Laporan Khusus
Menebak Dugaan ”Ketidakberanian” Bawaslu Tegur Prabowo yang Endorse Luthfi-Taj Yasin
Risiko Presiden yang Memihak
JAKARTA – Beredar luas video Presiden Prabowo Subianto yang meng-endorse salah satu pasangan calon di Pilkada Jawa Tengah yaitu Ahmad Lutfi - Taj Yasin Maimun. Banyak netizen melalui statusnya di media sosial langsung mengadu ke Bawaslu RI karena menganggapnya sebagai pelanggaran kampanye.
Hal tersebut salah satunya terlihat dalam akun X @LlRhie10323 dengan menulis status: Ngeri Inimah Cara Mainnya Lebih Kasar Dari Jokowi
KPU Bawaslu Harusnya Langsung Kartu Merah Prabowo
Inikah Arti Keberlanjutan Itu ?
#GibranBencanaNasional
Sementara netizen yang lain meragukan keberanian Bawaslu RI untuk menindak Prabowo. Hal tersebut seperti terlihat di akun X @mikuroQ dengan menulis status:
Bolehkah seorang Presiden yg aktif berkampanye? @KPK_RI @bawaslu_RI
Klau tidak boleh mana berani mereka melarang Presiden yg berkuasa
Seorang kepala desa sj tdk boleh berkampanye menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa:
Pasal 29 huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah
Mungkin angin sepoi2 yg akan menjawabnya😊😉
Terang-terangan
Dalam video yang beredar, Presiden Prabowo Subianto secara terang-terangan mendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Prabowo menilai Lutfi-Taj Yasin adalah pasangan yang tepat untuk memimpin Jawa Tengah yaitu
Sikap politik itu disampaikan Prabowo seperti diunggah dalam akun Instagram Luthfi, @ahmadluthfi_official pada Sabtu (9/11). Prabowo menyampaikan dukungan didampingi Luthfi dan Taj Yasin.
"Untuk itu saya butuh dukungan dari provinsi dan dari kabupaten saya percaya bahwa dua tokoh yang tepat untuk Jawa Tengah adalah saudara komisaris jenderal polisi Ahmad Lutfi seorang yang telah bertugas dan mengabdi Jawa Tengah cukup lama dan juga saudara Gus Taj Yasin Maimun yang juga cukup lama mengabdi di Jawa Tengah sebagai wakil gubernur," kata Prabowo.
Apakah Pelanggaran?
Betulkah seorang presiden tidak netral atau mendukung salah satu paslon dalam pilkada? Yang paling tepat menjawab pertanyaan tersebut tentunya adalah Bawaslu RI atau para pakar. Namun menukil dari portal hukumonline.com terdapat pertanyaan:
Dalam kontestasi pemilu, bolehkah presiden mendukung calon presiden dan calon wakil presiden tertentu? Selain itu, bolehkah presiden berkampanye untuk salah satu paslon? Apakah presiden boleh memihak dalam pemilu? Mohon untuk dijelaskan dari segi hukumnya. Terima kasih.
Sebelumnya, kami mengasumsikan bahwa maksud presiden berpihak adalah sikap presiden untuk memilih salah satu peserta pemilu, baik ketika menggunakan hak suaranya, maupun sikap untuk mendukung salah satu peserta pemilu dengan mengajak orang lain untuk ikut memilih paslon tertentu, atau ikut berkampanye dengan salah satu paslon.
Dalam hal presiden sebagai warga negara menggunakan hak suaranya maka hal tersebut sesuai dengan koridor hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU HAM bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.
Apakah Presiden Boleh Kampanye dan Memihak?
Namun, bagaimana jika presiden ikut berkampanye untuk pasangan capres/cawapres tertentu? Apakah presiden boleh kampanye dan memihak? Untuk menjawab hal tersebut, Anda dapat memperhatikan ketentuan dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi sebagai berikut:
Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Selama melaksanakan kampanye, harus memperhatikan koridor hukum yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, presiden wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
Kedua, selama melaksanakan kampanye, presiden dilarang menggunakan fasilitas negara berupa:
sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas;
gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan;
sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan
fasilitas lainnya yang dibiayai APBN atau APBD.
Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden yang menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai kondisi lapangan secara profesional dan proporsional. Menurut hemat kami, bentuk fasilitas negara yang demikian seperti pengamanan, tetap boleh digunakan presiden ketika kampanye.
Ketiga, presiden yang berkampanye harus menjalankan cuti.[4] Jadwal cuti kampanye yang dilakukan oleh presiden disampaikan Menteri Sekretaris Negara kepada KPU maksimal 7 hari kerja sebelum presiden melaksanakan kampanye.[5]
Namun demikian, menurut Bivitri Susanti pada artikel Begini Ulasan Pakar Terkait Aturan Presiden Berkampanye-Berpihak (hal. 1) disampaikan bahwa dalam membaca Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tentang presiden berhak melaksanakan kampanye harus utuh karena terkait dengan pasal lainnya. Ketentuan itu pada intinya memberi kesempatan kepada presiden sebagai petahana yang maju dalam pemilu sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk periode kedua.
Selain itu, menurut Bivitri, presiden harus juga terdaftar dalam tim kampanye resmi dari pasangan calon yang didukungnya.
Adapun, menurut Zainal Arifin Mochtar dalam artikel Akademisi HTN UGM: Presiden Berkampanye-Memihak Munculkan Komplikasi Hukum, UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye. Secara umum, UU Pemilu memberikan rambu-rambu bagi presiden untuk berkampanye, tetapi beleid itu tidak menjelaskan semua hal secara rinci (hal. 1).
