Opini

TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (5)

Drs Maman Supriatman, M.Pd. — Satu Indonesia
08 April 2025 07:30
TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (5)
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H / 31 Maret 2025 (Foto: Satuindonesia.co/Mulyana)

"Korupsi adalah dosa publik yang menghancurkan masa depan generasi yang bahkan belum lahir."
(Catatan Nurani Seorang Hakim).


Sisa-sisa doa masih menggantung di udara, namun bumi kembali riuh oleh rutinitas lama. Di langit, ada isak yang nyaris tak terdengar, tapi terasa: sebuah kesedihan kosmis. Mengapa? Karena satu bulan penuh penyucian jiwa belum juga mengubah banyak hal di bawah sana.

Ramadhan berakhir, tapi ketidakadilan tetap menggema. Kezaliman masih bersembunyi di balik senyuman pejabat. Langit menangis bukan karena manusia berdosa, tapi karena manusia enggan berubah.

Korupsi adalah bentuk kegelapan paling nyata dalam peradaban. Ia merusak bukan hanya hukum dan keuangan negara, tapi juga nurani dan akal sehat.

Di negeri ini, para koruptor bukan hanya mencuri uang, mereka mencuri masa depan. Tapi yang lebih tragis adalah ketika negara seolah membiarkan mereka menikmati hasil jarahan itu. RUU Perampasan Aset (asset forfeiture), yang seharusnya menjadi senjata pamungkas untuk merampas harta haram para penjahat berdasi, justru teronggok di laci parlemen selama 17 tahun. 

17 tahun adalah usia yang cukup untuk mengubah seorang bayi menjadi pemuda, tapi tidak cukup untuk membuat DPR dan pemerintah bersepakat menyelamatkan uang rakyat dari gurita korupsi. 

Drama Kolosal: Ketika Parlemen Bermain Sandiwara
 
RUU ini pertama kali diusulkan pada 2006. Tapi hingga hari ini ia masih menjadi draft yang terluka, diperdebatkan, dipreteli pasal-pasalnya, lalu dikubur dalam kompromi politik. 

Padahal, di negara seperti Amerika Serikat dan Singapura, civil asset forfeiture telah menjadi alat efektif merontokkan kekuatan mafia. Tanpa perlu vonis pengadilan, aset yang diduga hasil korupsi bisa disita sementara. Tapi di Indonesia, koruptor justru dilindungi oleh prosedur yang berbelit.  

Lihatlah kasus Samin Tan, raja batubara yang divonis 6 tahun penjara pada 2022 atas korupsi Rp 1,6 triliun. Tapi hingga hari ini, asetnya, mulai dari apartemen mewah di Senopati sampai saham di perusahaan, masih utuh. Atau kasus mantan Bupati Garut, Rudy Gunawan, yang menggelapkan Rp 126 miliar dana COVID-19. Harta keluarganya tetap aman, sementara rakyat Garut berjuang melawan stunting dan gizi buruk.  

Mengapa RUU ini ditunda?

- Paranoia Elit:
Sebagian besar anggota DPR memiliki aset yang sulit dipertanggungjawabkan. Menurut ICW, 72% kasus korupsi pada 2022 melibatkan pejabat publik. Bagaimana mungkin mereka akan menyetujui UU yang bisa menyasar harta mereka sendiri?  

- Birokrasi yang Membatu: 
Kementerian Hukum dan HAM serta Kejagung saling lempar tanggung jawab. Padahal, Malaysia butuh hanya 3 tahun untuk mengesahkan Anti-Money Laundering Act yang mencakup perampasan aset.  

- Lobi Pengacara Hitam: 
Para pengacara koruptor—yang tarifnya bisa mencapai miliaran per kasus, aktif menyusupkan pasal "perlindungan HAM" untuk mengaburkan substansi.  

Darah di Balik Angka: Korban Nyata Penundaan

Setiap penundaan RUU ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat kecil. Mari berhitung:  

- Dana BLBI yang dikorupsi mencapai Rp 110 triliun. Jika dirampas, itu cukup untuk membangun 22.000 sekolah atau 550 rumah sakit.  

- Kasus korupsi dana bansos COVID-19 (Rp 5,9 triliun) bisa memberi makan 3 juta keluarga miskin selama setahun.  

Tapi yang paling menyakitkan adalah cerita di balik statistik. Di NTT, anak-anak SD harus menahan lapar karena dana BOS dikorupsi. Di Sulawesi Tengah, jembatan ambruk karena dana infrastruktur dipotong. Di balik setiap angka korupsi, ada tangis ibu-ibu yang tak bisa membeli susu untuk anaknya, atau lansia yang mati karena tak mampu berobat.  

