Opini
Banten Melawan: Menjaga Tanah Leluhur dari Cengkeraman Oligarki PIK-2
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

RAKYAT Banten tidak pernah ridha jika sejengkal pun tanah leluhurnya jatuh ke tangan oligarki. Sejarah telah mencatat, Banten adalah tanah para pejuang. Mereka lebih memilih rata dengan tanah ketimbang tunduk kepada penjajah. Namun kini, ancaman datang bukan dari kolonialisme klasik, melainkan dari proyek raksasa properti Pantai Indah Kapuk (PIK-2) milik Aguan dan Anthony Salim, yang berlindung di balik dalih Proyek Strategis Nasional (PSN).
Perlawanan yang Menggema
Kamis (13/02/25), rakyat Banten menunjukkan taringnya. Ribuan massa berkumpul di depan Kantor DPRD Banten, menyuarakan penolakan terhadap PIK-2. Dipimpin oleh pendekar Macan Kulon dan sejumlah tokoh Banten, aksi ini menjadi bukti bahwa tanah Banten bukan untuk diperjualbelikan kepada oligarki.
Bahkan, tokoh-tokoh dari luar Banten turut hadir dalam barisan perjuangan ini. Dari Bandung, ada Bang Rizal Fadilah. Dari Jakarta, Bekasi, dan Bogor, hadir Mayjen TNI (Purn) Soenarko, Marwan Batubara, dan aktivis lainnya. Mereka datang bukan sekadar solidaritas, tetapi karena mereka melihat kedaulatan tanah Banten sedang dirampas.
Mereka Bekerja Siang dan Malam, Kita Harus Berlipat Ganda!
Dalam diskusi dengan KH Hafidin, penulis menegaskan bahwa perlawanan ini harus terus dipertahankan dan ditingkatkan. Para oligarki tidak tinggal diam. Mereka bergerak siang dan malam, menyewa ulama bayaran, preman bayaran, hingga buzzer yang menggunakan embel-embel "Nusantara" untuk memanipulasi opini publik.
KH Muhyiddin Junaidi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menegaskan, MUI secara resmi menolak PIK-2 karena proyek ini lebih banyak membawa mudarat dan melanggar hukum. Jika ada pihak yang mengatasnamakan MUI mendukung proyek ini, maka jelas mereka bukan bagian dari MUI yang sah.
Skandal Pagar Laut dan Skenario Penyimpangan
Selain soal tanah, skandal pagar laut juga menjadi isu besar. Sayangnya, penyelidikan kasus ini seolah hanya menyasar aktor lapangan seperti Arsin Kades Kohod, sementara para dalang utama, seperti Mandor Memet, Eng Cun alias Gojali, dan Ali Hanafiah Lijaya—orang-orang kepercayaan Aguan—dibiarkan lolos dari jerat hukum. Padahal, mereka seharusnya dijerat dengan Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan, yang ancaman hukumannya bisa mencapai 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Ancaman "Tanah Musnah": Dalih Baru Oligarki
Warga Banten juga harus waspada terhadap istilah "tanah musnah" yang digaungkan oleh Nusron Wahid dan Sakti Wahyu Trenggono. Dalih ini berpotensi digunakan sebagai justifikasi untuk mereklamasi laut dan memperluas industri properti PIK-2, dengan memanfaatkan celah hukum dalam Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021.
Wahai Rakyat Banten, Bangkitlah!
Tanah Banten bukan sekadar lahan bisnis, tetapi warisan para leluhur yang harus dijaga. Rakyat Banten harus bersatu, mengibarkan panji perjuangan, dan menolak keras penjajahan oleh oligarki modern. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga harga diri dan martabat.
Penulis adalah: Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#SaveBanten #TolakPIK2 #BantenMelawan #LawanOligarki #BantenBerdaulat