Opini

Isra’ Mi’raj dan Realita Umat-Part - 6

Imam Shamsi Ali Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation dan Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation

Shamsi Ali — Satu Indonesia
3 hours ago
Isra’ Mi’raj dan Realita Umat-Part - 6
Imam Shamsi Ali Direktur Jamaica Muslim Center/Presiden Nusantara Foundation

SETELAH Rasulullah SAW menikmati susu segar itu, Jibril Kemudian memberitahu beliau jika langit telah dibuka dan mereka harus bersiap untuk melakukan perjalanan vertikal yang disebut Mi’raj. Walaupun dalam berbagai cerita disebutkan jika Rasulullah SAW melakukan Mi’raj dengan mengendarai Buraq yang disebutkan terdahulu. Namun kenyataannya dalam banyak riwayat disebutkan beliau tidak memakai Buraq dalam perjalanan ke atas itu. Beliau diangkat oleh Jibril dengan tangannya. Sementara Buraq itu tetap terikat di tempat semula. 


Perjalan Mi’raj itu pun dimulai. Menurut riwayat-riwayat yang ada, pada setiap langit itu ada penjaganya (harris/guard) dari kalangan malaikat. Ketika sampai di langit pertama sang penjaga langit bertanya: “siapa gerangan?”. Jibril menjawab: “ini Jibril”. Sang penjaga bertanya: “siapa bersamamu?”. Jibril menjawab: “bersama saya Muhammad Rasulullah”. 


Dialog seperti ini terjadi di setiap langit yang akan dilaluinya. Dan ini memberikan pelajaran penting bagi umat bahwa dalam melakukan tugas dan tanggung jawab diperlukan profesionalitas. Jibril adalah malaikat teragung di antara semua malaikat. Beliau tentu punya hak dan mampu untuk akses ke semua tingkatan langit. Tapi beliau tetap menghormati para malaikat yang memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk menjaga setiap langit  yang akan dilaluinya. 


Dalam kebiasaan sebagian orang sikap dan perlakukan keseharian seringkali tidak mempertimbangkan profesionalitas. Hanya karena atasan di sebuah kantor lalu tidak lagi menghiraukan lagi otoritas bawahan, bahkan penjaga pintu sekalipun. Tendensi tidak menghiraukan ini seringkali adalah bentuk keangkuhan kekuasaan itu. Runyamnya lagi kalau sikap itu berimbas kepada tendensi menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Di sinilah korupsi rentang terjadi.


Kembali ke dialog antara Jibril dan penjaga langit tadi. Mendengar bahwa Jibril dan Muhammad SAW  akan menaiki langit itu penjaga langit mempersilahkan: “Selamat datang Wahai nabi yang soleh”. Jibril bersama Muhammad pun memasuki langit pertama. 


Di langit pertama Rasulullah SAW bertemu dengan Bapak semua manusia, sekaligus manusia dan nabi pertama, Adam AS. Adam ternampakkan duduk dengan tenang. Beliau nampak tua dan lelah menggambarkan seorang kakek. Jibril mengenalkan Rasulullah kepada Adam lalu mengarahkan Rasulullah untuk memberi salam. Rasulullah SAW pun memberikan salam. Adam AS merespon: “ahlan bin-nabi wal-ibni as-shalih” (Selamat datang kepada nabi dan anak yang saleh).


Tidak disebutkan jika ada pembicaraan khusus yang terjadi antara Adam AS dan Muhammad SAW. Hanya saja Rasulullah menyaksikan sesuatu dari Adam yang menjadikan beliau bertanya kepada Jibril. Menurut riwayat bahwa Adam itu beberapa kali menengok ke arah kanan dan ke arah kirinya. Jika menengok ke arah kanan beliau tersenyum. Tapi jika menengok ke arah kiri beliau nampak menangis. Melihat itu Rasulullah bertanya kepada Jibril apa gerangan yang terjadi. Jibril menjawab bahwa ketika Adam menengok ke kanan beliau melihat semua anak cucunya yang ditakdirkan akan masuk surga. Maka beliau pun tersenyum. Tapi ketika menengok ke arah kiri beliau melihat anak cucunya yang ditakdirkan akan masuk ke dalam neraka. Maka beliau pun menangis.


