Features

Membangun Peradaban Antikorupsi dari Sekolah

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
01 Juli 2024 18:00
Membangun Peradaban Antikorupsi dari Sekolah
Siswa SD Negeri Bromantakan membuat kartu pos saat aksi peringatan Hari antikorupsi Sedunia di kawasan wisata Ngarsopuro, Solo, Jawa Tengah, Jumat (8/12/2023). Aksi kreatif itu digelar pihak sekolah sebagai upaya pendidikan karakter siswa guna membangun budaya antikorupsi sejak dini.

JAKARTA - Membangun peradaban bangsa yang menjunjung tinggi budaya antikorupsi tidak bisa dilakukan dalam semalam. Proses ini membutuhkan waktu lama, konsistensi, dan harus ditanamkan sejak dini kepada setiap anak bangsa.

Sekolah adalah institusi yang paling tepat selain keluarga untuk menanamkan bibit antikorupsi sejak dini. Oleh karena itu, sekolah wajib bersih dari segala perilaku koruptif. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan praktik korupsi masih terjadi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Temuan ini terungkap dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 yang melibatkan peserta didik, wali murid, tenaga pendidik, dan pimpinan instansi pendidikan sebagai responden. Survei ini mengukur tiga aspek utama: karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan, dan risiko korupsi dalam tata kelola pendidikan.

Survei oleh KPK mengungkapkan bahwa 24,6 persen guru mengatakan ada siswa yang diterima karena memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah. Selain itu, 42,4 persen guru menyatakan ada siswa yang sebenarnya tidak layak diterima, tetapi diterima karena memberikan sesuatu. Menganggap enteng temuan ini bisa berbahaya, mengingat banyaknya jumlah sekolah di Indonesia. KPK bahkan menyindir bahwa selain jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan mutasi, kini ada "jalur gratifikasi."

Sindiran ini muncul karena adanya penyebab yang harus ditanggapi dengan bijaksana agar tidak ada lagi praktik curang di lembaga pendidikan di masa depan. Perilaku koruptif seharusnya tidak memiliki tempat di dunia pendidikan, karena hal ini akan terbawa oleh siswa ke masyarakat. Siswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari apa yang mereka lihat dan alami di sekolah. Nilai-nilai integritas harus ditanamkan, bukan perilaku koruptif dari pihak yang berkepentingan.

Jika siswa terus terpapar pada perilaku koruptif, hal itu bisa menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan tindakan serupa di tempat lain. Orang tua yang menghalalkan segala cara untuk memasukkan anak mereka ke sekolah yang bukan hak mereka bisa menjadi contoh buruk. Menyontek, meskipun dianggap sepele, adalah perilaku koruptif yang bisa menular dan mendorong siswa lain untuk melakukan hal yang sama. Perilaku koruptif lainnya yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan adalah terkait dengan kedisiplinan, seperti siswa atau guru yang datang tidak tepat waktu atau tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima.

Jelas terlihat bahwa faktor lingkungan sangat berperan dalam membentuk perilaku siswa. Jika yang ditanamkan adalah bibit antikorupsi, hasilnya akan membawa kebaikan untuk semua. Namun, jika yang tertanam adalah perilaku koruptif, akan ada banyak yang dirugikan di masa depan.

Satu hal lain yang menjadi sorotan KPK adalah kebiasaan orang tua siswa memberikan sesuatu kepada guru agar anaknya mendapatkan apresiasi tertentu. Kebiasaan ini harus dihilangkan karena menanamkan benih-benih korupsi di dunia pendidikan.

Dapat dipastikan bahwa dalam setiap generasi siswa baru, ada yang kelak menjadi pejabat, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Jika sejak awal mereka terpapar praktik korup, jangan heran jika mereka nanti juga tidak takut melakukan tindakan koruptif.

Demi efektivitas penguatan praktik antikorupsi di sekolah, dosen Program Studi Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, menyarankan agar pendidikan dan pembelajaran antikorupsi tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga melibatkan aksi nyata dalam mencegah dan melawan praktik korupsi.

"... Pendidikan dan pembelajaran antikorupsi hendaknya tidak hanya bertele-tele membahas pengertian dan norma-norma atau moralitas saja, tetapi harus mengajak siswa untuk aktif mencari informasi, merumuskan aksi, melakukan aksi, dan refleksi," ujar Edi dalam makalah "Pendidikan Antikorupsi Perspektif Pedagogi Kritis" dalam "Integritas: Jurnal Antikorupsi."

Dengan begitu, pendidikan antikorupsi akan memiliki daya ubah dan daya dobrak terhadap kultur korup yang masih ada di beberapa sekolah. Penerapan prinsip-prinsip pedagogi kritis ini akan membuat pembelajaran antikorupsi lebih bermakna bagi siswa karena mereka memiliki pengalaman nyata dalam mencegah dan melawan praktik korupsi.
 
Bergerak bersama

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menyuarakan pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sendirian. Seluruh lapisan masyarakat harus bergerak bersama untuk memberantas praktik korupsi. Pernyataan KPK ini bukan sekadar ajakan basa-basi. Jika dilihat lebih dekat, ada bibit korupsi yang sangat dekat dengan masyarakat dan harus dibasmi sejak dini, salah satunya di dunia pendidikan.

Jika orang tua dan guru bisa menanamkan sikap dan pendidikan antikorupsi di rumah dan sekolah, korupsi pada akhirnya tidak akan punya tempat di Indonesia. Semua orang pasti sepakat korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan bersama-sama, meski perjalanan menuju Indonesia bebas korupsi memang terjal dan penuh rintangan.

Namun, satu hal yang pasti adalah titik awal menuju Indonesia bebas korupsi sudah ada di depan mata. Garis start itu ada di keluarga dan sekolah. Sekarang saatnya bagi para orang tua dan guru untuk mengambil langkah pertama menuju Indonesia bebas korupsi dengan menolak segala tindakan koruptif di dunia pendidikan. Mungkin bibit antikorupsi yang kita tanam saat ini di dunia pendidikan tidak bisa langsung dinikmati, tetapi manisnya buah antikorupsi akan menjadi hadiah dari kita kepada generasi penerus bangsa. (ant)
 
 


Berita Lainnya