Opini

Kemerdekaan, Seremonial yang Kehilangan Makna

Catatan Eko Satiya Hushada

Eko Satiya Hushada — Satu Indonesia
19 Agustus 2025 08:16
Kemerdekaan, Seremonial yang Kehilangan Makna
SELAMATKAN ANAK BANGSA! - Gegap gempita lomba lari anak-anak sambut hari kemerdekaan di RT 02 RW 03, Kelurahan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. (foto: Abdul Hanan Al-Hasany)

TUJUH belas Agustus. Tiap tahun, hari itu tiba dengan gegap gempita. Di istana, bendera dikibarkan. Di kantor-kantor pemerintahan, pegawai berbaris rapi, berdiri tegak mendengar Indonesia Raya menggema. Di kampung-kampung, rakyat bersorak, menggelar lomba tarik tambang, panjat pinang, balap karung. Semua seolah larut dalam semangat kebangsaan.

Namun, apakah ini sungguh kemerdekaan? Ataukah hanya sebuah rutinitas tahunan, sekadar formalitas, sekadar tanda bahwa kita pernah dijajah dan kini mengaku merdeka?

Ya, benar. Kita merdeka dari Belanda. Kita merdeka dari Jepang. Tapi apakah kita sungguh merdeka sebagai bangsa yang berdaulat? Apakah kita bebas menentukan jalan hidup sendiri tanpa intervensi asing? Atau kita masih saja tunduk, menundukkan kepala di hadapan negara lain hanya karena tekanan ekonomi global? Hanya karena jebakan utang yang tak kunjung lunas?

Rakyatlah yang paling nyata menunjukkan wajah kebangsaan. Dengan ekonomi yang kian menjerat, dengan beban hidup yang kian mencekik, mereka tetap bersemangat menyambut Hari Kemerdekaan. Di usia kemerdekaan yang sudah 80 tahun. Mereka tetap berkumpul, tertawa, berpeluh di lapangan.

Ada rasa bangga melihat semangat itu. Tapi di balik tawa, terselip getir, bagaimana bisa rakyat yang kian dihimpit justru masih menyisakan ruang untuk bersuka cita? Sementara negara belum memenuhi hak-hak mereka sebagai warga bangsa.

Lebih pahit lagi, di tengah teriakan “Merdeka!”, kita disuguhi kenyataan bahwa hampir Rp600 triliun uang rakyat di APBN 2026 hanya habis untuk membayar bunga utang. Uang Rp599,44 triliun, angka yang dingin dan kejam. Lebih besar dari anggaran banyak kementerian, lebih nyata daripada mimpi tentang kedaulatan. Dan ironisnya, beban itu ditanggung rakyat melalui pajak yang terus membengkak. Bukankah ini bentuk lain dari penjajahan? Hanya saja kini tak berwajah kolonial, melainkan berjubah ekonomi global.

Dan soal hukum, kita semakin tak bisa menutup mata. Hukum terasa garang hanya kepada rakyat kecil, namun jinak di hadapan para penguasa dan kroninya. Ada kasus yang diseret cepat ke meja hijau, karena menguntungkan elite tertentu. Ada pula yang dibiarkan berlarut, bahkan dibekukan, bila menyentuh kepentingan orang-orang kuat. Maka hukum bukan lagi panglima, melainkan alat kekuasaan.

Lalu apa akibatnya? Masyarakat semakin terhimpit, mudah putus asa, gampang tersulut. Pertikaian antar warga kian sering terjadi, hanya karena urusan sepele, karena dapur yang tak lagi mengepul. Di media sosial, sumpah serapah dan caci maki menjadi keseharian. Kita perlahan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang dikenal ramah, gotong royong, penuh solidaritas.

Tapi salahkah rakyat? Tidak! Karena mereka kehilangan teladan. Kita tak lagi punya pemimpin yang benar-benar menjadi panutan. Yang ada hanyalah pejabat sekadar pengelola negara secara administratif. Presiden, gubernur, bupati, wali kota, banyak yang berhenti pada jabatan, tanpa ruh kepemimpinan.

Maka, kemerdekaan kehilangan makna. Ia kian menyusut menjadi seremonial tahunan belaka. Bendera dikibarkan, lomba digelar, joget-joget di istana, lalu selesai. Padahal yang kita butuhkan bukan sekadar upacara, tapi kebangkitan. Bukan sekadar panjat pinang, tapi keberanian memanjat dinding ketidakadilan.

Kita tak boleh berhenti pada nostalgia. Kita harus kembali ke semangat para pendiri bangsa, bahwa merdeka bukan sekadar bebas dari penjajahan. Tapi bebas menentukan nasib sendiri, tanpa ditundukkan oleh utang, tanpa dikerdilkan oleh penguasa yang abai.

Saatnya kita bertanya dengan lantang, apakah ini kemerdekaan yang mereka perjuangkan dengan darah dan nyawa? Jika jawabannya tidak, maka kita punya satu tugas besar: selamatkan Indonesia! (penulis adalah pemimpin redaksi satuindonesia.co)


Berita Lainnya