Opini
TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (3):
ANTARA GENERASI QUR'ANI DAN GENERASI ZOMBIE

“Peradaban tidak mati karena dibunuh, tapi karena bunuh diri.” (Ibnu Khaldun).
Langit menunduk, meneteskan air mata kosmis. Di bawahnya, dua arus sejarah bergegas: satu membangun menara cahaya dengan bata-bata ayat suci, satu lagi menggali kuburan dengan palu nafsu dan sekop algoritma.
Di era dimana informasi mengalir deras, mengapa kebodohan spiritual justru menjadi epidemi? Di puncak kemajuan teknologi, mengapa jiwa-jiwa manusia kelaparan, tersesat dalam labirin layar yang memantulkan bayangan hampa?
Penelitian dari University of Southern California (2022) menyebutkan bahwa otak remaja yang kecanduan layar menunjukkan gejala mirip sindrom kelelahan spiritual: resah, gelisah, tapi tak tahu sebabnya. Remaja yang menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di layar gawai memiliki risiko 71% lebih tinggi mengalami gejala depresi.
Di balik semua itu, para ilmuwan mencatat penurunan drastis dalam kemampuan fokus, empati, dan refleksi mendalam, sebuah kondisi yang menciptakan generasi yang terus bergerak tapi tak pernah benar-benar hadir: generasi zombie.
Inilah pertarungan terbesar abad ini: generasi Qur’ani melawan generasi zombie. Bukan perang fisik, tapi perang makna. Bukan perang senjata, tapi perang antara cahaya langit dan ilusi digital.
Mereka yang Menjadi Oasis di Gurun Materialisme
Mereka bangun sebelum fajar, bukan untuk mengejar early bird discount, tapi untuk merengkuh malam yang tersisa.
Tahajud adalah ritual pemberontakan, protes sunyi terhadap dunia yang menjual tidur sebagai komoditas. Di tangan mereka, Al-Qur’an bukan sekadar kitab, tapi peta navigasi untuk mengarungi samudra dekadensi.
Generasi Qur’ani adalah saintis yang mempelajari ekologi dengan kacamata khalifah: “Setiap daun yang gugur adalah ayat yang terlewat,” ujar seorang biolog muda sambil mencatat dampak limbah plastik di sungai.
Mereka adalah guru yang mendirikan sekolah gratis di pelosok desa, programmer yang merancang aplikasi filantropi tanpa embel-embel iklan, dan seniman yang melukis kaligrafi di dinding kumuh perkotaan, sebagai pengingat bahwa keindahan adalah hak semua jiwa.
“Kami tidak mengejar trending topic, tapi menanam pohon yang buahnya akan dipetik oleh cucu-cucu kalian,” bisik mereka di tengah keramaian dunia yang sibuk memanen likes.
Mereka yang Menari di Kuburan Digital
Lihatlah wajah-wajah itu: tersenyum di layar, tapi matanya kosong bagai lampu neon yang tak pernah padam. Mereka adalah budak algoritma, scrolling tanpa henti, menyantap konten picisan seperti mayat hidup yang rakus.
Generasi zombie hidup dalam paradoks: mengunggah kutipan ayat suci di Instagram, tapi diam melihat tetangganya kelaparan. Mereka berdoa agar rezeki lancar, tapi mendukung sistem ekonomi yang menggusur rakyat kecil. Mereka haus validasi, hingga rela menjual privasi, keyakinan, bahkan harga diri demi angka di kolom followers.
Penelitian oleh Jean Twenge dari San Diego State University mengungkap bahwa konsumsi media sosial yang berlebihan membuat anak-anak lebih cepat lelah dalam belajar, tidak sabar dalam berpikir, dan enggan melakukan kontemplasi.
Dalam jurnal Computers in Human Behavior, disebutkan bahwa ritme konten digital yang cepat dan penuh stimulasi membuat otak kehilangan kapasitas untuk menikmati kedalaman, termasuk dalam beragama.
Survei LIPI dan Kominfo (2021) bahkan menemukan bahwa 78% anak usia 6–12 tahun lebih hafal lirik lagu TikTok atau YouTube daripada doa-doa harian atau surat pendek.
Sebuah studi dari Universitas Negeri Jakarta (2020) menambahkan bahwa durasi perhatian anak terhadap kegiatan mengaji turun hingga 40% dalam lima tahun terakhir, seiring meningkatnya konsumsi konten viral.
Psikolog anak Dr. Seto Mulyadi menyebut bahwa ritme dan visualisasi konten TikTok menciptakan kecanduan memori instan, anak-anak kini lebih cepat menyanyikan ‘Lagi Syantik’ daripada melafalkan Al-Falaq. Surat pendek tak lagi pendek di benak mereka, karena ruang ingatan sudah penuh dengan tarian viral dan jargon TikTok.
“Mereka seperti laron, terbang mengikuti cahaya palsu, lalu mati mengering di bawah kaki sejarah,” tulis seorang filsuf. Di balik filter wajah mulus, jiwa mereka berkeriput.
Ramadhan sebagai Panggung Revolusi
Ramadhan datang dengan dua wajah:
Wajah Pertama: Seorang ibu single parent berpuasa sambil menjahit pakaian untuk anak yatim. Pemuda mengisi malamnya dengan mengajar mengaji anak jalanan. Donasi mengalir deras ke dapur umum, naik 300% dari bulan biasa.
Wajah Kedua: Bukber mewah di hotel bintang lima, menu Rp 500 ribu per porsi. Konten religi viral berisi tarian dangdut campur ayat suci.
Pesta diskon online shopping menyambar jelang berbuka, menjerat kaum muda dalam konsumerisme.
“Jika Ramadhan hanya membuatmu lelah, bukan berubah, maka kau termasuk yang disebut Nabi: ‘Orang yang puasa, tapi hanya dapat lapar,” tegur suara dari mimbar Jumat.
Statistik mengungkap ironi: di saat sedekah meningkat, penghamburan uang untuk foya-foya pasca-Ramadhan melonjak 450%. Di sini, puasa berubah jadi ritual tanpa jiwa, sekadar tradisi, bukan transformasi.
Epilog: Bahtera Nuh untuk Generasi yang Tenggelam
Di ujung horizon, badai akhir zaman mengamuk. Gelombang hoaks, hedonisme, dan apatisme menerjang.
Tapi di tengah guruh, bahtera Qur’ani tetap berdiri, dibangun dari pahala sunnah yang tak tercatat di medsos, ilmu yang membebaskan, dan kesabaran kolektif.
Generasi zombie menari di geladak kapal Dajjal, terpesona oleh gemerlap deep fake dan janji surga virtual. Sementara generasi Qur’ani mengemudikan bahtera Nuh, membawa yang mau diselamatkan: manusia yang masih bisa merasakan dahaga ruhani.
“Kalian tidak bisa netral,” gema suara tegas dari mercusuar. “Pilih jadi penumpang bahtera Nabi Nuh, atau jadi algoritma yang menari di kapal Dajjal.”
Di penghujung Ramadhan, langit berhenti menangis. Ia memberi jeda, menunggu pilihan terakhir: Jadilah cahaya yang menyala di menara zaman, atau menjadi debu yang diinjak sejarah.
Esai ini selesai. Tapi pertarungan belum berakhir. Jika kau merasa tersindir, itu bukan kesalahan penulis, itu suara hati yang masih hidup.
والله أعلم
Penulis adalah penulis buku Kosmologi Islam dan pendidik