPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8). Ia mengungkap ada komisaris BUMN yang bisa meraup tantiem hingga Rp40 miliar per tahun, padahal rapat hanya sekali sebulan.
“Saudara-saudara, masa ada komisaris yang rapat sebulan sekali tantiemnya Rp40 miliar setahun,” ucap Prabowo.
Karena itu, pemerintah berencana menghapus pemberian tantiem, baik kepada direksi maupun komisaris BUMN. “Saya pun tidak mengerti apa arti tantiem itu. Itu akal-akalan mereka saja. Dia memilih istilah asing supaya kita tidak mengerti apa itu tantiem,” katanya.
Prabowo menyebut telah memerintahkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk menyetop tantiem. Ia menegaskan, direksi atau komisaris yang menolak keputusan tersebut sebaiknya mundur.
“Kalau keberatan, berhenti! Banyak anak-anak muda yang mampu siap menggantikan mereka,” tegasnya.
ATURAN TANTIEM BUMN
Tantiem BUMN diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia BUMN. Dalam aturan itu, tantiem dipahami sebagai penghargaan atas kondisi tertentu, misalnya BUMN memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari auditor, pencapaian KPI minimal 80% tanpa memperhitungkan faktor di luar kendali direksi, atau perusahaan tidak dalam kondisi merugi.
Berdasarkan pasal 106 ayat 1, tantiem diberikan kepada anggota Direksi maupun Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dengan komposisi berikut:
- Wakil Direktur Utama: 90% dari Direktur Utama
- Anggota Direksi: 85% dari Direktur Utama
- Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas: 45% dari Direktur Utama
- Wakil Komisaris Utama/Wakil Ketua Dewan Pengawas: 42,5% dari Direktur Utama
- Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas: 90% dari Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas
Dalam aturan ini tidak dicantumkan nominal pasti tantiem Direktur Utama. Namun, pada beleid sebelumnya, yakni Peraturan Menteri BUMN Nomor 02 Tahun 2009, besaran tantiem untuk Direktur Utama ditetapkan 100%.
Selain itu, pada pasal 72 disebutkan Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN yang merangkap jabatan di perusahaan lain wajib hadir minimal 75% rapat dalam setahun untuk bisa menerima tantiem. Sementara pasal 76 poin 5 mengatur bahwa penetapan tantiem mempertimbangkan kinerja, kemampuan keuangan perusahaan, serta faktor relevan lainnya.
DENNY JANUAR ALI: KEBIJAKAN KELIRU KONTEKS
Kebijakan BPI Danantara yang melarang pemberian tantiem dan insentif kinerja bagi komisaris BUMN dan anak usahanya menuai kritik. Salah satunya datang dari Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi, Denny Januar Ali.
Dalam tulisan berjudul 'Yang Benar dan yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara', Denny menilai kebijakan itu mengabaikan realitas beban kerja komisaris BUMN di Indonesia. Menurutnya, pelarangan tersebut keliru konteks karena memaksakan standar internasional yang tidak sesuai dengan sistem tata kelola korporasi di Indonesia yang menganut two tier board.
“Ini seperti rumah tangga yang memaksakan model arsitektur asing tanpa melihat bentuk tanah dan adat lokal,” tulis Denny, yang juga pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI), dikutip Minggu (3/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa larangan tantiem masuk akal bila diterapkan di negara dengan sistem one tier board seperti Inggris dan Amerika Serikat, di mana non-executive directors hanya berfungsi sebagai pelengkap struktur tanpa terlibat aktif dalam strategi perusahaan. Di sistem itu, tantiem dianggap rawan konflik kepentingan.
Namun, lanjut Denny, Indonesia secara yuridis dan kelembagaan menganut two tier board seperti di Jerman dan Belanda, di mana peran direksi (eksekutif) dan komisaris (pengawas) dipisahkan secara struktural. Karena itu, menurutnya, penerapan standar one tier board di Indonesia tidak tepat. (sa)