Laporan Khusus
Ihik, Tangis Wamenaker di Gedung KPK

SUASANA di Gedung Merah Putih KPK, Jumat sore itu, mendadak hening ketika para tersangka kasus dugaan pemerasan digiring ke ruang konferensi pers. Di antara derap langkah aparat dan sorot kamera yang berdesakan, satu wajah mencuri perhatian: Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang lebih dikenal dengan sapaan Noel.
Mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK, Noel tampak menunduk. Air matanya jatuh, tak mampu ia bendung ketika dibawa memasuki ruangan. Tangisan itu menjadi potret sarat simbol: seorang pejabat tinggi negara, kini duduk di kursi pesakitan hukum, dalam kasus yang menodai nama kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan KPK pada Rabu malam (20/8). Dari belasan orang yang diamankan, setelah pemeriksaan intensif, KPK menetapkan 11 orang sebagai tersangka.
“Setelah gelar perkara, KPK meningkatkan status penyelidikan ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka. Salah satunya adalah saudara IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan) selaku Wamenaker,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto di hadapan awak media.
Kasus yang menyeret Noel ini berkaitan dengan pemerasan dalam pengurusan layanan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sebuah layanan yang seharusnya melindungi pekerja, justru disalahgunakan menjadi lahan pemerasan.
Ketua KPK menegaskan bahwa peran Noel dalam skandal ini sangat jelas. Ia bukan hanya mengetahui praktik lancung bawahannya, tetapi juga membiarkannya, hingga akhirnya turut meminta bagian dari hasil kejahatan.
“Dari peran IEG itu adalah, dia tahu, dan membiarkan, bahkan kemudian meminta. Jadi artinya, itu proses yang dilakukan oleh para tersangka ini, bisa dikatakan sepengetahuan, itu, oleh IEG,” ujar Setyo.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menambahkan bahwa Noel sebagai wakil menteri justru lalai menjalankan fungsi kontrolnya. “Tetapi pada kenyataannya, justru setelah dia mengetahui, kemudian dibiarkan, bahkan meminta, karena ada sejumlah uang, kemudian juga ada motor dari sana,” ungkap Asep.
KPK merinci bahwa Noel diduga turut menerima Rp 3 miliar pada Desember 2024, serta satu unit motor gede merek Ducati biru.
Setelah resmi mengenakan rompi oranye, Noel sempat menyampaikan permintaan maaf singkat kepada Presiden Prabowo, keluarganya, dan rakyat Indonesia. Namun di saat yang sama, ia juga membantah keras narasi KPK.
“Agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” ucap Noel, seraya menegaskan bahwa kasus yang menjeratnya bukanlah pemerasan. Bahkan, sebelum masuk ke mobil tahanan, ia sempat melontarkan harapan agar bisa mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo.
Pasal Pemerasan, Terobosan KPK
KPK menjelaskan alasan penggunaan Pasal 12 huruf e UU Tipikor tentang pemerasan dalam OTT kali ini — sebuah langkah yang jarang dipakai.
“Dalam praktik di lapangan, banyak masyarakat atau perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan, tetapi tetap dipersulit oleh oknum penyelenggara negara karena menginginkan sesuatu. Karena itulah, pasal pemerasan digunakan untuk melindungi masyarakat dan dunia usaha yang sering berada dalam posisi terjepit,” jelas Asep.
Kasus Noel menjadi OTT pertama di era Kabinet Prabowo-Gibran. Sorotan publik kian tajam, sebab Noel dikenal luas sebagai aktivis pro-demokrasi dan civil society. Kini, ironi itu begitu telanjang: seorang eks-aktivis yang dahulu vokal melawan kekuasaan, justru tergelincir oleh godaan kekuasaan itu sendiri.
Tangisan Noel di hadapan kamera pun menjadi simbol ironis: kekuasaan bisa mengubah arah seseorang, dan jabatan tinggi tidak menjamin bebas dari jerat hukum. Lebih jauh, kasus ini membuka mata publik tentang rapuhnya birokrasi, ketika sertifikasi K3 yang mestinya menjamin keselamatan pekerja justru diperdagangkan demi kepentingan segelintir pejabat. (sa)