Features

Cerita Sahabat Desmond di Kaltim: Dari 'White House' Hingga Telepon saat Penculikan 

Eko Satiya Hushada — Satu Indonesia
28 Juni 2023 15:40
Cerita Sahabat Desmond di Kaltim: Dari 'White House' Hingga Telepon saat Penculikan 
SELAMAT JALAN, BANG DESMOND - Desmond J Mahesa.

KEPERGIAAN Desmond J Mahesa, 24 Juni 2023 lalu memang mengagetkan banyak orang. Karena ia baru saja muncul di televisi, memimpin sidang di DPR RI. Begitu juga seorang sahabatnya di Bontang, Kalimantan Timur, Dr Lilik Rukitasari SH, S.Sos, MH. Ia sangat terkejut ketika satuindonesia.co mengirim berita duka itu. Berikut tulisan Lilik Rukitasari, sahabat ketika Desmond tinggal di Samarinda. 


Dr Lilik Rukitasari SH, S.Sos, MH, Bontang, Kaltim 


PAGI hari Sabtu, 24 Juni 2023, pukul 08.14 WITA, seperti biasa, jika hari libur, saya dan suami selalu mengisi pagi dengan kegiatan jogging. Namun hari itu cuaca tampak sangat mendung, sehingga urung niat untuk kegiatan di luar rumah. Sambil berdiri memandang halaman rumah, pandangan ku teralihkan ke  telepon seluler yang tiba-tiba berbunyi. Ada pesan masuk.

Ketika membuka WhatsApp, ada pesan yang masuk. “Wah, tumben pagi-pagi ada pesan dari Pak Eko,” kata ku dalam hati.  Pak Eko Satiya Hushada adalah teman seperjuangan, ketika masih menjadi Komisioner di Komisi Informasi Publik Provinsi Kaltim, yang sejak tidak lagi menjabat, pindah menetap di Jakarta. Komunikasi kami pun tentu tidak inten seperti dulu lagi. Aku pun penasaran, ada apa sepagi ini Pak Eko mengirimiku pesan.  

Namun saat ku baca isi pesannya, membuat aku kaget, rasa tak percaya, namun harus tetap menerima keputusan Allah. Desmond Junaidi Mahesa, teman, sahabat, kalau boleh ku sebut juga mentor ku ketika 30 tahun yang lalu aku mengenalnya, kini telah berpulang ke haribaan Nya.

Aku masih tertegun membacanya berita kepergiannya, kaget, sedih rasa tak percaya. Karena baru dua hari lalu aku melihat dia di berita sebuah stasiun televisi nasional. Seperti biasa, Ia dengan pertanyaan tajam dan kritis ketika rapat dengar pendapat (RDP) bersama sejumlah pejabat dari Kepolisian

Pikiran ku jauh menerawang ke tiga puluh tahun yang lalu, ketika awal  mengenalnya. Aku membongkar banyak kenangan dan ingatan akan teman, sahabat ku Desmond J Mahesa. Orang yang dari dulu kukenal sebagai pribadi dengan prinsip yang kuat, dengan keberanian dan empati yang tinggi buat teman temannya. Tak terasa waktu lampau itu begitu singkat. Masih terasa segar di ingatan ku awal mengenalnya.

SAHABAT - Desmond saat ngopi di salah satu kafe di Senayan, bersama Pemred satuindonesia.co Eko Satiya Hushada (paling kiri) dan Erwin Dede Nugroho, direktur Grup Jawa Pos (nomor dua dari kiri). 

Kami tinggal di lingkungan yang sama tahun 1992, lingkungan anak anak kos di sekitaran kampus Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Tepatnya di Jalan Perjuangan, nama jalan yang seidentik dengan  nasib kami sebagai Mahasiswa yang sedang memperjuangkan hidup dan masa depan kami. 

