Laporan Khusus

Seru! Refly Harun dan Feri Amsari Bahas Putusan MK ”Sontoloyo”

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
27 April 2024 20:57
Seru! Refly Harun dan Feri Amsari Bahas Putusan MK ”Sontoloyo”
Dari kiri: Pemred satuindonesia.co Eko Satiya Hushada, Feri Amsari, dan Refly Harun.

JAKARTA - Dua pakar hukum tata negara Refly Harun dan Feri Amsari, sekaligus Pemimpin Redaksi (Pemred) satuindonesia.co Eko Satiya Hushada mengkritisi Putusan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan capres-cawapres 1 dan 3.

Diskusi yang berlangsung santai sambil ngopi tersebut disiarkan secara langsung di kanal YouTube Refly Harun Masih Bahas Putusan Sontoloyo, Ini Percakapan Serius RH , Pakko & Feri Amsari, Sabtu (27/4/2024).

Dalam diskusi tersebut Feri Amsari mengawali pembahasan tentang putusan MK yang ”sontoloyo” tersebut berawal dari putusan 90 Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Dengan putusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka dapat mencalonkan sebagai cawapres 2024 di bawah umur 40 tahun.  

Menurut Feri, Akibat putusan 90 itu MK harus bersidang dengan delapan orang hakim. Padahal menurut undang-undang ada larangan MK bersidang selain dengan sembilan hakim. Sejumlah kondisi yang membolehkan sidang MK kurang dari sembilan hakim adalah apabila hakim meninggal dunia, sakit jasmani atau rohani, dan mengundurkan diri.

Tapi karena ada putusan 90 maka terpaksa PHPU Pilpres 2024 bersidang hanya dengan delapan hakim konstitusi. Dengan begitu ada potensi putusan MK dalam komposisi 4-4.

Feri menegaskan, seharusnya tim kuasa hukum 01 dan 03 dapat menggunakan putusan 90 itu seharusnya menjadi alat bukti tersendiri. Sebab putusan 90 dipertanyakan dari komposisi hakimnya. Karena empat orang hakim menolak capres-cawapres di bawah 40 tahun. Tiga orang hakim berbeda pandangan tentang pejabat pemilu dapat mengajukan diri sebagai capres-cawapres meski kurang dari 40 tahun.

Sedangkan dua hakim menyatakan boleh ada alternatif selain usia 40 tahun jika pernah atau sedang menjadi gubernur. ”Artinya tidak ada pendapat hakim yang mayoritas. Tidak ada dalil yang menjelaskan komposisi hakim dalam putusan 90. Lalu tiba-tiba ada penyelundupan amar putusan 90 yaitu pendapat tiga hakim digabung dengan dua hakim yang substansiya sangat berbeda,” ungkap Feri

Selanjutnya Feri juga membahas konsekuensi dari putusan 90 yaitu pemberian sanksi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kepada mantan Ketua MK Anwar Usman. Salah satu sanksi tersebut Anwar Usman tidak boleh ikut mengadili PHPU Pilpres 2024 tetapi tidak ada sanksi agar tidak boleh ngantor ke MK.

Anwar Usman tetap ngantor meski tidak bersidang. Akibatnya, tetap ada potensi Anwar Usman mempengaruhi para hakim yang bersidang, baik secara langsung atau tidak langsung. Maka akan tetap ada ruang konflik kepentingan yang terus bertahan. ”MKMK kurang tegas. Kalau memang diberikan sanksi, Anwar Usman seharusnya diberikan sanksi tidak boleh bersidang sekaligus tidak boleh hadir di MK,” kata Fery.

Sementara itu Eko Satiya Hushada mempertanyakan atas putusan-putusan MK yang ”sontoloyo” itu apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil? Pembahasan selengkapnya dapat simak langsung videonya, klik di sini!

Saksikan pula video-video podcast seru, klik di kanal Youtube Satuindonesia.Co_TV. (dan)


Berita Lainnya