Opini
“Kabinet Magelang”, 109 Taruna Prabowo di Lembah Tidar
Oleh: Neno Warisman*
JAKARTA - Malam sebelum keberangkatan, apa yang mengisi kepala 109 Menteri dan Wamen, serta kepala-kepala Pejabat Setingkat Menteri di Kabinet Merah Putih?
Bisa tidur nyenyak? Pasti akan ada bayangan tentang Magelang yang meleset.
Sebelum kenyataan tiba, mereka bebas berimajinasi—tiga malam beneran tidur di tenda halaman International Borobudur Golf and Country Club, atau bisa di kamar-kamarnya?
Sebagai pemerhati pun, saya mereka-reka. Presiden baru sehari dilantik, lalu minggu yang sama langsung membawa seluruh armada kabinet outbound ke markas almamater militer beliau, tempat jiwa korsa ditempa.
Pasti ada hal istimewa yang ingin dicapai.
SINYAL DARI MAGELANG
Belum ada presiden sebelumnya yang melakukan pembekalan kabinet di sekolah militer ternama, yaitu Akmil Magelang. Paling pol, kunjungannya hanya saat penerimaan taruna atau pelepasan lulus.
Konon, sudah disiapkan 120 tenda (bukan tenda haji, tentu) dan katanya, Presiden juga akan tidur di sana. Wih, exciting.
Akankah melihat langsung penempaan karakter para taruna? Mendengar lantang derap latihan, berkuda, menembak, perang-perangan, salto pesawat... wow!
Semoga bisa menghasilkan perubahan yang baik. Soalnya, baru dua hari menjabat, konon sudah ada menteri yang pakai kop surat kementerian untuk urusan pribadi. Mungkin saking bahagianya, entahlah. Meski sudah ada klarifikasi, ini bukti menteri belum paham visi-misi presidennya sendiri.
PAHLAWAN-PAHLAWAN BARU?
Warga biasanya tidak punya akses langsung kepada telinga mereka yang duduk di kabinet. Suara mereka harus panjang meliuk melalui rangkaian rapat, hearing, birokrasi panjang, atau bahkan berisiko tertelan hiruk-pikuk politik.
Di kepala saya, terbayang scene seperti di film lawas—rangkaian adegan yang bisa menyampaikan kegelisahan.
Bayangkan teatrik ini: Saat kabinet sedang barbeque, tiba-tiba terdengar ledakan beruntun, asap menggulung di langit, lalu segerombolan orang—banyak ibu-ibu dan anak-anak—berteriak minta tolong di luar pagar, menangis, melolong, seakan mencoba merobohkan pagar.
Kira-kira, apa respons para anggota kabinet? Kaget? Menduga-duga? Lari? Mendekat? Menganalisis? Diam? Tertawa? Cool saja?
Di situasi emosional itulah Presiden dapat berbicara tentang esensi kemanusiaan, kepedulian, pengorbanan, dan solidaritas.
Mengajak semua anggota kabinet, misalnya, memahami posisi politik LN baru Indonesia yang akan lebih sumbangsih menjaga keamanan dunia, karena Alutsista kita lebih siap daripada sebelumnya.
Tentang bagaimana bangsa Palestina menghadapi agresi Israel dan genosida. Pernahkah mereka merasakan bagaimana rasanya berada di tengah dentuman dan ancaman senjata?
Atau tentang kemiskinan di depan mata, ibu-ibu dan keluarga yang menjerit ketika angka-angka statistik bergeser kanan-kiri, atas bawah, menyamping, menyerong…
"Itulah esensi kepemimpinan kalian!" mungkin tegas Presiden Prabowo.
"Rakyat hari ini butuh pengorbanan dari para pemimpinnya! Cukup sudah kemunafikan dan kejahatan kerah putih elit politik yang menyengsarakan rakyat. Anda semua bersama Saya harus menjadi PAHLAWAN-PAHLAWAN BARU! Mengikuti jejak Panglima Sudirman, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Die, Hasanudin, Keumala Hayati!"
Presiden yang saya kenal selama ini dari TV dan sekali-dua kali mungkin bertemu, selalu bersungguh-sungguh soal itu.
“…demi kemerdekaan kembali, dan untuk mengukuhkan lagi kedaulatan kita yang terkoyak oleh ketidakpastian hukum, kurangnya kesejahteraan, serta harga pangan yang naik-turun tajam!”
Beberapa Menteri dan Wamen yang saya kenal baik, dengan dedikasi dan integritasnya, mungkin akan menangis—karena kesungguhan hati mereka untuk menolong rakyat akhirnya bertemu dengan muara pemimpinnya.
SAPA SALAH SELEH
Pemilihan lembah Tidar mungkin akan menjadi momen penting ketika seluruh kabinet tiba di tugu "pakunya Pulau Jawa", sebuah prasasti yang dikenal dengan tulisan "SA" yang berarti "Sapa Salah Seleh"—siapa yang bersalah, pasti akan ketahuan.
Sangat penting menjadikan "Sapa Salah Seleh" sebagai motto dan semangat good and clean governance bagi mereka yang hidup di KMP.
