Laporan Khusus

Penindasan Rezim Otoriter di PIK-2: Menuju Perlawanan Rakyat Semesta (Bagian 1)

Mulyana — Satu Indonesia
15 Agustus 2024 19:08
Penindasan Rezim Otoriter di PIK-2: Menuju Perlawanan Rakyat Semesta (Bagian 1)
Marwan Batubara

JAKARTA - Tokoh Petisi 100 Daulat Rakyat Marwan Batubara mengungkapkan, sehari setelah pengumuman pemenang Pilpres 2024 oleh KPU, pemerintahan Jokowi langsung menetapkan 14 proyek Program Strategis Nasional (PSN) milik swasta melalui Permenko Perekonomian No.6/2024. Diyakini kebijakan ini bentuk balas jasa atas dukungan logistik yang dikucurkan para konglomerat saat proses/kampanye Pemilu/Pilpres 2019.

”Dalam Permenko No.6/2024, proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2), milik Aguan dan Anthony Salim, merupakan salah satu dari 14 proyek swasta yang mendapat ’anugrah’ satatus PSN dari Pemerintahan Jokowi. Swasta lain misalnya, Bumi Serpong Damai (BSD) milik Sinar Mas dan sejumlah investor asing (PMA), dan Surabaya Water Front milik ’Kapal Api’ dan investor China,” ungkap Marwan Batubara yang juga mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta itu.

Dikatakan, Proyek PIK 2 merupakan proyek ekspansi PIK-1 sebagai kota baru pada pesisir utara, pantai utara (Pantura) Banten, dengan luas awal 1.755 hektar. Pengembang PIK-2 adalah PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) dengan nilai investasi antara Rp 40 triliun hingga Rp 65 triliun oleh.

Proyek intensif dikerjakan pada 2023/2024, berupa pengerukan tanah yang berlangsung di Desa Muncung dan Desa Kronjo di Kecamatan Kronjo dan di desa Banyu Asih dan Desa Mauk. Saat ini pekerjaan proyek PIK-2 berlangsung di beberapa desa dari tiga kecamatan. Proses pembebasan sedang berlangsung hingga ke sembilan kecamatan ke arah barat, dengan panjang garis Pantai dapat mencapai 60 km s.d 90 km. Diperkirakan ekspansi proyek PIK-2 ini (bisa bernama PIK-3, PIK-4, dst) dapat mencapai luas 100.000 hektare. ”Dalam hal ini akses publik untuk menikmati pantai milik negara akan tertutup! Apalagi jika yang dianut pola kawasan eksklusif, enclafe. Maka dapat terjadi sikon ”negara dalam negara’ milik konglomerat!” tegas Marwan Batubara   

Sebelumnya, pada 1992 kita mengenal kawasan hunian bernama Pantai Indah Kapuk (PIK atau PIK-1) di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, milik taipan Ciputra. Pada 2023 Agung Sedayu milik Aguan menggantikan Ciputra untuk meneruskan proyek PIK-1 dan memperluas wilayah proyek ke arah barat, yaitu ke Kelurahan Kapuk, Cengkareng hingga Tangerang, Banten, ditambah Golf Island dan Ebony Island. Luas lahan PIK-1 sekitar 1.160 hektare.

Marwan yang menjabat Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) ini mengatakan, sebenarnya proyek PIK-1 telah menimbulkan dampak banjir dan kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitar, sampai-sampai Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menerbitkan surat protes kepada Pemda DKI (Surat No.B-655/KLH/3/1992). Bahkan pada medio 2021, PIK-1 telah mengundang protes berbagai kalangan, karena proyek ini menjelma menjadi kawasan yang hanya dihuni etnis China dan pandatang gelap dari China. Kaum pribumi dibatasi masuk.

Sukses PIK-1, dilanjutkan Agung Sedayu dan Salim Group membangun proyek PIK-2 yang mulai dirintis Oktober 2021. Perseroan mengakuisisi 51% saham PT Bangun Kosambi Sukses, perusahaan properti pengembang PIK-2 Agustus 2022. Pada awal 2023, perusahaan resmi berganti nama menjadi PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI). “PANI akan memegang komitmen kepada seluruh pemangku kepentingan dan menjalankan strategi usaha yang telah dirancang sedemikian rupa untuk sampai ke tujuan jangka menengah dan jangka panjang, paling tidak lima tahun dari sekarang,” kata Aguan, sang bos PIK-2 seperti dikutip dari informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (15/7/2024).

