Laporan Khusus
Bukan Saling Kuntit, APH Harusnya Sinergi Berantas Korupsi Tambang
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam menangani kasus korupsi di sektor pertambangan. "Seharusnya para aparat penegak hukum di Indonesia ini bersinergi dan berkolaborasi untuk mendukung penanganan perkara tindak pidana korupsi di sektor pertambangan," kata Koodinator MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, korupsi di sektor pertambangan melibatkan individu-individu dengan jaringan bisnis yang kuat. Jika pelanggaran di sektor ini hanya diatasi dengan sanksi administratif seperti pencabutan izin, denda, atau larangan ekspor, para pelaku korupsi akan mudah lolos dan tidak akan ada perubahan signifikan dalam tata kelola pertambangan.
"Dampak dari tindak pidana pertambangan ini sangat besar terhadap kerusakan lingkungan dan mengakibatkan kerugian negara yang besar," ujar Boyamin. Saat ini, Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung sedang menangani kasus korupsi di sektor pertambangan, termasuk kasus timah yang telah merugikan negara sebesar Rp300 triliun berdasarkan perhitungan BPKP.
Boyamin menegaskan bahwa penyidik tindak pidana korupsi, baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, memiliki wewenang untuk mengusut kasus korupsi tanpa perlu khawatir akan tumpang tindih kewenangan. "Masyarakat saat ini hanya membutuhkan aparat penegak hukum yang bersatu untuk melawan para koruptor. Keroyok dan ganyang koruptor," katanya.
MAKI juga mendorong agar penegak hukum lainnya seperti KPK dan kepolisian turut menangani kasus-kasus besar di sektor pertambangan. MAKI berencana mengajukan gugatan praperadilan melawan Kejagung jika penyidikannya tidak menyasar pemilik keuntungan terbesar dengan inisial RBS. Gugatan praperadilan akan diajukan pada pertengahan Juni 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"MAKI akan selalu menggugat APH yang lamban dan tidak tuntas dalam menangani perkara korupsi," kata Boyamin. Sebelumnya, pada Rabu (29/5/2024), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menegaskan pihaknya terus mengusut kasus korupsi timah yang telah menetapkan 22 orang tersangka.
RBS atau Robert Bonosusatya pernah diperiksa oleh penyidik Jampidsus pada 2 April selama 13 jam, dan kembali mendatangi Kejagung pada 3 April 2024 untuk menandatangani berkas. Menurut Febrie, pihaknya memeriksa RBS berdasarkan informasi dari masyarakat dan indikasi yang dimiliki penyidik.
"Tidak hanya Robert Bono, siapa pun yang terindikasi, karena kerugian ini cukup besar, yaitu Rp300 triliun, maka akan kami periksa," katanya. Penetapan tersangka didasarkan pada alat bukti yang ada. Masyarakat dan media bisa mencermati kesaksian di pengadilan untuk melihat apakah ada bukti yang mengarah kepada seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka.
"Lihat dari jaksa membuka aliran dana, siapa yang menikmati. Jika dia (RBS) menikmati dan belum ditetapkan, bisa sampaikan kepada kami," katanya. "Kami akan terbuka dan ini harus kami lakukan sesuai keinginan kita semua. Poin penting adalah pendapatan negara, khususnya yang besar akan kami teliti semua. Mudah-mudahan segera dapat memperbaiki tata kelola," sambung Febrie.
Jalankan Perintah
Sebelumnya Indonesia Police Watch (IPW) menyebut penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, merupakan masalah serius. Jampidsus Febrie diikuti oleh anggota Densus 88 Antiteror Polri. Gedung Kejagung juga sering diawasi oleh sejumlah anggota Brimob, bahkan muncul drone yang diduga digunakan untuk mengintai. Ini terjadi setelah seorang anggota Densus 88 Antiteror dikabarkan ditangkap.
"Pemantauan adalah salah satu metode pengawasan untuk mendapatkan informasi atau data dari yang dipantau. Nah ini agak mengejutkan memang ya, yang dipantau ini Jampidsus oleh Densus. Artinya ini satu sesuatu yang serius," kata Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso.
IPW melihat bahwa pemantauan yang dilakukan anggota Densus 88 tersebut bukan merupakan perintah individu, melainkan tugas yang harus dijalankan. Sugeng menduga penguntitan itu dilakukan karena dua isu utama, yaitu kasus korupsi dan konflik kewenangan dalam penanganan kasus.
"Beberapa waktu lalu IPW mendapatkan informasi bahwa kejaksaan sangat intensif terlibat dalam penanganan kasus tambang. Padahal, kasus tambang itu bukan kewenangan kejaksaan, tetapi kejaksaan mengambil dari aspek korupsinya, karena kasus tambang itu adalah tindak pidana yang menjadi kewenangan Polri," sambungnya.
Beberapa kasus tambang, kata Sugeng, banyak ditangani oleh Kejaksaan Agung hingga diduga menjadi pemicu penguntitan tersebut. "Karena itu, apakah ada kaitan dengan dua isu tersebut, ya ditanyakan kepada masing-masing instansi saja," jelasnya. (ant/dbs)