Tentu sedikit berbeda dengan Bang Desmond, begitu kami semua memanggilnya. Beliau tinggal di asrama putra bernama White House. Begitu teman-teman menyebut nama kosan yang khusus  laki-laki. Bagi kami yang perempuan ini, menilai penghuni White House itu  identik dengan laki laki yang garang. Karena banyak dihuni mahasiswa senior dengan segudang aktivitasnya. Ada mahasiswa pencinta alam MAPALA yang terlihat eksentrik, aktivis kampus dan juga aktivis lingkungan. Gayanya tentu beda dari mahasiswa lainnya.

Uniknya, di tengah kegarangan itu, ada seorang lelaki yang tampak seperti kutu buku. Kacamatanya tebal, dan terkesan orang kantoran. Belakangan aku baru tahu, namanya Desmond, biasa dipanggil Bang Desmond. Namun bukan berarti Bang Desmond tidak garang. Paling tidak, ini tampak ketika ia marah dengan salah seorang penghuni White House hingga menimbulkan keributan. Entahlah, apa pangkal persoalannya. 

Aku tinggal tak jauh dari White House, asrama putri bernama New Green House. Satunya putih, satunya hijau. Mungkin pemiliknya sama. Karena jarak kosan kami yang berdekatan, aku selalu melintasi depan White House, baik ketika ke kampus Unmul maupun kampus Universitas 17 Agustus (Untag). Aku memang kuliah di dua kampus saat itu. Pagi di Unmul, sore di Untag. Makanya aku punya dua gelar akademik S1; S,Sos dan SH. 

Setiap melintas di depan White House, kami para wanita harus siap tebal kuping dan gaya cuek. Karena selalu ada celetukan iseng dari penghuni White House. Kadang komentar lucu, tapi sering juga komentar jahil menjengkelkan. Aku dipanggil mereka dengan sebutan Imaniar. Maklum, rambut ku ketika itu keriting panjang sebahu, yang mungkin dianggap identik dengan penyanyi Imaniar. 

Sesekali, ada juga Bang Desmond duduk di depan White House. Entahlah, apakah ia ikut memanggil ku Imaniar. Yang pasti, suatu ketika, Bang Desmond tiba-tiba datang ke asramaku. Duduk di halaman depan. Ia bertanya ke salah satu temanku, siapa nama ku dan ia ingin menemuiku. Aku pun dipanggil ke depan. Itulah awal aku kenal dengan Bang Desmond.

“Ada apa, kok mau ketemu aku?” tanya ku.

“Aku dengar, kamu lulusan fakultas hukum, ya?!” tanya Bang Desmond.

Aku menjawab,”Iya.” Ternyata, Bang Desmond menawari aku pekerjaan, bergabung bersamanya di GTZ ProLH. Waktu itu tahun 1992. 

Ia menjelaskan,  GTZ ProLH itu merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Jerman dengan Pemerintah Indonesia di bidang Lingkungan Hidup. Kantornya satu kawasan dengan Kantor Bappeda Pemprov Kaltim. Ditawari pekerjaan menarik, aku langsung menerimanya. 

Besoknya aku dan Bang Desmond ke kantor GTZ Pro LH. Aku dikenalkan dengan Leader GTZ,  Gunter Felber. Hari itu aku langsung bekerja, dan aku banyak belajar dari  Bang Desmond. Suatu pengalaman yang berharga. Namun GTZ harus pindah ke Kalimantan Selatan (Kalsel). Bang Desmond Ikut ke Kalsel. Kebetulan, kampung halamannya.

Aku memilih untuk tidak bergabung, karena  masih harus menyelesaikan studi ku di Fakultas Sosial Politik di Unmul.  Selesai kuliah, aku kembali ke Bontang, dan bekerja di Proyek Migas di IKPT/Chiyoda, proyek pembangunan Trans G di PT Badak LNG, Bontang.

Bang Desmond pindah ke Jakarta tahun 1995, bekerja di LBH. Komunikasi ku masih terjalin baik dengan Bang Desmond. Aku ingat, dia pernah menawariku untuk pindah ke Jakarta dan bergabung di LBH nya. Tapi kusampaikan, aku masih ingin dekat dengan orang tuaku. 

