Opini

Petani, Nelayan, dan Kiasan Kepala Ikan: Apa yang Disiapkan Prabowo untuk Indonesia?

Oleh: Neno Warisman*

Neno Warisman — Satu Indonesia
1 day ago
Petani, Nelayan, dan Kiasan Kepala Ikan: Apa yang Disiapkan Prabowo untuk Indonesia?
Petani, Nelayan, dan Kiasan Kepala Ikan: Apa yang Disiapkan Prabowo untuk Indonesia?

JAKARTA - Pelantikan dan pidato pertama Presiden ke-8 Republik Indonesia telah selesai. Pidato yang luar biasa patriotik. Penuh wibawa, berpihak, dan berhati nurani. Berulang kali ia menyebut “harus berani!” seraya berkobar membakar semangat.

Siapa pun harus mengakui bahwa ini kontras yang jelas: Seorang Presiden yang seolah mengambil tanggung jawab pribadi atas kemajuan atau kemunduran Negara. Kalau kata orang barat, mempunyai noblesse oblige!

Utamanya, ia tegaskan bahwa dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus mencapai ketahanan pangan, bahkan menjadi lumbung pangan dunia. Ia juga menyampaikan analogi yang tajam: “Pemimpin itu seperti kepala ikan. Ikan membusuk dari kepala. Jika pemimpin busuk, maka rusaklah seluruhnya.” Dan lebih cerdas lagi, jika kerusakan merata di mana-mana, maka itulah hasil dari kepala ikan yang busuk. Sebuah peringatan keras tentang pentingnya pemimpin yang bersih.

Rasanya setelah lama sekali tidak “terhibur” oleh orasi politik patriotik seperti Bung Karno, hari ini kita menyaksikan sosok negarawan yang mampu menggelorakan masyarakat. Kemampuan orasi Prabowo luar biasa! ORATOR SEJATI! Tanpa teks sama sekali, fasih berbahasa Inggris, dan penuh keberanian.

Namun, ingat… kita akan selalu mengulas apakah pidato ini terkoneksi dengan pelaksanaannya. Apakah harga sembako akan lebih terjangkau? Apakah anak-anak sekolah akan mendapatkan makanan bergizi setidaknya sehari sekali? Apakah lapangan pekerjaan akan lebih mudah diakses oleh rakyat? Apakah praktik pinjol-pinjol ilegal akan ditumpas? Apakah BPJS akan diperbaiki? Apakah Pertamina dan BUMN lain akan kembali mandiri dan tidak dijadikan mesin uang atau lebih parah lagi, mesin  hutang di luar laporan neraca?

Dan yang tak kalah penting, jangan sampai pajak justru mencekik rakyat—pajak yang baik adalah pajak progresif, yang dapat dicapai dengan formalisasi dan industrialisasi ekonomi, bukan dengan menambah PPN setiap tahunnya.

Nah… banyak sekali harapan yang ditaruh pada pidato perdana ini, yang so far isinya sangat melegakan. Yang jelas, rakyat sekarang punya idola baru. Sebentar lagi, tukang kaos, tukang topi, dan tukang sablon akan meraup untung besar dari kalimat-kalimat gagah di setiap pidato presiden. Hahaha.

Wajah-wajah calon menteri yang katanya “campur sari” pun mulai terbayang di benak saya. Muncul gambaran seperti gado-gado campur soto, steak, vodka, bakmi, kemenyan, lodeh, es campur… semua tercampur, ubleg-ubleg dalam pikiran. Semoga saja, Indonesia dan presidennya berhasil menuntaskan amanat konstitusi, termasuk memberantas korupsi. Janji Presiden untuk bertindak tegas dan keras terhadap korupsi harus ditepati!

Mmm… pada bagian ini, jujur saya menahan napas berat. Hati kecil saya memohon kepada Allah, agar apa yang disampaikan Presiden Prabowo tentang demokrasi Indonesia yang khas, berakar pada persaudaraan dan gotong-royong, tanpa kebencian dan dendam, benar-benar terwujud. Ia menyerukan agar bangsa ini bersatu dalam satu kekuatan...

…sedangkan saya sendiri memilih untuk berdoa dalam sunyi.

Saya juga mencatat dengan saksama, sama seperti Najwa Shihab di TV Narasi yang juga sedang live dan membahas tema-tema pidato pagi ini dengan sudut pandang yang beragam.

