Laporan Khusus
Menyimak Asa Jessica Wongso Lawan Putusan Bersalah Kasus "Kopi Sianida"
JAKARTA - Jessica Kumala Wongso, yang dihukum atas kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, kembali mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Didampingi oleh kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, Jessica mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Meski masih trauma dengan proses pengadilan, Jessica kembali melangkah di lorong-lorong pengadilan yang dulu pernah menjatuhkan vonis bersalah padanya.
Otto Hasibuan menjelaskan bahwa pengajuan PK ini dilakukan karena Jessica yakin dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan tersebut. "Hari ini kami memanfaatkan kesempatan ini karena dia (Jessica) ingin membuktikan dia tidak melakukan kejahatan itu, meskipun faktanya dia telah dihukum," ujar Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/10/2024).
Tim hukum Jessica juga telah mengumpulkan sejumlah novum atau bukti baru yang diharapkan dapat membuktikan hakim melakukan kekhilafan saat menjatuhkan vonis pada 2016 lalu.
Rekaman CCTV
Otto Hasibuan menyatakan bahwa bukti baru (novum) yang diajukan dalam Peninjauan Kembali (PK) berupa rekaman CCTV di lokasi kejadian, yaitu Kafe Olivier, Grand Indonesia, tempat Mirna tewas. Dalam persidangan sebelumnya, rekaman CCTV yang ditampilkan oleh jaksa ditolak oleh pihak Jessica karena dianggap tidak jelas asal-usulnya.
Otto menegaskan tidak ada saksi mata yang melihat langsung proses pembunuhan Mirna, sehingga rekaman CCTV menjadi alat bukti utama dalam menjatuhkan dakwaan kepada Jessica. Kini, tim hukum Jessica mengklaim memiliki bukti kuat bahwa rekaman CCTV yang sebelumnya diperlihatkan di persidangan telah direkayasa. "Ada 37 gambar (rekaman) yang berubah. Yang awalnya beresolusi tinggi (high definition) berubah menjadi resolusi standar (standard definition). Pixel-nya juga berubah semua," ujar Otto.
Menurut berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ahli bernama Christopher, rekaman CCTV aslinya memiliki resolusi tinggi, yaitu 1920x1080 piksel. Namun, rekaman yang ditampilkan di persidangan hanya memiliki resolusi 960x576 piksel, atau kurang dari setengah kualitas aslinya. Hal ini terlihat dalam rekaman CCTV 9 yang terbagi menjadi dua segmen. Segmen pertama, dari pukul 15.35 hingga 16.59 WIB, ketika "Vietnam ice coffee" disajikan, masih dalam kualitas high definition.
Namun, pada segmen kedua, dari pukul 16.59 hingga 18.25 WIB, ketika Mirna meminum kopi, terjadi penurunan kualitas rekaman video. "Pada segmen kedua, di antara pukul 16.59 hingga 18.25 WIB, saat Mirna meminum kopi, kualitas CCTV tersebut menurun," jelas Otto.
Penurunan kualitas ini, menurut Otto, menyebabkan kesalahan interpretasi oleh saksi ahli. "Dalam persidangan, ahli toksikologi melihat warna yang berbeda-beda, seolah-olah ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam gelas. Padahal, perbedaan warna itu bukan karena gelasnya berubah, tetapi karena kualitas gambar yang berbeda," tegas Otto.
Ayah Mirna
Otto Hasibuan menyoroti kejanggalan terkait kepemilikan rekaman CCTV oleh ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin. Menurut Otto, dalam persidangan sebelumnya, asal usul rekaman CCTV tersebut tidak dijelaskan secara rinci. Namun, dalam wawancara eksklusif dengan wartawan senior Karni Ilyas, Edi mengakui bahwa ia memiliki rekaman CCTV dari Kafe Olivier.
"Kami bertanya asal usul CCTV itu dari mana, tapi dalam persidangan tidak ada saksi yang bisa menjawab. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa rekaman CCTV tersebut berada di tangan Darmawan Salihin," ujar Otto.