Menurut Zainal, jika presiden berkampanye, maka akan banyak komplikasi hukumnya, karena UU Pemilu tidak mengatur detail. Posisi presiden dalam soal kepemiluan bisa merujuk UU Administrasi Pemerintahan yang memandatkan presiden tidak boleh melakukan tindakan atau menerbitkan keputusan yang tujuannya bukan untuk kepentingan negara, misalnya untuk kepentingan pribadi. Kemudian, UU 28/1999 jelas melarang penyelenggara negara negara melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (hal. 2).
Meskipun presiden mengajukan cuti untuk kampanye, menurut Zainal apakah tindakan itu menguntungkan pribadi, keluarganya, dan lainnya? Jika presiden didaftarkan sebagai pelaksana kampanye, sehingga bisa berkampanye, dampaknya bisa menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Zainal juga berpendapat bahwa Pasal 299 UU Pemilu harusnya dimaknai hak presiden dan wakil presiden melakukan kampanye hanya untuk petahana (hal. 2).
Dengan demikian, secara normatif, dalam UU Pemilu memang tidak ada larangan bagi presiden berkampanye untuk paslon tertentu, asalkan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Namun demikian, tindakan presiden berkampanye sebagaimana disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar berpotensi menimbulkan komplikasi hukum dan bisa berdampak menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Kebolehan presiden berkampanye menurut Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti, sebagaimana diatur di dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai kampanye untuk dirinya sebagai petahana.
Berkaitan dengan hal tersebut, sepanjang penelusuran kami, dalam UU Pemilu memang tidak dijelaskan mengenai larangan atau kebolehan yang dituliskan secara tegas mengenai presiden berkampanye untuk paslon lain. Hal ini karena frasa yang digunakan dalam Pasal 281 UU Pemilu adalah “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, … harus memenuhi ketentuan”. Sementara, dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu dinyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.”
Adapun, ketentuan Pasal 299 ayat (2) dan (3) UU Pemilu mengenai kewajiban untuk masuk ke dalam tim atau pelaksana kampanye menurut hemat kami ditujukan kepada kepada pejabat negara lainnya selain presiden dan wakil presiden.
Risiko Presiden yang Memihak
Meskipun dalam UU Pemilu ditetapkan bahwa presiden memiliki hak untuk berkampanye, namun, perlu diingat bahwa presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara[6] sesuai dengan mandat konstitusi.
Dengan demikian, karena presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara, maka seyogianya independensi dan netralitas presiden dalam pemilu harus dijaga, terutama ketika di luar cuti kampanye. Hal ini dalam rangka menjalankan sumpah presiden untuk memenuhi kewajiban presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.[7]
Selain itu, presiden juga harus memperhatikan rambu-rambu konstitusi agar pemilu tetap dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Apabila keberpihakan presiden dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan, tindakan, ataupun keputusan tertentu dengan menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan salah satu peserta pemilu, maka tindakan tersebut melanggar UU Pemilu dan berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang. Misalnya menyalahgunakan sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu atau paslon tertentu.
Dalam Pasal 282 UU Pemilu ditegaskan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Lebih lanjut, diterangkan dalam Pasal 283 UU Pemilu bahwa pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pejabat negara (termasuk presiden) yang melanggar ketentuan Pasal 282 UU Pemilu yaitu yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta sebagaimana diatur di dalam Pasal 547 UU Pemilu.
Adapun, mengenai potensi penyalahgunaan wewenang, kami akan menjelaskan sebagai berikut. Penyalahgunaan wewenang atau abuse of power atau dalam Bahasa Perancis disebut dengan detournement de pouvoir adalah salah satu tindakan menyimpang badan/pejabat administrasi berdasarkan prinsip exces de pouvoir (melampaui batas kekuasaan) dalam konsep rechtsstaat. Menurut Anna Erliyana, titik berat dalam mengukur penyalahgunaan wewenang terletak pada apakah keputusan/tindakan pejabat tata usaha negara sesuai dengan motivasi atau alasan dikeluarkannya keputusan/tindakan tersebut.
Menurut Utrecht, detournement de pouvoir dapat terjadi ketika suatu alat negara menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lainnya dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Utrecht memberikan istilah untuk hal tersebut sebagai menjungkirbalikkan wewenang atau afwenteling van macht.
Penyalahgunaan wewenang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu, dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Administrasi Pemerintahan. Tindakan mencampuradukkan wewenang dapat berupa tindakan yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Adapun, jika tindakan presiden bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang. Presiden juga dapat dikategorikan bertindak sewenang-wenang jika keputusan atau tindakannya dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Tindakan presiden yang dianggap melampaui wewenang dan tindakan yang dilakukan/ditetapkan secara sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak sah di sini berarti keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.
Sedangkan tindakan mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan jika telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dapat dibatalkan di sini maksudnya adalah pembatalan keputusan dan/atau tindakan melalui pengujian oleh atasan pejabat atau badan peradilan.
Pengadilan tata usaha berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Permohonan untuk menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang tersebut dapat diajukan oleh badan/pejabat pemerintahan dan wajib diputus paling lama 21 hari kerja.
Sebagai wujud check and balances, ketika ada dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh presiden ketika pemilu dalam wujud suatu kebijakan pemerintah, maka DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya yaitu tiga hak DPR berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (dan)