Maka dari sudut pandang saya, Neno Warisman, Ibu dan aktivis Pendidikan selama lebih dari 35 tahun—ada tiga garis bawah tema besar yang saya lihat penting dari pidato:

1. Prabowo Bertekad Mengobati Luka dan Mengakhiri Penderitaan Rakyat

Jelas dari pidato pertama Presiden RI ke-8 ini, beliau sangat bersungguh-sungguh ingin memberikan keyakinan kepada publik, jajaran pemimpin, dan seluruh rakyat Indonesia, bahwa di bawah kepemimpinannya selama 5 tahun ke depan, beliau akan bekerja (sesuai sumpah yang telah diucapkan) terutama untuk pengentasan kemiskinan, yang berulang kali ia ungkapkan dalam berbagai narasi. Salah satu yang saya catat adalah ketika beliau mengatakan, “Kedaulatan itu adalah rakyat: jika seseorang berusia 70 tahun masih harus menarik becak, ini tidak boleh terjadi di negara di mana rakyat seharusnya berdaulat!”

Sekali lagi, noblesse oblige.

Tentu, Prabowo sendiri kini berusia 73 tahun. Sepanjang hidupnya, lahir dari keluarga bangsawan kaya yang berkecukupan, ia tetap menunjukkan jati diri sebagai seorang ksatria. Prabowo sangat menginginkan rakyatnya sejahtera. Lebih dari itu, ia ingin seluruh jajaran kepemimpinannya mengikuti visi yang ia miliki untuk bangsa dan negara: bekerja keras demi rakyat yang bahagia. Rakyat yang tersenyum, rakyat yang tertawa.

Ia menginginkan rakyat Indonesia bebas dari kemiskinan. Saat ia mengucapkan kalimat "Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur" untuk menggambarkan Indonesia yang ia cita-citakan, hati saya tersentuh. Sebuah negara yang baik dan penuh ampunan dari Tuhannya—itulah visi yang luar biasa luhur.

Yang menarik dari pidato pertama Presiden RI ke-8 ini adalah bagaimana ia menghadapi keraguan terhadap keberhasilan pemerintahannya.

Banyak yang mempertanyakan, apakah benar Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dan bebas dari impor?

(Meski tak disebutkan secara langsung, kita tahu maksudnya adalah mafia-mafia importir yang selama ini mengatur lalu lintas pangan rakyat, selain juga kegagalan institusi dan kurangnya koordinasi cepat antar Kementerian dan Lembaga).

Dengan berapi-api, Prabowo meyakinkan publik bahwa apa yang dianggap tidak mungkin, bisa menjadi nyata di bawah kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang baik harus berani menantang mindset ketidakmungkinan. Inilah esensi dari seorang pemimpin.

Kenapa? Katanya kan… yang kurang dari elit di Negara ini adalah political will. Bukan keahlian, bukan juga gelar, apalagi sekedar uang. Yang kurang adalah keberanian dan kemauan untuk menyatakan yang tidak mungkin itu mungkin, tanpa klausa-klausa tambahan. Sepertinya, Presiden Prabowo memenuhi kriteria itu.

2. Prabowo Menunjukkan Adab Tinggi kepada Utusan Negara Sahabat dan Para Pemimpin Dunia

Pak Prabowo secara khusus menyebutkan satu per satu nama tamu dari luar negeri yang hadir. Beliau menyebut bahwa mereka datang dari jauh, menghormati setiap utusan dengan penuh penghargaan. Ini mengingatkan saya pada salah satu sifat Rasulullah SAW yang sangat menonjol, yaitu memuliakan tamu.

Saya kagum dengan ingatan kuat seorang lelaki berusia 73 tahun ini. Setiap tamu disebutnya dengan jelas, lengkap dengan jabatannya. Bahkan nama Sultan Bolkiah, dengan gelar panjangnya yang penuh kemuliaan, diucapkan dengan sempurna oleh Prabowo! Wow… Dan tak berhenti di situ, 19 utusan negara dari berbagai belahan dunia juga disebutkan satu per satu dengan sambutan yang hangat.

Gestur Prabowo juga berbicara banyak. Bukan hanya sekadar menyebut nama, tetapi sikapnya sangat merangkul. Pandangannya, tatapan matanya yang menoleh ke arah para tamu, seolah berkata, “We want to be a good neighbor for you.”

Setelah pelantikan selesai, Prabowo menyalami semua tamu VIP satu per satu, termasuk Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, yang juga sempat disebut dalam pidato. Mantan lawan politiknya disambut hangat dan dengan legowo.

Najwa Shihab di TV Narasi berkomentar, “Nggak dikasih nilai 11 lagi...” sambil terkekeh. Sebuah momen ringan yang mencairkan suasana.

3. Komitmen Prabowo pada Anti-Penjajahan dan Pembelaan Palestina

Prabowo dengan tegas menyampaikan sikap politik luar negeri Indonesia yang sudah bulat: Indonesia berpihak pada Palestina. Sebagai bangsa yang pernah merasakan perihnya penjajahan, Prabowo mengingatkan bahwa Indonesia dulu diperlakukan seperti anjing oleh penjajah. Rasa sakit itu telah kita alami, dan kita tidak akan membiarkan bangsa lain mengalami hal yang sama.

Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah telah mengirim tenaga medis ke Gaza dan berkomitmen untuk menerima pengungsi yang terluka di rumah sakit tentara dan rumah sakit lainnya. Bukan hanya itu, ia menyatakan komitmennya untuk memberikan pemulihan trauma bagi anak-anak Palestina.

Saat menulis ini, saya menunduk dalam. Air mata saya jatuh. Terbayang pahlawan Asy-Syahid Yahya Sinwar, dan seorang teman bernama Mulyana—bukan orang terkenal, hanya wartawan sederhana—yang begitu tersentuh oleh syahidnya Yahya Sinwar hingga ia jatuh sakit. Ia menulis panjang kepada saya tentang betapa pedihnya pembantaian di Gaza ini bagi dirinya.

Saya juga menerima foto dan video perjuangan terakhir Sinwar dari sahabat saya yang juga berjuang di Sahabat Al-Aqsha. Ia dan istrinya telah menghabiskan setengah hidup mereka untuk berjuang mengumpulkan bantuan bagi Palestina dan menyadarkan banyak orang tentang apa yang terjadi di sana.

Di tengah pikiran ini, terlintas sebuah puisi berharga dari Datuk Taufiq Ismail, “Palestina, bagaimana aku bisa melupakanmu.”

Larik-larik dahsyatnya, yang ditulis puluhan tahun lalu, kini semakin relevan. Saat ini, 45 ribu nyawa telah hilang dalam genosida oleh Israel, dan saya merasa belum memberi apa-apa pada perjuangan mereka, kecuali tetesan air mata.

Kembali lagi ke Nelayan dan Petani

Akhirnya, saya harus mengakui bahwa banyak suara netizen benar ketika mengatakan bahwa upacara khas militer yang dipilih Prabowo pada hari pertamanya sebagai Presiden, memberikan harapan akan keamanan bangsa di masa depan.

Tentu bukan karena upacara gaya militer lebih baik dari gaya sipil, atau sipil lebih baik dari militer. Setiap sendi Negara saling mendukung satu sama lain.

Terus kenapa?

Karena komentar di akhir pidato yang Presiden Prabowo lontarkan dengan penuh semangat, namun sekaligus tercekat bagai haru. Ia berseru, “Siapa yang memberi makan pasukan tentara Indonesia saat tak ada uang untuk menggaji mereka? Petani!” teriaknya.

“Siapa yang membantu Indonesia memberi makan saat kita miskin dulu? Nelayan!” pekiknya.

Baris pidato ini mensinyalkan sesuatu yang kuat, bagai bilang “Hidupkan kembali TNI yang lahir dari rahim rakyat!”

Militer Indonesia lahir dari perjuangan Kemerdekaan dan tumbuh dari rahim yang diberi makan Nelayan dan Petani dan Presiden Prabowo yang ingin membalas balik jasa rakyat Indonesia dari dulu sampai sekarang.

Setelah sejenak mengecek lembaran kertas yang sama sekali tidak ia baca, kemudian beliau meneriakkan tiga kali "Merdeka! Merdeka! Merdeka!" dengan lantang, diikuti oleh seluruh hadirin. Sangat khas Prabowo, di akhir pidato ia sempat-sempatnya berkomentar, "Yang tidak berteriak merdeka, tidak patriotik." Hehehe.

Murni dan tidak neka-neko. Begitulah kesan yang penonton rasakan ketika mendengar pidatonya. Bagai rangkaian serba putih menuju Istana Negara dengan iring-iringan mobil kenegaraan dan bahkan mobil pengawal, Garuda Limousine namanya. Sebagai penggemar warna putih, saya senang karena sampai keset rumah, bedcover, sprei, dan taplak meja saya semua putih!

Dari balik layar kaca, saya melihat antusiasme masyarakat, dari hasil polling harapan pada pemerintahan Prabowo tampak sangat tulus. Indonesia akan bangkit, semoga. Seperti Soekarno yang melewati masa-masa pahit di penjara demi kemerdekaan, Prabowo juga telah melewati 15 tahun kepahitan, dan kini berbuah kemenangan.

Seorang sahabat perempuan, seorang Prof. Dr., menelepon saya di ujung tulisan ini berakhir, dan saya sambil menemani putra saya mengintip konser musik mini yang hingar-bingar di sebuah pusat perbelanjaan. Ia bilang, “Neno, kamu dengar pidato Prabowo? Ada dua hal, kenapa ia harus menyebut Uni Emirat Arab? Satu lagi, kalau cita-citanya mengentaskan kemiskinan, kenapa kabinetnya dibuat sangat gemuk? Akan menjadi pemborosan luar biasa jika Neno tahu berapa yang APBN harus keluarkan untuk satu kementerian. Juga, siapa bisa jamin Prabowo akan memimpin lebih dari 5 tahun?”

Saya terdiam, mencerna, dan berdoa. Semoga para pemimpin benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri, keluarganya, atau untuk golongannya. (*penulis adalah aktivis sosial dan budayawan)


Berita Lainnya