Opini

TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (4)

Drs Maman Supriatman, M.Pd. — Satu Indonesia
07 April 2025 10:01
TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (4)
Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H / 31 Maret 2025 (Foto: Istimewa)

"Kekalahan terbesar umat adalah ketika mereka berpikir dalam kotak sistem yang menjajahnya."
(Sayyid Qutb).

Di tengah gemuruh peradaban, kapitalisme global hadir bagai mesin raksasa yang menggerus sendi-sendi kemanusiaan. Ia adalah dewa besi yang tak mengenal belas kasih, berdiri di atas altar riba, eksploitasi, dan ketidakadilan: tiga pilar setan yang menopangnya. 

Di balik dentingan saham dan sorak sorai pasar uang, semesta pun menangis. Langit menghitam bukan karena malam, melainkan karena kesedihan bumi yang terkoyak. Laut menahan gelombang seakan berduka, pepohonan tak lagi berdansa pada angin, dan bintang-bintang enggan bersinar sebagaimana biasanya. 

Tangis kosmis ini bukan dongeng; ia adalah jeritan sunyi dari planet yang dijarah, dari jiwa-jiwa yang ditukar dengan angka di layar monitor.

Syekh Imran menyebut sistem ini sebagai “sistem Dajjal”: sebuah jaringan tipu daya yang mengurung nilai-nilai luhur dalam ilusi fiat money, menjadikan dunia hanya sebagai pasar, dan manusia tak lebih dari angka statistik. 

Kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi; ia adalah agama baru yang mempersembahkan manusia kepada berhala laba, sementara Moloch modern, Federal Reserve, duduk di singgasananya dengan mahkota dolar.

Ramadhan tiba sebagai tamu agung yang tak hanya membawa cahaya, tetapi juga membawa palu untuk memecah cermin ilusi. Ia datang bagaikan embun pagi yang jatuh di padang gersang: menggugah tanah keras akibat kerakusan, dan membisikkan pada langit bahwa harapan belum sepenuhnya padam. 

Ramadhan bukan sekadar ritual, melainkan gerakan kosmik yang mencoba mengembalikan poros dunia pada nilai-nilai kasih, keadilan, dan pengendalian diri.

Jika kapitalisme mengajarkan manusia untuk terus mengambil, Ramadhan melatih jiwa untuk memberi. Jika materi diagungkan dan dipuja, puasa mengajarkan manusia mendengar bisikan nurani yang nyaris tertimbun debu iklan dan suara mesin produksi. 

Namun zaman ini mempertontonkan ironi pahit: di negeri-negeri Muslim, konsumsi justru melesat 40% selama Ramadhan (Statista, 2023). Tangis kosmis kian nyaring, sebab malam-malam Ramadhan yang seharusnya hening, justru diterangi oleh pesta cahaya dari mal-mal yang tak pernah tidur. 

Ayat suci "Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan" (QS. Al-A’raf: 31), kini hanya menjadi dekorasi dinding, tenggelam dalam gemerlap harta dan nafsu.

Luka sejarah pun turut mengucurkan air mata: siapapun yang menantang hegemoni dolar AS, tumbang dalam senyap. 

Kennedy dengan standar perak (Executive Order 11110), Sukarno dengan Deklarasi Ekonomi Berdikari, De Gaulle yang menuntut konversi dollar ke emas; semuanya dihantam oleh badai tak kasatmata. 

Seperti gerhana yang muncul tanpa peringatan, mereka lenyap di balik tirai geopolitik. “Ini bukan kebetulan,” tegas Syekh Imran, “melainkan ritual pengorbanan sistemik demi menyembah Moloch yang haus darah: Federal Reserve.” 

Tangis kosmis mengalir tak hanya dari langit, tapi dari sejarah yang dipalsukan dan masa depan yang dibajak.

Di tengah kegelapan inilah Ramadhan memekikkan cahaya revolusionernya. Sabda Nabi ﷺ tentang manusia yang tak lagi peduli halal dan haram (HR. Bukhari) tak lagi terdengar asing. Ia bukan sekadar nubuwah, melainkan pantulan dari etalase zaman: ketika halal hanya label, dan haram dikamuflasekan dalam promo diskon. 

