Laporan Khusus

Bisakah Blok M Kembali Jadi Primadona?

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
27 Mei 2024 17:30
Bisakah Blok M Kembali Jadi Primadona?
Pusat perbelanjaan Blok M Square yang eksis di kalangan anak muda sejak era 80an, Jakarta, Senin (27/5/2024)

JAKARTA - Blok M, Jakarta Selatan, dulunya terkenal sebagai tujuan nongkrong favorit anak muda Jakarta. Kawasan ini selalu menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu saat hari libur.

Menurut sejarawan Asep Kambali, pada era 80-an, Belanda membagi Kota Jakarta menjadi beberapa blok, dan Blok M menjadi salah satunya yang terkenal karena menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan di dalam kota. Keberhasilan Blok M dalam mencapai popularitas ini karena dulunya dibangun sebagai pusat perbelanjaan yang dilalui oleh jalan besar, sehingga cocok sebagai tempat pertemuan dibandingkan dengan kawasan lainnya. Sementara itu, beberapa kawasan lainnya difokuskan sebagai pusat pemerintahan, seperti yang terjadi di Jakarta Pusat.

"Zaman dulu, jalur Sudirman-Thamrin difokuskan untuk menjadi pusat pemerintahan, kantor, hingga perhotelan, sedangkan Sarinah cenderung sebagai tempat perbelanjaan daripada tempat sekadar nongkrong," kata Asep. Selain itu, Blok M semakin terkenal dengan adanya "Little Tokyo" yang menampilkan budaya Jepang sejak tahun 90-an.

Pengaruh budaya Jepang ini meningkat setelah peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari 1974), di mana terjadi demonstrasi menentang kekuasaan Jepang yang masih mengendalikan ekonomi Indonesia yang telah merdeka. “Massa mendemo (menolak) semua produk Jepang, mereka menyerbu Pasar Senen dan Blok M,” jelasnya.

Peristiwa tersebut meninggalkan pengaruh budaya Jepang yang membawa perubahan dalam pemikiran masyarakat mengenai budaya dan kuliner Jepang, hingga saat ini.

Revitalisasi

Blok M kini telah berkembang menjadi kawasan terpadu yang menawarkan beragam fasilitas, termasuk taman, kafe, pusat perbelanjaan, dan aksesibilitas transportasi yang baik. Namun, di sebelah lain, masih terdapat sejumlah kios yang tutup di bawah Terminal Blok M. Meskipun banyak orang yang melintas di sekitar area ini, mereka hanya menggunakan jalur ini sebagai jalan pintas menuju pusat perbelanjaan lainnya.

Kondisi ini terlihat dari deretan pintu kios yang tertutup rapat dan bangunan tua yang tampak semakin terbengkalai. Bahkan pada malam hari, tempat ini menjadi gelap dan terasa menegangkan bagi orang-orang yang melintas menuju terminal dengan pencahayaan yang minim.

Revitalisasi Blok M menjadi suatu kebutuhan untuk mencapai pemerataan pembangunan. Asep mendukung rencana revitalisasi Blok M yang akan mengubahnya menjadi kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD).

“Ini akan membantu dalam memperbaiki distribusi penduduk, yang mana konsentrasi penduduk di beberapa tempat sudah terlalu padat sehingga diperlukan pemerataan penduduk,” ujarnya.

Selain itu, saat ini kawasan di luar Jakarta seperti Bekasi dan Depok sudah memiliki pusat perbelanjaan sendiri, sehingga pengembangan Blok M seharusnya tidak hanya berfokus pada fungsi sebagai tempat nongkrong.

Namun demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pengelola Blok M diminta untuk menciptakan memorabilia melalui foto, video, atau barang-barang yang dapat merepresentasikan Blok M dari masa lampau hingga sekarang.

Dengan adanya memorabilia ini, baik generasi tua maupun muda dapat belajar sejarah dan semakin mencintai sejarah negara dengan cara yang menyenangkan.

Asep juga berharap bahwa struktur bangunan tua di Blok M tetap dipertahankan dan tidak dihilangkan tanpa pertimbangan yang matang. “Harapannya, akan ada harmoni antara masa lalu, masa kini, dan masa depan,” ujarnya.

Dengan mempertahankan bangunan tua, artinya kita juga merawat ingatan perjalanan bangsa yang tak ternilai harganya.

Orientasi transit

PT MRT Jakarta (Perseroda) sedang mengembangkan konsep multifungsi di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, sebagai bagian dari rencana pengembangan berorientasi transit (TOD) di sana pada  2024. Bangunan multifungsi ini akan terdiri dari apartemen, pusat perbelanjaan (termasuk reklame), hotel, dan perkantoran di atas lahan seluas sekitar 2,4 hektar yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Rencananya, dari Stasiun MRT Blok M hingga ke Terminal Blok M, semuanya akan terhubung sesuai dengan konsep perencanaan tata ruang induk (masterplan). Bangunan di sekitar Terminal Blok M akan dipersempit, tetapi akan tetap mempertahankan bentuknya untuk tetap menjadi bagian dari simpul transportasi terintegrasi.

Kepala Satuan Pelayanan (Kasatpel) Terminal Bus Blok M, Joni Budhi, mengatakan bahwa mereka akan membuat halte sementara sebagai tempat pemberhentian armada yang akan berada di kawasan sekitar Blok M, mulai dari Jalan Panglima Polim hingga Mabes Polri.

"Rute Terminal Blok M masih akan dilewati meskipun bukan lagi tujuan akhir, karena semua moda transportasi sudah terintegrasi dan kebanyakan berakhir di Bundaran Senayan," katanya.

Rencana tersebut telah diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2020 mengenai Panduan Rancang Kota (PRK) Kawasan Pembangunan Berorientasi Transit Blok M dan Sisingamangaraja yang berlokasi di Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam revitalisasi ini, PT MRT Jakarta bertanggung jawab atas pembangunan, sementara pengelola Terminal Blok M akan bertindak sebagai pelaksana teknis lapangan. PT MRT Jakarta (Perseroda) mengatakan bahwa tahap awal pengembangan lahan Terminal Blok M akan difokuskan pada pengembangan tempat tinggal (residensial) dari seluruh pengembangan kawasan yang berkonsep multifungsi.

"Tahap awal ini akan difokuskan pada residensial," kata Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta (Perseroda), Farchad Mahfud, dalam Forum Jurnalis MRT di Jakarta. Pada tahun 2024, PT MRT Jakarta menyatakan bahwa Terminal Blok M akan mencapai tahap perizinan aset, termasuk pembahasan aspek pemanfaatan lahan. (ant)


Berita Lainnya