Laporan Gaza

Seberapa Efektif Resolusi KTT OKI?

Redaksi — Satu Indonesia
13 November 2023 14:34
Seberapa Efektif Resolusi KTT OKI?
Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di King Abdulaziz International Convention Center (KAICC), Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023). (Foto: ANTARA)

JAKARTA - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut resolusi Gaza yang dikeluarkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam KTT OKI di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu(13/11/23) pekan lalu, menunjukkan negara-negara OKI bersatu menyikapi situasi di Jalur Gaza yang kondisinya semakin memprihatinkan dari hari ke hari.

"Pesan-pesan yang ada di dalam resolusi ini menurut hampir semua dari kami merupakan pesan yang paling keras yang pernah dilakukan oleh OKI sejauh ini," kata Retno.

Para pemimpin 57 negara anggota OKI, termasuk Presiden Joko Widodo, mengecam agresi Israel di Gaza. Mereka mendesak Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang kuat guna menghentikan agresi Israel di Gaza.

KTT itu diadakan bersamaan dengan KTT Liga Arab. Tapi tahukah Anda bahwa kedua KTT itu awalnya hendak diadakan terpisah?

Kedua pertemuan tingkat tinggi itu disatukan setelah Liga Arab gagal mencapai konsensus mengenai sikap bersama terhadap Israel.

Menurut beberapa media internasional, termasuk AFP dan Channel 12 Arab, sejumlah negara Arab yang dimotori Aljazair mengajukan lima langkah nyata untuk menekan Israel agar mengakhiri perangnya di Gaza yang meletus setelah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, menyerang Israel pada 7 Oktober.

Kelima langkah itu adalah (1) mencegah alat-alat perang AS yang berada di berbagai pangkalan AS di Timur Tengah tak digunakan untuk Israel, (2) membekukan semua kontak diplomatik dan ekonomi dengan Israel, (3) menggunakan minyak sebagai instrumen menekan Israel, (4) melarang penerbangan ke dan dari Israel melalui wilayah udara Arab, (5) mengirimkan delegasi Arab ke AS, Eropa, dan Rusia untuk mendorong gencatan senjata di Gaza.

Libya malah meminta komunike Liga Arab mencantumkan kalimat bahwa rakyat Palestina berhak melawan pendudukan Israel.

Sebanyak 11 dari total 22 negara anggota Liga Arab, yakni Palestina, Suriah, Aljazair, Tunisia, Irak, Lebanon, Kuwait, Qatar, Oman, Libya dan Yaman, mendukung usul itu.

Empat negara Arab menentang, dan sisanya abstain. Tak disebutkan negara Arab mana saja yang menolak dan abstain ini.

Namun, menurut seorang analis stasiun televisi Channel 12 Arab, negara-negara Arab yang tidak menyambut kelima usul langkah nyata menghadapi Israel itu, di antaranya adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Yordania, Sudan, Maroko, Mauritania, dan Djibouti.

Tak tahu pasti siapa yang mengusulkan agar penyelenggaraan KTT Liga Arab dan KTT OKI disatukan. Namun, sepertinya ada keinginan dari dunia Arab untuk menawarkan persoalan ini kepada OKI. Masalahnya, OKI juga tak mencantumkan kelima langkah nyata itu dalam resolusinya.

Satu sikap

Sejumlah pemimpin menyayangkan tiadanya langkah nyata untuk menekan Israel.

"Jika kita tak memiliki alat yang nyata untuk menekan, maka setiap langkah yang kita ambil atau setiap omongan yang kita sampaikan, akan tak ada artinya," kata Presiden Suriah Bashar al-Assad, seperti dikutip AFP.

Assad kembali aktif di Liga Arab dan OKI setelah absen karena perang saudara yang memecah belah negerinya. Kehadiran Assad melukiskan adanya kesatuan di Liga Arab dan OKI.

Penentangan selalu ada, tetapi memang lebih baik menciptakan konsensus dari pada sepakat untuk tidak sepakat, apalagi Palestina saat ini sangat membutuhkan dukungan dunia Arab dan Islam.

KTT OKI kali ini juga melambangkan rekonsiliasi dunia Islam, yang direpresentasikan oleh kehadiran pemimpin Iran di Saudi.

Ebrahim Raisi menjadi presiden Iran pertama yang mengunjungi Saudi sejak Mahmoud Ahmadinejad menghadiri KTT OKI 2012 di Saudi. Ini juga lawatan pertama Raisi ke Saudi sejak kedua negara menormalisasi hubungan diplomatik Maret tahun 2023 ini.