Ia bercerita, mengapa menjatuhkan pilihan untuk bekerja di LBH, tempat ia sebagai pengacara, bisa memperjuangkan hak-hak kaum terpinggirkan. ia mengaku lebih tertantang, karena harus berhadapan dengan orang-orang yang punya kekuasaan. Pernah aku melihat beritanya di televisi, ketika ia sedang memperjuangkan masyarakat korban sutet. Aku mulai paham apa yang jadi keinginannya. 

Komunikasiku dengan Bang Desmond masih terus terjalin, walaupun tidak terlalu intens, karena kesibukan masing masing. Sampai suatu ketika, di awal masa reformasi 1998, aku mendengar kabar soal hilangnya sejumlah aktivis. Yang sangat mengagetkan ku adalah, ketika berita itu menyebut nama Desmond J Mahesa. Orang yang ku kenal dekat selama ini. 

Kala itu, Bang Desmond menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN). Ia dikabarkan hilang diculik bersama Pius Lustrilanang, aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera). Hilangnya Desmond dan Pius dilaporkan sejumlah aktivis ke kepolisian pada 10 Februari 1998. Belakangan diketahui dari pengakuan Bang Desmond, ia diculik pada 3 Februari 1998.

Aku kaget sekaligus cemas mendengar kabar itu, dan terus menerus berusaha menghubungi teleponnya. Namun tak diangkat. Belakangan, telepon diangkat namun oleh orang yang aku tak kenal. 

“Halo, Bang Desmond di mana?” tanya ku ketika itu.

“Siapa ini?!” kata lelaki yang menerima telepon.

“Loh, ini bukan Bang Desmond? Bang Desmond mana?” tanya ku lagi dengan rasa khawatir yang mendalam.

“Nggak tahu, salah sambung,” kata orang di telepon tadi dan langsung menutup teleponnya.

BEBAS - Desmond setelah penculikan tahun 1998.

Aku masih khawatir sambil berdoa untuk keselamatan Bang Desmond.  Namun tak lama, nada dering teleponku berbunyi berbunyi. Nama Bang Desmond yang muncul di telepon ku. Aku angkat, dan ternyata suara Bang Desmond. Aku senang, karena ternyata dia masih hidup. 

“Teman-teman ku berusaha melindungi ku. Makanya tadi yang terima telepon mengaku nggak kenal aku,” kata Bang Desmond memberi alasan. Hanya itu komunikasi ku ketika itu. Tak banyak hal yang sempat ia ceritakan. Telepon putus kembali. 

Kejadian 1998 itu menambah keyakinan ku terhadap Bang Desmond, bahwa dia adalah pribadi dengan keberanian besar, dengan jiwa kritis, semangat untuk selalu bisa berbuat. 

Setelah bebas dari penculikan, Bang Desmond pulang ke Kalsel, tanggal 3 April 1998. Menurut cerita, Saat dibebaskan, Bang Desmond dibawa dengan menggunakan mobil. Salah seorang yang membawanya memberikan tiket pesawat Garuda menuju Banjarmasin dengan nama orang lain pada tiketnya. Ia diturunkan sekitar 100 meter sebelum Terminal F Bandara Soekarno Hatta. Sesampainya di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Bang Desmond langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polresta Banjarmasin.

Dari Kalsel, Bang Desmond ke Samarinda. Katanya, rindu dengan White House, rumah kos yang pernah ia tinggali. Aku menjemputnya di Balikpapan bersama adikku. Sepanjang jalan sekitar tiga jam itu, ia banyak cerita tentang apa yang ia alami saat penculikan. Namun dengan alur cerita yang biasa saja,  tidak menunjukan seperti sebuah peristiwa luar biasa. Juga tidak mengumbar cerita untuk mendapat empati atas sebuah peristiwa yang heroik.

Ia masih bisa bercanda, ceria seperti biasanya. Padahal dia baru saja mengalami kejadian yang tentu saja dapat menimbulkan kondisi traumatic buat siapa saja. Diculik dua bulan. Aku nggak membayangkan rasanya. 