Sungguh cerita ini memberikan pelajaran yang maha penting bagi semua, terkhusus para orang tua. Adam mengajarkan kepada kita bahwa hal yang paling menjadi perhatian beliau sebagai ayah dari semua manusia adalah keinginan beliau melihat semua anak cucunya ada dalam surga. Maka beliau tersenyum ketika melihat anak cucunya para calon penghuni surga. Sebaliknya beliau sangat sedih bahkan menangis di saat melihat anak cucunya para calon penghuni neraka. 


Sebagai orang tua, adakah perasaan itu pada kita? Bagaimana kita seharusnya senang dan bahagia jika kita masih melihat sikap dan perilaku anak-anak kita yang menggambarkan sikap dan perilaku penghuni surga. Sebaliknya kira seharusnya memiliki kekhawatiran dan rasa sedih melihat sikap dan perilaku anak-anak kita yang semakin menggambarkan sikap dan perilaku penghuni neraka.


Mungkin kita tidak bisa melihat secara pasti sebagaimana Adam melihat secara pasti dengan pandangan ruhiyahnya. Tapi sikap dan perilaku kasat anak-anak kita menjadi pengingat untuk kita semua untuk membangun perhatian itu. Senang dan bahagia dengan keislaman yang baik dari anak-anak kita. Sedih dan khawatir dengan realita anak-anak kita yang semakin jauh dari agama. 


Perjalanan ke atas pun berlanjut ke langit kedua. Di sinilah beliau bertemu dua nabi yang satu zaman. Yaitu nabi Isa dan nabi AS. Keduanya menyambut Muhammad dengan sambutan: “ahlan bi al-akh wa an an-nabi as-soleh” (selamat saudaraku dan nabi yang soleh). 


Perjalanan lanjut ke langit ketiga dan bertemu dengan nabi Yusuf AS. Beliau disambut persis sama dengan penyambutan nabi Yahya dan Isa: “Selamat datang saudaraku dan nabi yang soleh”. Hanya saja dalam riwayat Rasulullah menyampaikan bahwa beliau melihat nabi Yusuf itu sangat tampan, seolah mengumpulkan setengah ketampanan dari seluruh manusia. 


Perjalanan berlanjut ke langit keempat dan disana bertemu dengan nabi Idris. Beliau disambut dengan sambutan yang sama: “Selamat datang Wahai saudaraku dan nabi yang soleh”. 


Lalu menaiki langit kelima ketemu dengan nabi Harun, dan lanjut ke langit keenam dan di sana bertemu dengan nabi Musa AS. Kedua nabi ini juga menyambut dengan sambutan yang sama: “Selamat datang wahai saudaraku dan nabi yang soleh”. 


Perjalan ke atas berlanjut dan tibalah di langit ke tujuh. Di tingkatan ini Rasulullah melihat dan ketemu dengan Ibrahim AS, ayah dari banyak nabi-nabi. Setelah Rasulullah menyampaikan salam, Ibrahim AS merespon dengan respon yang sama seperti Adam AS di langit pertama: “Selamat datang Wahai anakku dan nabi yang soleh”. 


Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah melihat Ibrahim ini duduk bersandar ke dinding Baitul Makmur (Kiblat penghuni langit). Mungkin ini korelasi kemuliaan beliau sebagai nabi yang telah meninggikan Ka’bah, Kiblat penghuni dunia. 


Kisah pertemuan Rasulullah dengan para nabi ini menunjukkan realita kesatuan nubuwwah (kenabian) dan risalah (ajaran). Bahwa para nabi dan Rasul itu tidak dibeda-bedakan (laa nufarriqu). Pertemuan ini juga memberikan penguatan bahwa kenabian dan kerasulan Muhammad tidak terpisahkan dari kenabian dan kerasulan para pendahulunya. Beliau adalah pelanjut dan hadir sebagai penutup kenabian (khatamun nabiyyin). Sekaligus menyimpulkan bahwa agama itu memang satu: “sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam”. 


Ulama Islam menyampaikan bahwa posisi tingkatan pada nabi, dari tingkatan pertama, kedua dan hingga ketujuh, bukan penggambaran kemuliaan antara satu dan lainnya. Kita yakin pasti ada makna di balik dari itu. Tapi kita juga tidak bisa menyimpulkan jika itu adalah gambaran kemuliaan. Karena pastinya Isa AS harus di atas Idris dan Harun. Karena Isa adalah salah seorang dari nabi dengan posisi Ulul Azmi. Wallahu a’lam! 


(Berlanjut…)




Berita Lainnya