Otto menambahkan bahwa seharusnya CCTV sebagai barang bukti sudah diamankan oleh penyidik. Keberadaan rekaman CCTV di tangan Edi dinilai sangat janggal, terutama karena dalam wawancara tersebut, Edi mengaku memiliki potongan rekaman CCTV yang tidak ditampilkan dalam persidangan.
"Edi mengatakan bahwa rekaman CCTV dari Kafe Olivier tersebut belum pernah ditampilkan di persidangan dan disimpan olehnya. Ini menunjukkan bahwa rangkaian rekaman CCTV itu sudah terpotong-potong, tidak lagi utuh," tambah Otto.
Tim hukum Jessica kemudian mendapatkan rekaman CCTV tersebut setelah berkomunikasi dengan stasiun televisi yang mewawancarai Edi, dan rekaman tersebut sudah dianalisis oleh timnya. Otto menilai, jika ada rekaman CCTV yang tidak ditampilkan dalam persidangan, maka fakta yang ada menjadi terputus dan hal ini sangat mencurigakan, terutama jika cara mendapatkan CCTV tersebut tidak sah.
"Jika rekaman didapatkan dengan cara yang tidak sah, ada kemungkinan rekaman lainnya juga terambil dengan cara yang sama, sehingga seluruh rangkaian bukti menjadi terputus," tegas Otto.
Kekhilafan Hakim
Otto Hasibuan menjelaskan bahwa dua faktor penting, yaitu rekaman CCTV yang terpotong dan penurunan kualitas rekaman, dapat mempengaruhi penilaian hakim dan saksi. "Rekayasa ini yang akhirnya membuat majelis hakim salah dalam mengambil keputusan dan saksi-saksi ahli juga keliru dalam memberikan kesaksian. Apa yang ditampilkan dalam persidangan sebenarnya bukan rekaman asli lagi, melainkan sudah berubah," jelas Otto.
Otto yakin bahwa kedua alasan ini menjadi dasar yang kuat untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Bukti-bukti baru, termasuk novum, telah diserahkan dalam bentuk flashdisk bersama dokumen-dokumen lainnya.
Meskipun Jessica telah bebas bersyarat sejak Minggu (18/8/2024), Otto menegaskan pentingnya pemulihan harkat dan martabat kliennya sebagai warga negara. "Kami meminta agar Jessica dibebaskan dan dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan seperti yang dituduhkan. Kami juga meminta agar harkat dan martabatnya dipulihkan," kata Otto.
Menurut Otto, hal ini harus dilakukan mengingat adanya beberapa kesalahan dalam fakta hukum yang terungkap selama proses peradilan.
PN Jakpus
Pejabat Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Zulfikli Atjo, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima berkas peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Jessica Kumala Wongso. Berkas tersebut tercatat dengan nomor No.7/Akta.Pid.B/2024/PN.Jkt.Pst pada tanggal 9 Oktober 2024 dan akan diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.
"(Berkas) baru terdaftar. Setelah kelengkapan diperiksa, akan disidangkan untuk melengkapi administrasi," ujar Zulfikli saat dihubungi oleh Kompas.com, Rabu (9/10/2024). Zulfikli menjelaskan bahwa PN Jakarta Pusat hanya bertindak sebagai perantara dalam proses PK yang diajukan Jessica dan kuasa hukumnya, karena yang berwenang memutuskan PK adalah Mahkamah Agung (MA).
PN Jakarta Pusat akan menunjuk majelis hakim untuk menyidangkan PK tersebut, dan novum atau bukti baru yang diserahkan akan diperiksa dalam persidangan. "Jika ada novum, maka harus disumpah terlebih dahulu. Selanjutnya, jaksa diberikan kesempatan untuk menjawab permohonan PK," tambah Zulfikli. Setelah semua berkas dinyatakan lengkap, kasus PK ini akan diteruskan ke Mahkamah Agung untuk diputuskan. (dbs)