Kenikmatan Konglomerat

Seperti tertuang dalam PP No.42/2021, proyek berstatus PSN mendapat sejumlah fasilitas dan kemudahan. Pertama, proyek PSN mendapat kemudahan perizinan dalam rangka percepatan proses perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, pengendalian operasi dan mekanisme pembiayaan (Pasal 2 Ayat 3).

Kedua, kemudahan pembiayaan seperti Pasal 14 Ayat 1, pembiayaan PSN yang tidak menggunakan APBN dan APBD ditopang kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Ketiga, berupa jaminan pemerintah jika biaya proyek bersumber pembiayaan lain yang sah sesuai ketentuan peraturan (Pasal 18 Ayat 1). Jaminan lebih lengkap dan luas berbentuk kredit atau pembiayaan syariah, kelayakan usaha, KPBU, dan risiko politik (Pasal 18 Ayat 2).

Keempat, pemerintah memberi fasilitas berupa program dan anggaran untuk penanganan dampak sosial atas proyek PSN. Fasilitas ini terkait penanganan sosial untuk masyarakat yang terdampak langsung pembangunan PSN (Pasal 45 Ayat 1).

Kelima, proyek PSN mendapat fasilitas kemudahan penyelesaian masalah hukum yang mungkin timbul di kemudian hari (Pasal 46 Ayat 1). Keenam, tax holiday akan diberikan untuk investor PSN yang berbeda dengan tax holiday yang berlaku saat ini. Perbedaan meliputi jangka waktu dan nilai investasi yang harus dipenuhi (11/11/2023). ”Selain fasilitas pajak pusat, investor di PSN juga berkesempatan mendapatkan fasilitas pajak daerah berupa pengurangan, pembebasan, pemotongan dan penundaan pembayaran pokok, maupun sanksi Pajak Daerah dan Retribusi daerah (PDRD),” sebut Marwan Batubara.

Dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh PSN, terutama perlindungan dan jaminan pemerintah, pemilik PIK-2 mendapat berbagai keuntungan finansial langsung atau tak langsung. Keuntungan Agung Sedayu Group dan juga PANI pun ikut naik. Pada Desember 2022 laba PANI adalah Rp 577 miliar, dan naik 273% (!) menjadi Rp 2,15 triliun pada Desember 2023. Nilai kapitalisasi pasar PANI pada April 2024 adalah Rp 83 triliun!!

Dalam hal ini, melalui status PSN, pemerintah telah “berkontribusi besar” atas kenaikan kekayaan konglomerat ini, yang sebagian mungkin telah dipakai sebagai logistik pemilu demi kekuasaan oligarkis! Namun, saat yang sama, kenikmatan yang diperoleh melalui modus kebijakan ala VOC, yang telah membuat ratusan ribu rakyat menderita, hidup miskin dan susah.

Derita dan Nestapa Rakyat

Marwan Batubara mengatakan, atas nama PSN, pemilik PANI menghalalkan segala cara menjalankan proyek. Terutama, dalam menguasai tanah dan mengusir  rakyat yang harus pindah dari tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Status PSN membuat Aguan dan Salim bebas merampok tanah dan menindas rakyat modus penjajah VOC secara “legal” karena didukung landasan hukum yang direkayasa dan disiapkan rezim. Operasi ala VOC, seperti terjadi di Rempang, didukung operasi sistemik pemerintahan Jokowi, ASN, TNI dan Polri, serta preman bayaran.

”Kita mencatat berbagai dampak negatif proyek PIK-2. Dari sisi lingkungan proyek PIK 2 butuh reklamasi lahan dan pembangunan yang merusak lingkungan, termasuk perubahan ekosistem pantai dan peningkatan risiko banjir,” ungkap Marwan Batubara. Lalu, proyek memaksa terjadinya relokasi komunitas atau usaha kecil yang menyebabkan ketidaknyamanan dan gangguan sosial bagi yang terdampak.

Marwan Batubara mengatakan PIK-2 akan menyebabkan peningkatan biaya hidup daerah sekitar. Sehingga masyarakat lokal kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan harga properti dan biaya barang dan jasa. Meskipun ekonomi lokal meningkat, terjadi ketimpangan sosial karena manfaat PSN tidak merata. ”Seperti terjadi pada wilayah eksklusif PIK-1, hanya kelompok tertentu, terutama etnis China kaya dan pendatang China global yang menikmati keuntungan ekonomi, sementara sebagian masyarakat lokal akan terpinggir dan termarjinalkan,” tegas Marwan Batubara.  

