Opini
TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (2)

RAMADHAN berlalu, meninggalkan jejak spiritual. Namun, tangis yang mengiringi kepergiannya bukan sekadar ratapan atas perginya bulan suci, melainkan cermin kegagalan kolektif kita memaknai Ramadhan sebagai transformasi, bukan sekadar ritual.
Di sini, paradoks terkuak: kita meratapi kepergian Ramadhan, tetapi mengabaikan esensinya dalam keseharian. Bukankah Allah menciptakan manusia sebagai khalifah yang menuntut konsistensi, bukan kepatuhan musiman?
Ramadhan seringkali menjadi panggung performativitas keagamaan: masjid penuh, Al-Qur’an dibaca secara massal, sedekah mengalir. Namun, apakah ini bukti meningkatnya ketakwaan atau sekadar euforia sosial yang terinstitusionalisasi?
Pertanyaan ini perlu dihadirkan bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk membongkar kemungkinan bahwa keberkahan Ramadhan telah direduksi menjadi komoditas spiritual yang dikonsumsi secara temporer.
Penurunan semangat ibadah pasca-Ramadhan sering disebut sebagai kelemahan individu. Tapi, adilkah menyalahkan pribadi ketika sistem komunitas ikut membentuk pola ini?
Masjid-masjid yang ramai tiba-tiba menjadi sepi, kajian agama berkurang, dan tekanan sosial untuk "tampak religius" menghilang. Ini bukan sekadar persoalan istiqamah, melainkan kegagalan sistem pendukung.
“Hati manusia itu seperti burung, jika ia tidak terbang menuju Allah, ia akan terjatuh dalam jerat nafsu", kata Ibnu Qayyim. Ramadhan menyediakan sangkar emas untuk burung-burung ini, tetapi pasca-Ramadhan, kita melepaskannya ke hutan belantara tanpa kompas.
Di sini, konsistensi spiritual harus diperjuangkan dengan membangun ekosistem yang memfasilitasi, bukan mengandalkan heroisme individu.
Ramadhan sebagai bulan pembersihan dosa, seolah kita bisa mengakumulasi maksiat 11 bulan asal "dilunasi" di Ramadhan. Ini mentalitas berbahaya: ia mengubah Ramadhan menjadi cheat code ketimbang fondasi perubahan.
Padahal, Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah” (QS. Al-An’am: 162); sebuah komitmen holistik, bukan kontrak temporer.
Jika setiap Ramadhan hanya menjadi ritual tahunan tanpa efek pada karakter, bukankah kita seperti pedagang yang menimbun stok di bulan tertentu, lalu bangkrut sepanjang tahun? Di sini, Ramadhan harus diposisikan sebagai terminal evaluasi.
Untuk memastikan cahaya Ramadhan tidak redup, kita perlu berani melampaui zona nyaman. Misalnya:
- Kuantitas vs. Kualitas Ibadah:
Mengapa membaca 30 juz di Ramadhan lalu berhenti? Bukankah satu halaman yang direnungkan lebih bermakna daripada 30 juz yang dibaca tanpa tadabbur?
- Memperkuat Infrastruktur Spiritual:
Komunitas harus merancang program pasca-Ramadhan (misalnya, group muraja’ah harian, dana sedekah berkelanjutan) agar momentum tidak terputus.
- Membongkar Mentalitas Konsumerisme Spiritual:
Ramadhan kerap dibajak oleh kapitalisme (bazar, diskon, tradisi seremonial). Saatnya mengembalikannya sebagai ruang tarbiyah ruhiyah yang intim.
Epilog: Tangis yang Menghidupkan
Tangis di ujung Ramadhan bukanlah tanda kelemahan, melainkan panggilan kosmis untuk bangkit. Seperti air mata Nabi Adam yang melahirkan peradaban, tangis ini harus menjadi energi untuk bertransformasi.
Ramadhan mengajarkan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi menahan diri dari segala yang membatasi kita menjadi hamba yang utuh. Kita perlu berani bertanya: Jika setan dibelenggu di Ramadhan, mengapa pasca-Ramadhan kita masih mudah terjatuh?
Jawabannya mungkin terletak pada kesadaran bahwa setan terkuat bersemayam dalam diri kita sendiri: rasa malas, pembenaran diri, dan kepuasan semu atas ritual-ritual instan.
“Jangan puas hanya dengan setetes air, wahai sungai! Teruslah mengalir, hingga kau tiba di lautan!”, kata Rumi. Ramadhan adalah tetesan yang mengingatkan kita pada lautan ketakwaan yang harus terus diperjuangkan.
Jika tangis ini tak juga membangunkan kita, mungkin kita perlu merenungkan kembali: Sudahkah Ramadhan menyentuh hati, atau sekadar memenuhi kalender?
Esai ini undangan untuk terus bertanya, berefleksi, dan bergerak, sebab, jalan spiritual bukanlah garis finish, tetapi lingkaran yang terus meluas mendekati Sang Maha.
والله أعلم
Penulis adalah penulis buku Kosmologi Islam dan pendidik