Tak lama ia berada di Samarinda, perjalan lanjut ke Bontang. Katanya, ia ingin melihat tempat kerja ku. Ketika itu, aku sudah pindah kerja, di PT Badak LNG.

Perjalanan Samarinda-Bontang sekitar tiga jam, juga dilalui dengan banyak cerita. Bahkan ia sempat bernyanyi-nyanyi, beberapa lagu yang ia plesetkan. 

Dua hari di Bontang, sempat juga mampir ke rumah ku. Kembali ke Samarinda, lanjut ke Balikpapan, ia bersama adik ku yang kebetulan juga akan ke Samarinda. Aku hanya mengantarkannya sampai di terminal. Ia naik bus ketika itu. 


MULAI AKTIF DI GERINDRA

Tahun 2008, saya lupa bulan berapa,  Bang Desmond menelpon, mengabarkan akan ke Samarinda. Ia mengundang teman-teman di kosnya dulu untuk bertemu. Ternyata, ia sudah aktif di Partai Gerindra. Ia ke Kaltim dalam rangka membawa mandat untuk membentuk pengurus Gerindra Kaltim. 

DUKA MENDALAM - Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo subianto saat takziah ke rumah duka. 

Ia mengajak sejumlah sahabat lamanya di Samarinda untuk menjadi pengurus DPD Gerindra Kaltim. Tentu saja tidak sulit baginya mengumpulkan sahabat-sahabatnya, karena ia memang dikenal baik dalam pertemanan. 

Begitupun ketika ia  memilih Kaltim sebagai Dapilnya untuk melangkah ke Senayan sebagai Anggota DPR RI tahun 2009. Semua sahabat bekerja untuk dia, agar lolos menjadi wakil rakyat.

Sebagai teman, tentu kami bangga atas pencapaiannya. Setelah jadi elit politik pun, dia selalu ada waktu membalas pesan WhatsApp dari teman-temannya.

Jadi ingat apa yang sering disampaikannya. Menurut Bang Desmond, politik bukan soal kekuasaan semata, tetapi bagaimana dengan politik kita bisa mempunyai peluang dan kesempatan mewarnai kebijakan yang memiliki keberpihakan kepada rakyat. “Bukan kepada kekuasaan!” begitu Bang Desmond selalu berkata.

Kita memang menjalani hidup dengan takdir dan porsinya masing-masing. Tuhan memberi kita porsi tanggung jawab sebagaimana kemampuan kita menanggungnya. Tuhan memberi takdir buat Bang Desmond untuk dapat memberi warna dalam setiap kebijakan politik di negeri ini. 

Dengan gayanya yang kritis cerdas, kadang tanpa tedeng aling-aling bicara, menggambarkan pribadinya yang berani, terbuka, terus terang tanpa manipulatif. 

Perjuanganmu telah selesai Bang Desmond. Allah memanggilmu. Beristirahatlah dalam kedamaian.  Insya Allah setiap kebaikanmu menjadi amal sholeh yang menemanimu. Terima kasih telah menjadi sahabat yang tulus. Tulisan-tulisanmu yang kau kirim lewat link http://www.law-justice.co ke WA ku, jadi referensi untuk memperkaya khasanah ku, untuk memahami politik dan hukum lebih baik. 

Karena memang seperti dikatakan, politik itu determinasi terhadap hukum. Peran sebagai mentor secara tidak langsung dan secara tidak sadar kau berikan kepada ku temanmu yang tinggal jauh dari kebisingan gegap gempitanya politik. 

Akhir dari membongkar ingatanku tentang mu, Bang Desmond, seperti kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Dan Nama yang kau tinggalkan kepada kami, teman yang mengenalmu adalah, bahwa aku bersaksi kamu adalah Insan yang baik , Innalillahi wa Innalillahi rojiun. Selamat jalan, Alfatehah buat mu, Bang Desmon. (*)


Berita Lainnya