Selain dampak negatif, rakyat setempat juga mengalami berbagai hal ironis dan kezaliman. Misalnya, pertama, aparat pemerintah/negara dengan sadis dan tanpa rasa keadilan, menurunkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari nilai di atas Rp 100.000 per m2, menjadi lebih rendah dari Rp 50.000 per m2. Padahal saat menjual kaveling tanah atau bangunan PIK-2, harga tanah tersebut naik 700 kali lipat, berkisar antara Rp25 juta hingga Rp 35 juta per m2.” Atas nama PSN, rezim oligarki dan pengembang rakus seperti Aguan dan Salim, menghisap rakyat yang sejak awal hidup susah, melalui harga tanah sangat rendah,” cetus Marwan Batubara.

Kedua, sebagian rakyat dipaksa menjual murah tanah di bawah intimidasi, ancaman dan pendekatan kekuasaan. Pengembang PIK-2 pun menggunakan jasa preman bayaran dan jasa perusahaan perantara secara sistemik agar terisolasi atau terbebas dari citra busuk: memaksa, intimidasi atau adu domba guna mencaplok tanah rakyat. ”Namun jika pemilik tanah  orang kaya, pejabat, konglomerat atau aparat berkuasa, maka pendekatannya akan ’manusiawi’ dan harga yang ditawarkan puluhan kali lipat dibanding ’harga VOC!’ untuk rakyat miskin,” cetus Marwan Batubara.

Ketiga, pengembang PIK-2 menimbun lahan sebagian rakyat meski ganti rugi belum dibayar. Hal ini dialami Aceng (samaran) pemilik lahan 3000 m2 sawah produktif di Desa Patramanggala, Kec. Kemiri. Hal sama dialami “Agus” (samaran) seluas 1 hektare di Kec. Kronjo, yang sawahnya rusak berat akibat proyek PIK-2 (13/5/2024). Seorang kakek bernama Ahmad (samaran) di Desa Muncang, Kronjo yang tanahnya seluas 12 hektare diurug pemilik PSN PIK-2. Ahmad mengaku belum pernah menjual tanah bersertifikat hak milik (SHM) tersebut, namun alat berat telah menggulung dan meratakan lahannya. Ahmad mengaku menolak lahannya dihargai Rp40 ribu per meter persegi. Ahmad bilang. “Sertifikat ini hak saya, ini buktinya. Bukan pembebasan, pemerasan, penindasan" (11/5/2024).

Keempat, pemilik lahan umumnya enggan melapor atau meminta bantuan aparat desa, sebab aparat ini telah menjadi kepanjangan tangan pengembang (Kec. Mauk). Sejak menerima surat pemberitahuan lahannya masuk kawasan PIK2, warga enggan berurusan dengan aparat desa. Namun saat yang sama mereka juga terintimidasi, ketakutan, dan tak berdaya. Omdusman Banten juga menerima keluhan warga terkait intimidasi oknum aparat dan/atau preman bayaran PIK-2 (16/7/2024).

Kelima, di desa Banyuasih, Kec. Mauk, yang berlokasi bersebelahan dengan PIK 2, setelah lahan sawah diurug pengembang PIK-2, kerap mengalami banjir. Desa ini biasanya tidak pernah banjir. Selain itu, sebagian lahan sawah dan tambak dan tambak rakyat terkurung oleh petak lain yang telah diurug, sehingga sawah dan tambak tak produktif lagi (13/5/2024).

Keenam, tembok proyek PIK-2 setinggi 4 meter telah menghambat akses rakyat desa Salembaran, Lemo dan Muara, Tangerang. Tembok PIK-2 yang berfungsi melindungi rumah-rumah mewah di dalamnya, pada saat yang sama telah mengganggu lalu lintas, akses dan mobilitas warga menuju pantai atau bekerja untuk penghidupan. Hal yang sama terjadi di desa Muncung dan Kronjo, serta Teluknaga, Tangerang, sehingga banyak warga kehilangan pendapatan dan pekerjaan (16/7/2024).

Ketujuh, menciptakan kondisi sulit dan tak nyaman yang membuat rakyat terpaksa pindah dan menerima “perintah relokasi”. Kepala Desa Lemo, mengaku sebagian kampung di desanya selalu kebanjiran dan terkepung pembangunan proyek PIK-2. Hal ini membuat sekitar 235 kepala keluarga terpaksa harus menerima relokasi ke tanah pengembang PIK 2. Status pemilikan tanah relokasi ini pun sebagian belum jelas.

Kedelapan, calo bayaran kaki tangan PIK-2 menguntit, menekan dan meneror pemilik lahan. Misalnya pemilik tambak seluas 20 hektar di desa Lontar, kecamatan Kronjo, sejak dari rumah hingga tempat kerja atau tujuan lain. Adi (samaran) mengaku: "Tekanan itu sampai-sampai saya kencing di celana, ketakutan," katanya dengan suara bergetar (11/5/2024). Dalam hal ini ada calo yang mendapat upah Rp 2.000 per m2 jika berhasil.

