Opini

Tanah Musnah, Legitimasi Oligarki untuk Reklamasi Laut?

Ahmad Khozinudin, S.H. Advokat Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)

Ahmad Khozinudin, S.H. — Satu Indonesia
6 hours ago
Tanah Musnah, Legitimasi Oligarki untuk Reklamasi Laut?
Ahmad Khozinudin, S.H. Advokat Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR) (Foto: Istimewa)

ISTILAH "tanah musnah" merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Istilah ini diperkenalkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dalam Pasal 49 UU Nomor 6 Tahun 2023 Jo UU Nomor 11 Tahun 2020. Regulasi ini menyebutkan bahwa tanah yang telah musnah akibat perubahan fungsi lahan atau bencana alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Definisi lebih lanjut mengenai tanah musnah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa tanah musnah adalah tanah yang tidak dapat digunakan lagi karena mengalami kerusakan fisik dan/atau ekologis yang tidak dapat dipulihkan.

Legitimasi Reklamasi Berkedok Tanah Musnah?

Sekilas, konsep ini tampak wajar. Namun, ketika Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa tanah yang telah berubah menjadi laut dianggap sebagai tanah musnah, polemik mulai mencuat. Pernyataan ini digunakan sebagai justifikasi untuk mendukung proyek reklamasi, terutama yang berkaitan dengan PIK-2 dan pengembang besar seperti Agung Sedayu Group.

Dalam Pasal 66 PP Nomor 18 Tahun 2021 dijelaskan bahwa jika suatu bidang tanah mengalami perubahan bentuk akibat peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan lagi, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah musnah dan hak atas tanah tersebut dianggap hapus. Namun, terdapat celah hukum yang memungkinkan pemilik tanah musnah—termasuk korporasi besar—untuk mengajukan hak reklamasi dan mendapatkan kompensasi berupa dana kerohiman.

Manipulasi Sertifikat dan Polemik Pagar Laut

Dalam diskusi bersama Yasmin Mumtaz di Channel Diskursus Net (3/2), penulis menyoroti dampak dari penerimaan istilah tanah musnah ini bagi kepentingan oligarki properti. Dengan dalih tanah musnah akibat abrasi, pemilik lahan bisa mengklaim hak reklamasi dan memperoleh kompensasi finansial. Namun, benarkah tanah itu pernah ada? Ataukah sertifikat tanah yang diklaim hanyalah hasil pemalsuan dokumen?

Jika ditelusuri, banyak sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) yang kini berada di laut. Namun, bukannya dulunya ada tanah dan kemudian hilang akibat abrasi, melainkan sertifikat-sertifikat tersebut sejak awal diduga dibuat dengan rekayasa administratif. Artinya, klaim bahwa tanah tersebut musnah sebenarnya tidak berdasar, dan justru membuka peluang bagi pihak tertentu untuk mereklamasi laut secara legal.

Siapa yang Diuntungkan?

Tak heran jika polemik pagar laut dan sertifikat laut tak kunjung usai. Jika regulasi ini terus dibiarkan, ada potensi besar bagi pengembang besar untuk mereklamasi laut dengan dalih tanah musnah. Pemerintah seolah memberi karpet merah bagi proyek-proyek properti raksasa dengan mengabaikan aspek lingkungan dan hak masyarakat pesisir.

Publik perlu kritis terhadap konsep tanah musnah ini. Jangan sampai kebijakan yang seharusnya mengatur tata ruang dan lingkungan malah menjadi alat legitimasi bagi korporasi untuk memperluas proyek properti mereka. Regulasi ini harus dikaji ulang agar tidak menjadi alat eksploitasi demi kepentingan segelintir pihak. 


#TanahMusnah #Reklamasi #PIK2 #HakAtasTanah #UUCK #Agraria #Lingkungan #Oligarki


Berita Lainnya