Opini

TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (1)

Drs Maman Supriatman, M.Pd. — Satu Indonesia
04 April 2025 09:48
TANGIS KOSMIS DI UJUNG RAMADHAN (1)
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H (Foto: Istimewa)

RAMADHAN bukan bulan mati yang hanya menyisakan kenangan. Ia prisma Cahaya Ilahi yang membiaskan warna-warna kebijaksanaan ke dalam labirin zaman. 


Di ujung labirin itu, kita berdiri: manusia abad ke-21 yang terengah antara gema azan dan deru notifikasi, antara rindu langit dan kenyamanan bumi. 


Di sini, di persimpangan ini, Ramadhan mengajak kita berpaling, bukan dari dunia, tetapi dari ilusi bahwa spiritualitas adalah pelarian.


Bulan sabit yang sama mengatur puasa kita dan mengorbitkan planet-planet. Tidakkah ini pertanda bahwa ketika manusia menahan lapar, semesta ikut mengatur ulang nafasnya? 


Di gurun Sahara, pasir berbisik tentang disiplin angin; di laut Pasifik, ombak patuh pada gravitasi bulan. Tapi manusia, dengan kalender di genggaman dan algoritma di kepala, kerap lupa bahwa dirinya adalah mikrokosmos yang seharusnya selaras dengan makrokosmos. 


Puasa adalah "gerhana nafsu": saat syahwat tertutup, cahaya fitrah muncul. Namun zaman ini lebih suka memakai kacamata hitam, menyembunyikan matahari hakiki dengan filter instagram. Krisis ekologi dan krisis spiritual adalah dua sisi koin yang sama: kita merusak hutan karena jiwa kita sudah gersang jauh sebelumnya.


Jari-jari yang piawai menyentuh layar adalah altar baru penyembahan. Kita berpuasa dari nasi, tapi lapar akan validasi. Di malam Lailatul Qadar, ada yang masih menggenggam ponsel, seolah-olah cahaya Malaikat kalah oleh cahaya screen. 


Tapi jangan salah: teknologi bukan musuh. Ia cermin yang memantulkan isi hati. Jika Ramadhan abad ke-7 mengajak manusia perang melawan jahiliyah, Ramadhan abad ke-21 menantang kita berperang melawan jahiliyah digital: hoaks yang lebih cepat dari witir, kebencian yang lebih viral dari ayat suci. 


Di sini, "puasa mata" lebih berat daripada puasa perut: menahan diri dari scroll berita palsu adalah jihad kontemporer.


Di akhir Ramadhan, tangis kita adalah tangisan Nabi Ya’qub, bukan karena kehilangan, tetapi karena rindu yang mengubah duka menjadi doa. 


Yusuf kita adalah kedamaian jiwa yang hilang, dan Syawal adalah bulan pencarian. Puasa enam hari bukan sekadar sunnah; ia latihan kecil untuk konsistensi besar: menemukan "Yusuf-Yusuf" spiritual dalam kehidupan sehari-hari. 


Tapi zaman ini ingin semuanya instan: tobat dianggap seperti aplikasi yang bisa diunduh sekali klik. Padahal, taubat nasuha adalah proses rehabilitasi jiwa, seperti menyambung kain kafan yang sobek, jahitan demi jahitan. 


Ramadhan mengajarkan: yang penting bukan seberapa cepat kau berlari, tetapi seberapa tabah kau bangkit setiap kali terjatuh.


Di sudut-sudut sepi masjid, ada mereka yang berbisik: “Aku gagal lagi.” Pecandu yang kambuh, duda yang patah hati, anak muda yang depresi, Ramadhan sering terasa seperti pesta orang-orang suci, padahal ia seharusnya menjadi klinik bagi yang luka. 


Tangis kosmis itu juga milik mereka: orang-orang yang dianggap "kurang ikhlas" karena tak bisa menangis saat tadarus. Tapi di mata-Nya, nilai puasa bukan diukur dari seberapa deras air mata, melainkan dari seberapa tulus kau merangkak mendekat, meski berkali-kali tersungkur.


Ramadhan mengajak kita keluar dari penjara waktu linear. Saat i’tikaf, jam dinding berhenti berdetak. Di malam Lailatul Qadar, ribuan tahun direduksi menjadi satu momen: Musa, Isa, dan Muhammad seakan berbisik bersama dalam keheningan. 


Tapi manusia modern terjebak dalam kultus produktivitas: “Bacaan Qur’anmu khatam berapa kali?” “Berapa juta sedekahmu?” Padahal, Ramadhan justru ingin kita merasakan setiap teguk air berbuka seperti pertama kali, dan setiap sujud seperti terakhir kali.


Cahaya Ramadhan harus menjelma menjadi lentera di bulan-bulan berikutnya: Syawal dengan puasa sambungannya, Dzulhijjah dengan kambing kurban yang mengajarkan keikhlasan, bahkan Sya'ban yang sering dilupakan, semua adalah episode dari tarbiyah ruhiyah sepanjang masa.


Di sela denyut waktu inilah tangis kosmis menemukan nadanya yang hakiki, bukan keluh kesah, melainkan simfoni perubahan yang bergema dari ruang sujud menuju langit-langit kehidupan.


Tangis kosmis itu kini kupahami: ia bukan ratapan, melainkan transisi, dari manusia yang terpenjara nafsu, menjadi insan yang merdeka karena dekat dengan-Nya. 


Maka, air mata yang tumpah di penghujung Ramadhan adalah tetesan pembebas: mengubah dahaga jiwa menjadi sungai kesadaran yang mengalir ke Samudra Ilahi. 


Kita mungkin gagal berpuluh kali, tapi Ramadhan mengajarkan: yang penting bukan seberapa cepat kau berlari, tapi seberapa tabah kau bangkit setiap kali terjatuh. Karena di mata-Nya, yang paling mulia bukanlah mereka yang sempurna, tapi yang terus merangkak mendekat, meski tubuh penuh debu.


والله أعلم

Penulis adalah penulis buku Kosmologi Islam dan pendidik


Berita Lainnya