Apakah pesan moral di tugu ini akan membekas di hati mereka, yaa tergantung pada takdir. Jika Allah SWT hendak menolong Indonesia, Ia pasti memberi hidayah pada para pemimpinnya.
Nah… tarik nafas dulu. Haha.
Wong ini masih berimajinasi.
Yang pasti, Prabowo Subianto memilih Magelang sebagai kawah candradimuka untuk pembekalan para Menteri bukan tanpa alasan. Apalagi serampangan. Beliau memiliki alasan yang kuat demi mencapai kesiapan moral, mental, spiritual dan yang terpenting: Perubahan paradigma bagi para pengisi kursi kabinet untuk ikhlas, rela, dan bersemangat hijrah total dari mengejar kepentingan pribadi menjadi memperjuangkan nasib rakyat.
Sudah ada tanda-tanda lain yang baik. Bocoran isi Hambalang Retreat yang beredar di media sosial kemarin menunjukkan bahwa Presiden ingin agar jajarannya lebih profesional dan berwawasan global—John Mearsheimer dan Ray Dalio bukan nama yang asing bagi telinga kalangan tertentu, walaupun rasa-rasanya ada dua atau tiga nama lain yang dipilih lebih karena koneksi kepada firma konsultan luar tertentu yang membantu acara ini. Tapi tidak apa, itu masalah kecil.
HIJRAH DAN SEPIRING KEHENINGAN
Selama 79 tahun Indonesia merdeka, rasanya sudah lama sejak ada pemimpin negara yang merangkul hampir semua lawan politiknya—baik yang mencintai maupun pernah membenci, yang pernah menikam maupun yang setia sebagai kawan, baik yang baik-baik saja maupun yang berkomentar macam-macam di forum online—semua duduk lesehan di Lembah Tidar.
Menyatukan hati, memadukan perbedaan, menyusun langkah kebersamaan. Dan yang paling diinginkan: mencapai keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan bersama, diperjuangkan bersama, dengan sekuat tenaga, jiwa, dan raga, demi bakti pada Ibu Pertiwi. Tampaknya, inilah ultimate goal yang disasar.
Seolah-olah Prabowo ingin berkata: "Saya tidak peduli pada masa lalu Anda semua. Mungkin di antaranya ada yang pernah mengeksploitasi tanah air untuk kepentingan pribadi, kolusi, menyulap hukum menjadi lumpuh untuk menyelamatkan kejahatan, atau sedang menjalankan praktik-praktik kotor—nepotisme, dinasti politik—tanpa memikirkan bagaimana itu akan mencemarkan kolam kita bersama. Maka saya minta, mulai saat ini, kita berubah. Kita tinggalkan semua praktik kotor bernegara. Kita menuju pemerintahan yang bersih, sebersih-bersihnya."
Apakah imajinasi saya terlalu utopis, membayangkan ini?
Saya membayangkan aroma profetik dan suasana patriotik tersambung antara Presiden dan para pembantu pemerintahannya, lalu diakhiri dengan sunyi. Kembali ke tenda masing-masing dengan sepiring keheningan.
Esoknya, saat hari terakhir, para Menteri dan Wamen kabinet tanpa kecuali mungkin diminta membawa “sepiring keheningan” itu setelah pamit, menyalami “ayah negara” mereka, pak Presiden, yang telah bersusah payah “menggodok” mereka untuk memiliki visi dan misi yang sama.
Ia mungkin berkata: “Wahai saudara-saudaraku, jangan pernah melupakan ‘sepiring keheningan’ yang kalian bawa pulang. Jadikan itu teman saat sarapan, makan siang, sore, malam, sepanjang kalian membantu saya dan sepanjang kalian menjadi manusia...”
Sepiring keheningan itu, keringnya sisa air mata kepedihan dari luka jiwa rakyat atas hak-hak mereka yang dirampas... termasuk pula para miskin kota yang digusur dan masyarakat adat yang sekarang “hanya” mendapatkan jalur Kementerian Budaya secara untuk memperjuangkan haknya…
Sepiring keheningan itu, kelaparan akan keadilan, menahan lapar akan demokrasi yang dijanjikan tetapi belum juga terlaksana...
Sepiring keheningan itu, mendambakan kebijakan yang berpihak pada kenyataan keseharian yang menekan...
Sepiring keheningan itu, kelamnya tatapan buram ke masa depan, karena terlalu lama hidup tanpa impian...
Tadabbur alam ini membuat 109 Taruna Presiden Prabowo di Lembah Tidar untuk tidur dekat tanah, naik bukit-bukit dan mungkin bolak-balik 7 kali, latihan kekompakan bahkan jika saling gontok-gontokan, dan makan 5 menit habis (berimajinasi!)
Selain berimajinasi, diminta pula berpikir seperti pertapa. Menahan syahwat dan nafsu segala. Berjarak dari kematerian yang tidak ada habisnya.
Utamanya, memperjuangkan rakyat agar bisa tertawa... "ben wong cilik iso gemuyu..." .
Mungkinkah ada perubahan?
Hanya doa yang kami miliki, kami panjatkan.
(*penulis adalah aktivis sosial dan budayawan)