Sebelum itu, kedua negara berseteru di berbagai teater geopolitik kawasan. Iran adalah penyokong Hamas, sedangkan Saudi lebih mendukung Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas, seperti kebanyakan negara Arab.

Namun kini, kedua negara telah menormalisasi hubungan diplomatik, sehingga terlihat saling menahan diri untuk tidak memperburuk keadaan, walau Iran tak pernah menurunkan tensi permusuhannya kepada Israel.

Iran, bahkan terlihat siap mengaktifkan proksi-proksinya di Lebanon yang berbatasan dengan Israel, Suriah, dan Yaman, jika perang Gaza meluas.

Dunia Arab mengkhawatirkan eskalasi itu karena mengancam mereka, termasuk Saudi yang tak ingin lagi terjerembab dalam perang yang tidak perlu, seperti di Yaman, beberapa waktu lalu.

Kini, Iran dan Saudi tidak lagi berbeda sikap secara diametral. Mereka relatif satu sikap di Gaza.

Penguasa de facto Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman mengecam apa yang disebutnya perang tidak adil yang dilancarkan Israel terhadap Palestina.

Menurut laporan Saudi Gazette, sang pangeran tegas menyebut aksi Israel di Gaza sebagai bencana kemanusiaan yang menyingkapkan kegagalan Dewan Keamanan dan komunitas internasional dalam mengendalikan Israel yang terang-terangan melanggar hukum internasional.

Dia menegaskan kembali seruan agar operasi militer Israel di Gaza segera dihentikan, dan membuat koridor kemanusiaan untuk bantuan bagi warga sipil Palestina di Gaza.

Pesan untuk AS

Suasana kebatinan yang relatif sama itu membuat negara-negara OKI sepakat menolak dalih Israel bahwa serangan balasan di Gaza sebagai bela diri.

OKI juga menolak setiap prakarsa perdamaian Palestina-Israel yang memisahkan Gaza dari Tepi Barat. Mereka tegas menyatakan negara Palestina harus terdiri dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, dengan Ibu Kota Yerusalem Timur.

OKI juga tegas menyatakan pendudukan Israel di wilayah-wilayah Arab dan Palestina sebagai ancaman terhadap keamanan dan stabilitas kawasan serta keamanan dan perdamaian internasional.

"Kami menegaskan bahwa Israel, dan semua negara di kawasan ini, tak akan mendapatkan keamanan dan perdamaian, kecuali Palestina mendapatkan haknya dan memperoleh kembali semua hak mereka yang dirampok," kesimpulan OKI.

OKI juga mendesak Mahkamah Pidana Internasional agar menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. OKI, bahkan tak menyebutnya sebagai "dugaan kejahatan perang". OKI meminta laporan setiap bulan untuk soal ini.

Kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan bisa menjadi pintu masuk untuk mencegah Israel terus-lalim tanpa dikoreksi dunia, khususnya sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat.

Pesan-pesan seperti ini penting disampaikan OKI kepada dunia, khususnya kepada AS yang selalu berdiri di belakang Israel.

OKI sudah meminta Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan negara-negara Islam itu kepada AS, yang memang memiliki jadwal bertemu dengan Indonesia di Washington DC pada Senin, 13 November ini.

Presiden Jokowi juga mengunjungi AS dalam rangka menghadiri pertemuan tingkat tinggi negara-negara Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di San Francisco, mulai 15 sampai 17 November.

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara Muslim di dalam APEC yang beranggotakan 21 negara.

Presiden Jokowi yang selama ini keras menentang aksi Israel di Gaza dan konsisten mendukung Palestina, pastinya bakal mengartikulasikan pesan OKI itu kepada Presiden Joe Biden.

Jika itu tak membuat AS berubah sikap, maka itu bukan kesalahan Indonesia atau Jokowi, melainkan karena bentuk ketidakmampuan AS dalam melihat secara adil persoalan Gaza.

Sebanyak 121 negara mendukung resolusi Majelis Umum PBB pada 27 Oktober lalu, mengenai penghentian kekerasan dan jeda kemanusiaan di Gaza serta keharusan semua pihak mematuhi hukum internasional, seharusnya sudah mengusik AS.

AS semestinya makin terusik lagi oleh pesan OKI yang dibawa Jokowi. Jika tidak terusik, AS tak pantas lagi menceramahi dunia dan berisiko dijauhi mitra atau sekutunya sendiri. (ant)

 


Berita Lainnya