Opini
Skandal Pagar Laut: Benarkah Hukum Tumpul ke Atas?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

PUBLIK dikejutkan dengan pernyataan Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro, yang menyebut Aguan dan Agung Sedayu Group tidak terlibat dalam kasus pagar laut. Pernyataan ini mengundang tanda tanya besar: apakah Bareskrim Polri bertindak sebagai penyidik atau justru sebagai pengacara bagi Aguan?
Secara logika hukum, pernyataan ini sangat prematur. Bagaimana mungkin menyimpulkan bahwa Aguan tidak terlibat, padahal pemeriksaan terhadap dirinya belum dilakukan? Lebih jauh lagi, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta bahwa Agung Sedayu Group sendiri telah mengakui kepemilikan 263 SHGB di laut melalui dua anak usahanya, PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM).
Berdasarkan keterangan Menteri ATR BPN, Nusron Wahid, rincian kepemilikan tersebut terdiri dari 240 SHGB milik PT IAM dan 23 SHGB milik PT CIS. Sisanya, terdapat 17 SHM yang belum diungkap kepemilikannya. Ini menjadi bukti kuat bahwa korporasi besar memang berperan dalam kasus ini.
Logika Hukum: Kasus Pencurian Motor Vs. Sertifikat Laut
Mari kita buat analogi sederhana. Dalam kasus pencurian motor dengan pemalsuan BPKB dan STNK, tidak hanya pencuri dan pemalsu dokumen yang diproses hukum. Pihak yang menampung atau menadah motor curian juga harus diproses. Lantas, mengapa dalam kasus sertifikat laut hanya Arsin dkk yang diproses, sementara perusahaan yang menampung hasil kejahatan justru dibiarkan?
Fakta Kasus:
Empat Tersangka dalam kasus sertifikat laut telah ditetapkan, yakni:
Arsin (Kepala Desa Kohod)
UK (Sekretaris Desa Kohod)
SP dan CE (penerima kuasa)
Modus Operandi: Pemalsuan girik-girik palsu untuk mengurus sertifikat laut. Bareskrim Polri bahkan sudah menyita alat pemalsuan tersebut.
Peran PT IAM dan PT CIS: Kedua anak usaha Agung Sedayu Group ini menjadi penadah dari kejahatan sertifikat laut dengan membeli lahan yang sudah diklaim secara ilegal.
Motif Jelas: Lahan tersebut digunakan untuk reklamasi proyek PIK-2, memanfaatkan celah hukum dalam Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021 terkait "tanah musnah".
Pertanyaan yang lebih besar muncul: mengapa pemilik PT IAM dan PT CIS, yakni Aguan dan Anthony Salim, tidak diperiksa? Jika publik bisa memahami logika hukum yang sederhana ini, mengapa aparat hukum justru seolah menutup mata?
Adakah keberpihakan dalam proses penyidikan? Apakah kasus ini sengaja diarahkan untuk menjerat "pelaku kecil", sementara aktor intelektual di balik proyek PIK-2 dibiarkan bebas?
Lirik Lagu Sukatani: Sindiran Pedas untuk Hukum Indonesia
Mungkin, lirik lagu dari Grup Band Sukatani benar adanya. Sepertinya, untuk membuat hukum bekerja adil, rakyat harus "membayar" aparat hukum agar kasus ini diusut tuntas. Namun, sayangnya, penulis—dan mungkin sebagian besar rakyat—tidak punya uang untuk itu.
Jadi, izinkan kami hanya bisa menitipkan keluhan ini melalui tulisan:
"Aduh, Aduh, Ku Tak Punya Uang, Untuk Bisa, Bayar Polisi."
Apakah kita masih bisa berharap keadilan akan ditegakkan tanpa perlu "membayar"? Ataukah ini hanya akan menjadi satu lagi kasus yang berlalu begitu saja?
#UsutTuntasPIK2 #KeadilanUntukBanten #HukumJanganTumpulKeAtas #AguanHarusDiperiksa #AnthonySalimHarusDiperiksa