Kesembilan,  pendekatan kekuasaan dan “pemanfaatan” aparat negara oleh pemilik PIK-2 dilakukan secara terbuka, sehingga rakyat tidak punya alternatif selain menjual tanah dengan harga murah. Semakin ditunda, harga tanah semakin rendah. M. Said Didu, mantan Sekjen KBUMN bercerita: "Saya pernah ketemu warga korban penggusuran PIK-2. Tidak sedikit mereka terpaksa melakukan 'transaksi' penggusuran di Kantor Polisi" (13/06/2024). Tampaknya aparat ”polisi pengayom masyarakat” telah berubah fungsi menjadi pengayom atau centeng konlomerat Aguan dan Anthony Salim”.

Pelanggaran Konstitusi & Peraturan

Sesuai amanat Pasal 1 ayat (1) Perpres tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, proyek yang mendapat status PSN seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukannya melindungi dan menyejahterakan, ternyata pemerintah Jokowi, melalui kebijakan dan peraturan yang diterbitkan, justru membuat rakyat menderita dan pada saat yang sama melindungi dan memihak proyek oligarki. Tercatat berbagai pelanggaran dan dugaan pengkhianatan konstitusi yang dilakukan rezim oligarki sebagai berikut.

Satu, kebijakan PSN PIK-2 jelas tidak adil: memihak konglomerat dan pengusaha, namun sekaligus menindas dan menjajah rakyat. Hal ini melecehkan sila-2, sila ke-4, dan sila ke-5 Pancasila.

Dua, kebijakan PSN PIK-2 diduga sarat KKN dan hal ini melanggar amanat reformasi dan sejumlah UU, antara lain TAP MPR Nomor XI/1998, Pasal 22 UU No.28/1999, serta Pasal 12, 13, 14 15, dan 18 UU No.20/2001 tentang Tipikor. Tiga, kebijakan dan peraturan PSN swasta yang memuat ketentuan sangat penting dan strategis yang seharusnya diatur dalam UU, telah ditetapkan secara sepihak tanpa keterlibatan DPR dan partisipasi publik. Hal ini melanggar Pasal 20 UUD 1945 dan UU P3 No.12/2011.

Empat, PSN PIK-2 yang ditetapkan tanpa kajian strategis, melanggar undang-undang, dan karena itu tidak sah dan wajib batal demi hukum. PSN PIK-2 melanggar Perpres No.58 Tahun 2017, karena tidak sesuai RPJMN/D dan Renstra dan melanggar RT/RW.

Lima, kebijakan rezim yang menzalimi dan menindas rakyat telah melanggar minimal 6 dari 10 amanat UUD 1945 tentang HAM. Hak-hak tersebut adalah: mempertahankan hidup dan kehidupan (28A), memenuhi kebutuhan dasar (28C), jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum (28D), memilih tempat tinggal dan berpendapat (28E), perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan (28G), mendapat perlakuan adil;  hak milik pribadinya tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun (28H), hak hidup, tidak disiksa, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan bebas dari perlakuan diskriminatif.

Uraian di atas telah menjelaskan bagaimana sikap tidak adil rezim Jokowi terhadap sesama anak bangsa. Kezaliman yang berlangsung seperti dilakukan oleh negara penjajah/VOC pada era kolonial, pada prinsipnya melanggar Pancasila, konstitusi, prinsip-prinsip HAM dan kemanusiaan dan sejumlah UU berlaku. Perlakuan ala penjajah VOC di PIK-2, sebagaimana juga terjadi di Rempang, Wadas dan sejumlah wilayah lain, telah memakan korban, membuat ribuan atau bahkan ratusan ribu rakyat hidup menderita.

Rakyat memang sangat berharap pada langkah pengawasan, perlindungan dan proses hukum pada DPR. Namun karena mayoritas pimpinan dan anggota partai tersandera kasus korupsi, yang “dengan baik” dimanfaatkan oleh rezim, maka harapan tersebut hanya utopia. Karena itu, sudah waktunya kezaliman yang berlangsung di depan mata, hanya beberapa puluh km dari Jakarta (tidak sejauh Rempang) dihentikan. ”Rakyat harus bangkit bersama menuju perlawanan rakyat semesta. Kita mau bangkit berdaulat dan bermartabat atau menjadi pecundang terjajah?” tegas Marwan Batubara. (mul)  


Berita Lainnya