Nasional

Vonis Korupsi Harvey Moeis dan Rafael Alun Trisambodo Timbulkan Polemik

Mulyana — Satu Indonesia
27 Desember 2024 16:00
Vonis Korupsi Harvey Moeis dan Rafael Alun Trisambodo Timbulkan Polemik
Harvey Moeis Terdakwa Kasus Korupsi Timah (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Putusan pengadilan terhadap dua pelaku korupsi, Harvey Moeis dan Rafael Alun Trisambodo, memicu perdebatan publik. Harvey, yang terlibat dalam kasus korupsi senilai Rp 300 triliun, divonis 6,5 tahun penjara. Sementara itu, Rafael yang merugikan negara puluhan miliar rupiah, dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.

Pakar hukum pidana Abdul Fikar menilai perbedaan vonis ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dalam sistem peradilan.

“Korupsi adalah tindak pidana yang dilakukan secara sadar, menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Perbedaan vonis ini aneh, mengingat karakteristiknya sama-sama korupsi,” ujar Fikar kepada Kompas.com.

Karakteristik Kasus Jadi Alasan Hakim
Menurut Fikar, setiap kasus pidana memiliki faktor yang dapat meringankan atau memberatkan hukuman. Dalam kasus Harvey, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menilai tuntutan jaksa selama 12 tahun terlalu berat.

“Harvey tidak memiliki kedudukan struktural di PT Refined Bangka Tin (RBT). Itu menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan vonis,” kata Hakim Eko dalam sidang, Senin (23/12/24).

Sebaliknya, Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, divonis 14 tahun penjara karena terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Rafael terbukti bersalah atas tiga dakwaan Jaksa KPK, yakni gratifikasi dan TPPU. Hukuman ini mencerminkan beratnya pelanggaran yang dilakukan,” jelas Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suparman Nyompa dalam sidang, 8 Januari 2024.

Seruan untuk Transparansi dan Konsistensi
Fikar mendesak Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk meninjau kembali perbedaan vonis ini.

“MA perlu menegur hakim jika ada inkonsistensi dalam putusan. Kejaksaan juga harus memanfaatkan waktu tujuh hari untuk memutuskan banding atas vonis Harvey,” tegasnya.

Ia menambahkan, perbedaan signifikan dalam vonis korupsi dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

“Jika dibiarkan, masyarakat akan melihat ketidakadilan. Padahal, hukum harus ditegakkan secara konsisten dan transparan,” kata Fikar. Kasus ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, dengan warganet mempertanyakan integritas dan transparansi sistem peradilan. Tagar seperti #KeadilanUntukSemua, #VonisKorupsi, dan #HukumTidakButa menjadi trending di berbagai platform.

“Hukuman untuk koruptor seharusnya mencerminkan kerugian yang mereka sebabkan bagi negara dan masyarakat,” tulis seorang pengguna X.

Korupsi dan Masa Depan Penegakan Hukum
Perbedaan vonis ini menyoroti perlunya reformasi dalam sistem peradilan, terutama dalam menangani kasus korupsi. Dengan kerugian negara yang begitu besar, penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi harapan utama masyarakat untuk masa depan yang lebih adil. (mul)


Berita Lainnya