Laporan Khusus
KPK Ungkap Peran Immanuel Ebenezer
Ketua KPK: Dia Tahu, dan Membiarkan, Bahkan Kemudian Meminta

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap peran Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (IEG) dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Immanuel disebut tidak hanya mengetahui adanya praktik lancung di kementeriannya, melainkan juga membiarkan skema tersebut terus berlangsung hingga akhirnya turut meminta bagian dari hasil kejahatan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, posisi Immanuel dalam kasus ini sangat jelas. “Dari peran IEG itu adalah, dia tahu, dan membiarkan, bahkan kemudian meminta. Jadi artinya, itu proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” ujar Setyo dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Hal senada disampaikan Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. Menurutnya, sebagai wakil menteri, Immanuel memiliki fungsi kontrol yang seharusnya digunakan untuk menghentikan praktik menyimpang dalam pengurusan sertifikasi K3. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. “Setelah dia mengetahui, kemudian dibiarkan, bahkan meminta, karena ada sejumlah uang, kemudian juga ada motor dari sana,” ungkap Asep.
Penyidik KPK menemukan bukti bahwa Immanuel diduga menerima aliran dana haram sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024. Selain uang, penyidik juga menyita satu unit motor gede merek Ducati berwarna biru yang diterima Immanuel dari skema pemerasan tersebut.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka dan mengenakan rompi oranye, Immanuel sempat memberikan pernyataan singkat kepada wartawan. Ia meminta maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, keluarganya, dan rakyat Indonesia. Namun, ia membantah tuduhan KPK. “Agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” katanya. Ia juga berharap dapat memperoleh amnesti dari Presiden.
Dalam perkara ini, KPK menggunakan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang pemerasan oleh penyelenggara negara. Asep menjelaskan, penggunaan pasal pemerasan dalam operasi tangkap tangan (OTT) termasuk langkah langka yang diambil KPK. Tujuannya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dan pelaku usaha yang kerap dipaksa dalam posisi terjepit.
“Kebanyakan di lapangan, pemohon dari masyarakat atau perusahaan sudah melengkapi persyaratan, tetapi karena oknum penyelenggara negara menginginkan sesuatu, tetap dipersulit. Itu adalah pemerasan,” tegas Asep. Ia menambahkan, pihak yang diperas dan melapor tidak akan dijerat sebagai tersangka penyuapan.
KPK juga membuka kemungkinan menjerat para tersangka dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dugaan ini menguat karena terdapat penerimaan-penerimaan lain di luar hasil pemerasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. (sa)