Wayang Kulit Hukum: Dalang di Balik Layar

Penolakan terhadap RUU ini sering dibungkus retorika mulia: "perlindungan hak properti", "prinsip praduga tak bersalah", atau "antisipasi penyalahgunaan wewenang". 

Tapi lihatlah ironisnya:

- Di Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) boleh menyita aset tanpa proses peradilan. Hasilnya? Singapura menjadi negara terbersih ke-5 di dunia (TII 2023).  

- Sementara Indonesia, dengan prosedur hukum yang "ideal", justru membiarkan koruptor seperti Djoko Tjandra kabur dengan harta Rp 1,3 triliun.  

Argumen "prinsip praduga tak bersalah" adalah kedok. Di sistem hukum kita, buruh yang mencuri semangka bisa langsung digelandang, tapi konglomerat yang mencuri triliunan justru dijemput dengan mobil dinas.  

Api di Tengah Kabut: Perlawanan yang Menyala

Meski gelap, ada secercah harapan:  

- Mahasiswa di Makassar mendesak DPRD mengusung Perda Pengelolaan Aset Koruptor, meski akhirnya dibredel.  

- Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan judicial review ke MK untuk mencabut Pasal 99 KUHP yang membatasi perampasan aset.  

- Kampanye #GrebekAsetKoruptor di Twitter menjadi trending, memaksa KPK membuka data 1.234 aset koruptor yang belum disita.  

Bahkan di tubuh parlemen, ada suara-suara pemberani seperti Sri Rahayu (Fraksi PDIP) yang berseru: "Jika kita takut menyita aset koruptor, berarti kita memelihara singa di kandang rakyat."

Mega Skandal Oplosan BBM

Di tengah pekik "Takbir" yang menggema, Kejaksaan Agung membongkar skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah migas Indonesia: pengoplosan BBM oleh petinggi Pertamina yang merugikan negara hingga Rp968,5 triliun (2018-2023) . 

Modusnya keji: RON 90 (Pertalite) dicampur secara ilegal, dijual sebagai Pertamax RON 92, sementara produksi kilang dalam negeri sengaja diturunkan agar bisa mengimpor minyak mentah dengan harga fantastis melalui broker nakal . 

Hasilnya? Subsidi membengkak, HIP BBM melambung, dan rakyat dijebak dalam lingkaran kemahalan, sementara para tersangka, menikmati apartemen mewah dan saham di perusahaan bayangan .  

Yang lebih memilukan: praktik ini terjadi di bulan suci, di saat para koruptor itu mungkin sedang khusyuk menadahkan tangan memohon ampunan. Padahal, kerugian Rp193,7 triliun pada 2023 saja setara dengan biaya 4,8 juta beasiswa kuliah atau 3.874 puskesmas.

Tapi seperti biasa, pengadilan akan berlarut-larut, aset koruptor tetap utuh, sementara masyarakat Kendari harus menanggung mogok massal kendaraan akibat BBM oplosan yang merusak mesin . Inikah "amal" yang mereka persembahkan usai Ramadhan?  

Epilog: Menulis Sejarah dengan Darah atau Tinta

RUU Perampasan Aset adalah ujian bagi Indonesia: apakah kita memilih menjadi negara yang menghidupi para pencuri, atau ibu yang menyelamatkan anak-anaknya dari kelaparan.  

Seperti kata Tan Malaka, "Revolusi bukan sekadar mengganti rezim, tapi merampas kembali apa yang dirampas dari rakyat."

Jika RUU ini terus ditunda, maka setiap anak yang mati karena busung lapar adalah cermin dosa kolektif kita.  

Ramadhan telah berlalu, tapi puasa sesungguhnya baru dimulai: puasa dari kebisuan, puasa dari ketakutan. Karena selama aset koruptor masih berkeliaran, langit tak akan berhenti menangis.

Catatan Kaki Kosmis:

Mega skandal ini bukan sekadar masalah uang, melainkan pengkhianatan terhadap martabat bangsa. Jika RUU Perampasan Aset terus ditelantarkan, maka Pertamax oplosan ini akan menjadi metafora sempurna: negara yang dicampur-adukkan antara keadilan dan keserakahan, antara dzikir dan dusta. 

Langit takkan berhenti menangis selama api korupsi masih membakar gudang-gudang harapan rakyat.

Penulis adalah seorang pendidik dan penulis buku Kosmologi Islam

والله أعلم


Berita Lainnya