Kapitalisme menjadikan manusia mesin konsumsi, dan Ramadhan menjawabnya dengan mogok spiritual: menolak menyantap rezeki haram, mengosongkan diri dari nafsu belanja, dan menyalakan api solidaritas yang tak bisa dikapitalisasi. 

Tangis kosmis berubah menjadi genderang perlawanan, memanggil nurani untuk bangkit.

Kapitalisme telah mencuri waktu, mengubah setiap detik menjadi koin, setiap jam menjadi laporan laba-rugi. Namun Ramadhan mengajukan "jam surgawi": waktu sahur untuk rintihan, waktu berbuka untuk syukur, dan malam hari untuk hening. 

Irama ini adalah simfoni langit yang mengacaukan partitur kapitalisme. Waktu tak lagi berlari demi profit, tapi berdetak lembut demi makna. Tangis kosmis yang tadi lirih kini menjelma menjadi nyanyian malam yang mengajak manusia kembali pulang.

Ramadhan adalah kalender alternatif. Bayangkan: 30 hari tanpa bunga bank, 720 jam tanpa spekulasi yang menindas. Ini bukan mimpi. Di Turki, gerakan Interest-Free Ramadan berhasil melibatkan 1,2 juta orang bertransaksi tanpa riba sepanjang 2023 (data IEF, 2024). 

Sebuah oasis kecil di tengah gurun kapitalisme. Tetes air mata langit berubah menjadi gerimis harapan. Bumi berbisik, “Masih ada yang menolak tunduk.”

Namun, tantangan sejati datang ketika Ramadhan usai. Dunia kembali menggoda dengan rutinitas yang membius. 

Seperti diingatkan Noam Chomsky: "Sistem tidak takut pada pemberontakan 30 hari, tapi pada disiplin yang konsisten." 

Maka Syahrul Mujahadah, bulan perjuangan, harus terus dihidupkan. Jangan biarkan semangat Ramadhan dikubur oleh jadwal kerja. Tangis kosmis menuntut lebih: ia menagih konsistensi, bukan euforia sesaat.

"Ramadhan adalah latihan jihad tanpa senjata," tegas Syekh Imran Hosein. Di zaman yang dikendalikan algoritma ribawi, setiap sahur adalah deklarasi kemerdekaan. Ia adalah nyala obor di tengah malam dunia yang gelap. Seperti kata Sayyid Qutb: "Kekalahan terbesar umat adalah ketika mereka berpikir dalam kotak sistem yang menjajahnya." 

Maka Ramadhan adalah ajakan untuk melompat keluar dari kotak itu, merajut dunia baru, tempat langit tak lagi menangis, dan bumi kembali bernyanyi dalam irama Ilahi.

Tugas kita kini adalah menjaga api itu tetap menyala, sebab tangis kosmis bukan akhir melainkan awal dari kesadaran: bahwa kita tak dilahirkan untuk menjadi gigi dalam mesin, tapi cahaya di tengah zaman yang gulita.

Glosarium: Tiga Simbol Sistem Dajjal

1. Moloch
Berhala kuno pemakan anak manusia. Dalam metafora modern, Moloch mewakili sistem kekuasaan yang menuntut pengorbanan massal, termasuk moralitas, keadilan, dan kemanusiaan, demi keuntungan segelintir elite global.

2. Fiat Money
Uang “tipuan”: tidak didukung emas atau perak, hanya bergantung pada kepercayaan terhadap pemerintah/penerbit. Ia adalah simbol sihir ekonomi modern, mencetak kekayaan dari angin, yang menghancurkan nilai kemanusiaan dan keadilan.

3. Federal Reserve
Bank sentral AS yang bukan milik negara, tapi dikendalikan oleh korporasi swasta. Ia bertindak sebagai jantung sistem riba dunia, mengatur detak ekonomi global, layaknya imam shalat bagi sistem perbankan dunia.

والله أعلم

Penulis adalah seorang pendidik dan penulis buku Kosmologi Islam


Berita Lainnya