Daerah

Hutan Lindung Dijual Demi Tambak Korporasi!

Pemerintah lepas 20.000 hektare hutan, WALHI: Ini kemunduran ekologis dan ancaman hidup masyarakat pesisir.

Redaksi — Satu Indonesia
26 Juli 2025 15:49
Hutan Lindung Dijual Demi Tambak Korporasi!
Ilustrasi - Hutan Mngrove yang terdampak (Foto: Istimewa)

JAWA BARAT, SATU INDONESIA -  Di tengah krisis iklim global yang kian mengancam, Pemerintah Indonesia justru melepas lebih dari 20.000 hektar kawasan hutan negara, termasuk 16.078 hektar hutan lindung, untuk proyek revitalisasi tambak. Kebijakan kontroversial ini tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No. 274/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2025, dan mencakup wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, hingga Indramayu.

Langkah ini dinilai kontraproduktif terhadap komitmen iklim nasional, sekaligus membuka jalan bagi ekspansi industri akuakultur yang berisiko merusak ekosistem mangrove, memperbesar ancaman bencana pesisir, serta memicu konflik agraria dan penggusuran warga lokal.

Menurut data, wilayah terdampak terbesar berada di Kabupaten Bekasi (8.188,49 ha), disusul Karawang (6.979,51 ha), Indramayu (2.875,48 ha), dan Subang (2.369,76 ha). Selain kawasan hutan lindung, kebijakan ini juga mencakup 4.335,21 hektare hutan produksi tetap di Bekasi.

WALHI Jawa Barat menyatakan SK ini merupakan salah satu pelepasan hutan lindung terbesar dalam sejarah Jawa Barat. “Ini bukan revitalisasi, tapi ekspansi industri ekstraktif yang akan mengubah bentang alam pesisir menjadi zona akuakultur besar-besaran,” tegas WALHI.

Tak hanya menebang hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyerap karbon dan pelindung alami dari bencana iklim, proyek ini juga dilakukan tanpa kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) maupun analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang terbuka dan partisipatif.

“Tidak ada konsultasi publik, tidak ada pelibatan masyarakat. Ini keputusan sepihak yang berpotensi menghancurkan tatanan sosial-ekologis pesisir utara Jawa Barat,” ungkap WALHI.

Akibat konversi vegetasi pesisir secara masif, WALHI memperingatkan potensi intrusi air laut, kekeringan, hingga banjir akan meningkat. Sementara itu, petambak kecil, nelayan lokal, dan perempuan pesisir terancam kehilangan ruang hidupnya.

Ironisnya, pemerintah berdalih bahwa proyek ini merupakan bagian dari “ketahanan pangan”. Namun menurut WALHI, tambak yang ingin dibangun bukanlah tambak rakyat berbasis ekologis, melainkan tambak industri yang rawan dikuasai korporasi.

Lebih jauh, WALHI menilai kebijakan ini melanggar konstitusi, bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission dan NDC (Nationally Determined Contributions) dalam agenda perubahan iklim global.


WALHI Sampaikan 5 Tuntutan:
1. Cabut SK Menteri Kehutanan No. 274/2025 dan hentikan penghilangan kawasan mangrove lindung.

2. Tunda proyek revitalisasi tambak hingga ada kajian ilmiah independen, terbuka, dan partisipatif.

3. Audit total status hutan lindung dan tata ruang pesisir Jawa Barat.

4. Kembangkan tambak rakyat berbasis ekologis, bukan tambak industri ekstraktif.

5. Wujudkan pembangunan inklusif dan berkeadilan, dengan melibatkan masyarakat, perempuan, dan petambak kecil.

 Alih-alih menyelamatkan tambak yang rusak, pemerintah justru menghancurkan benteng terakhir pesisir: hutan mangrove. Jika dibiarkan, kebijakan ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Sejatinya, revitalisasi bukan menggusur rakyat dan menebang hutan, tetapi memulihkan ekosistem dan memberdayakan masyarakat lokal.


Berita Lainnya