Opini
Skandal Perampasan Tanah: Siapa yang Melindungi Aguan?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

PERAMPASAN tanah di Indonesia bukanlah hal baru, tetapi ketika dilakukan oleh sosok berpengaruh seperti Sugianto Kusuma alias Aguan, masalah ini menjadi semakin kompleks. Dalih pembangunan dan Proyek Strategis Nasional (PSN) sering kali dijadikan tameng untuk merebut hak rakyat, seperti yang terjadi di Banten dalam proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2). Sayangnya, bukan hanya rakyat kecil yang menjadi korban, bahkan pengusaha sekaliber SK Budiardjo pun tak luput dari aksi perampasan yang diduga dilakukan oleh Agung Sedayu Group (ASG).
Modus Lama, Korban Baru: Ketika Kekuatan Modal Mengalahkan Hukum
Kisah SK Budiardjo dan istrinya, Nurlela, adalah bukti nyata bagaimana kekuatan modal dapat mengalahkan hukum di negeri ini. Pada 2006, pasangan ini membeli sebidang tanah seluas satu hektar di Cengkareng, Jakarta Barat. Tanah itu dikelola dengan baik—di pondasi, diurug, dipagari, bahkan dimanfaatkan untuk usaha penyimpanan kontainer dan cuci mobil.
Namun, pada 21 April 2010, tragedi itu terjadi. Sekelompok preman yang dikawal oleh oknum Brimob, atas perintah ASG, secara paksa merampas tanah tersebut. Tak hanya harta benda yang dirampas, SK Budiardjo pun menjadi korban pengeroyokan.
Berbagai laporan polisi telah dibuat, termasuk LP/424/IV/2010, LP/1950/VI/2010, LP: TBL3176/IX/2010, dan LP/TBL/4529/IX/2016. Bahkan, Kepolisian Negara RI melalui Markas Besar Polri telah memberikan rekomendasi agar kasus ini dilimpahkan ke penyidik Dit. Tipidum Bareskrim Polri. Namun, hingga kini, kasus ini seolah menguap begitu saja.
Mengapa Aguan Masih Kebal Hukum?
Komjen. Pol. (Purn.) Ari Dono Sukmanto, yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim, telah menegaskan bahwa berkas perkara sudah lengkap dan siap naik ke penyidikan. Langkah berikutnya jelas: panggil Aguan, Alexander Halim Kusuma, dan Ellen Kusumo untuk diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, alih-alih diproses, laporan yang diajukan oleh PT Sedayu Sejahtera Abadi justru lebih cepat ditindaklanjuti. Hasilnya? SK Budiardjo dan Nurlela malah berakhir di balik jeruji besi. Sebuah ironi yang menunjukkan betapa tajamnya hukum ke bawah dan tumpul ke atas.
Dermawan atau Perampas? Aguan di Balik Nama Besar Buddha Tzu Chi
Publik selama ini mengenal Aguan sebagai sosok dermawan yang aktif dalam kegiatan sosial, terutama melalui Buddha Tzu Chi. Namun, kedermawanan ini tampaknya hanya menjadi topeng untuk menutupi praktik bisnis yang diduga sarat dengan perampasan dan ketidakadilan.
Bukan kali ini saja nama Aguan dikaitkan dengan kasus serupa. PIK-2, proyek prestisiusnya, berdiri di atas tanah yang diduga kuat dirampas dari rakyat Banten. Jika hukum benar-benar ditegakkan, sudah seharusnya Aguan dan kroninya menghadapi konsekuensi hukum atas tindakannya.
Saatnya Publik Bicara dan Hukum Bertindak
Kita tidak boleh tinggal diam. Kasus ini bukan sekadar masalah satu-dua orang, tetapi mencerminkan betapa hukum di negeri ini masih bisa dipermainkan oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kasus serupa akan terus terjadi, dengan korban-korban baru yang tak berdaya melawan dominasi para oligarki.
Penulis percaya, keadilan mungkin bisa ditunda, tetapi tidak bisa dihindari selamanya. Cepat atau lambat, Aguan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saatnya hukum bertindak, sebelum kepercayaan rakyat terhadap keadilan semakin terkikis.
Penulis adalah Advokat, aktivis sosial dan kuasa hukum SK Budiardjo & Nurlela
#MafiaTanah #HukumUntukRakyat #PIK2 #Aguan #HakRakyat #KeadilanUntukSemua