Opini

Implikasi  Serangan 9/9 Israel ke Qatar Bagi Tatanan Global 

Sebuah Analisa Dr Indria Ernaningsih, MBA, MSc

Indria Ernaningsih — Satu Indonesia
1 day ago
Implikasi  Serangan 9/9 Israel ke Qatar Bagi Tatanan Global 
MUSUH BERSAMA - Serangan mematikan Israel ke Doha, ibukota Qatar untuk membunuh pemimpin Hamas.

PADA 9 September 2025, secara mendadak Israel mengebom Doha ibukota Qatar,  menghancurkan markas besar Hamas yang terletak   di diplomatic area, kompleks kedutaan besar asing dengan berbagai fasilitas publik seperti sekolah dan pusat perbelanjaan.  Serangan ini dengan sistematis  menarget petinggi Hamas yang sedang melakukan negosiasi paket perdamaian yang diusulkan oleh presiden Trump. Walaupun tidak berhasil menewaskan  pemimpin Hamas, namun  menewaskan anak dari salah satu petingginya, 4 staff dan dan seorang anggota keamanan Qatar.

Di Awal, PM Netanyahu mengkonfirmasi bahwa serangan ini sudah sepengetahuan Trump. Seorang pejabat senior Israel yang dikutip dari situs berita The Time of Israel, menjelaskan bahwa pemberitahuan dilakukan 50 menit sebelum serangan. Namun, gedung putih  membantah klaim tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka mendapatkan  pemberitahuan tepat sebelum pengeboman dan mengecam sebagai  serangan yang tidak menguntungkan terhadap upaya perdamaian yang sedang berlangsung. Pada akhirnya, PM Israel menyatakan bahwa  serangan itu adalah operasi yang sepenuhnya independen, dan Israel bertanggung jawab penuh atas serangan tersebut.

Reaksi Qatar dan negara-negara Arab

PM Qatar yang sekaligus menlu Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani dalam konferensi pers-nya mengutuk serangan ini sebagai ‘langkah barbarik’, melanggar kedaulatan negara Qatar, terlebih pada saat diminta Amerika Serikat (AS) sebagai mediator proses perundingan damai dan pembebasan tawanan Israel oleh Hamas. Perundingan ini juga terbuka, diketahui oleh semua pihak, baik tempat, waktu dan siapa saja yang terlibat.

Di era Obama, Qatar  diminta  untuk mengizinkan Hamas mendirikan kantor politik di Doha, 2012. Ini bukanlah kesepakatan rahasia, diketahui dan dikonfirmasi  secara luas oleh pejabat Amerika dan Qatar. Permintaan tersebut merupakan bagian dari strategi diplomatik untuk menciptakan saluran komunikasi antara pihak-pihak yang bertikai. Kantor di Doha berfungsi sebagai alamat resmi bagi komunikasi tidak langsung, negosiasi, dan de-eskalasi, terutama selama konflik dengan Israel.

Karenanya, penyerangan ini dianggap sebagai penghinaan sekaligus pengkhianatan atas apa yang sudah dilakukan Qatar selama ini; merusak kepercayaan Doha terhadap aliansi militer dengan AS,  berdasarkan beberapa fakta sebagai berikut

  1. Tidak adanya peringatan sebelum serangan. Menurut PM Qatar, peringatan dari Steve Wikof Utusan khusus Amerika Serikat untuk Timur Tengah justru baru diterima 10 menit setelah serangan terjadi.
  2. Posisi Qatar sebagai  home-base dari pangkalan militer Amerika terbesar yang paling strategis di Timur Tengah yang merupakan pusat komando, kendali, intelijen, dan logistik yang komprehensif memungkinkan AS dan sekutunya menjaga stabilitas regional. Qatar sendiri telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun dan memodernisasi fasilitas di Al Udeid, sehingga Presiden Joe Biden mengapresiasinya dan memberikan status Qatar sebagai Sekutu Utama Non-NATO - sebuah pengakuan yang bahkan  tidak dimiliki oleh Arab Saudi maupun UEA. Karenanya sangat ironi, ketika serangan itu sama sekali tidak terdeteksi radar Patriot / THAAD yang sangat canggih.

Sebagai perbandingan, pada saat serangan Iran ke Qatar, dari 15 rudal, 14 bisa ditangkis. Sementara pada serangan kali ini, sebanyak 12 rudal yang diluncurkan, tidak ada satupun yang terdeteksi.

Bagi negara-negara Teluk (GCC), serangan Israel ini dianggap melanggar red line yang menimbulkan kemarahan bersama. Serangan ini dilihat sebagai ancaman kolektif, menandai eskalasi dramatis dalam ketegangan regional. Hal ini juga menunjukkan intervensi Israel yang semakin dalam di kawasan  dimana secara simultan, dalam 72 jam telah melakukan penyerangan di enam negara; Gaza, Lebanon, Syria, Yemen, Tunisia, dan Qatar. 

Pernyataan Netanyahu  yang berulang kali menegaskan akan melakukan serangan ke negara yang melindungi Hamas, termasuk Mesir dan Turki, menempatkan   Israel  sebagai ancaman regional, melebihi Iran. Perasaan terancam  ini akhirnya mengubur perbedaan politik diantara  negara-negara Arab terhadap Qatar sebelumnya. Tidak heran jika kemudian Presiden  Uni Emirat Arab (UAE), Mohamed bin Zayed melakukan kunjungan langka ke Qatar, sehari setelah penyerangan untuk menunjukkan solidaritasnya. Demikian juga Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman  dan pemimpin negara Muslim lainnya,  termasuk Presiden Prabowo.

 UAE yang memiliki hubungan resmi dengan Israel bahkan melakukan langkah yang cukup dramatis  dengan memanggil wakil duta besar Israel David Ohad Horsandi, mengutuk serangan  tersebut sebagai tindakan pengecut dan membahayakan keamanan kolektif negara-negara teluk. Lebih lanjut, UAE  juga melarang perusahaan pertahanan Israel ikut dalam Dubai Airshow 17-21 November 2025.

 Serangan ini juga mengancam kelangsungan upaya normalisasi dengan Israel melalui Abraham Accord. Termasuk makin meredupnya prospek koridor ekonomi India-Middle East Economic Corridor (IMEC) yang mengintegrasikan jalur perdagangan dari India-Timur Tengah-Israel ke Eropa.

 

Mengapa Israel menyerang Qatar?

Secara resmi, pemerintah Israel menyatakan  bahwa keputusan melakukan serangan diambil sebagai respon atas penembakan bus oleh Hamas di Yerusalem sehari sebelumnya (08/09/2025), yang menewaskan enam warga sipil dan empat tentara Israel. Balasan ini dianggap sebagai hukuman dan respon tegas Israel .

Walaupun banyak kalangan meragukan klaim tersebut, karena berbagai sumber intelijen justru menunjukkan serangan 9 September  merupakan operasi yang sudah direncanakan sejak lama, berbulan-bulan sebelumnya. Demikian juga narasi yang  menyatakan Hamas menolak proposal perjanjian damai yang diajukan Trump. Sementara pada kenyataannya Hamas merespon positif  proposal tersebut  dan telah menyetujui peralihan pemerintahan nasional Gaza ke tangan teknokrat.

 Beberapa analis menengarai bahwa alasan sebenarnya penyerangan ini terbagi dalam berbagai faktor.

  1. Israel menginginkan kekalahan  total Hamas dibandingkan perjanjian gencatan senjata, sehingga serangan ini diharapkan menghentikan perundingan yang akan memakan waktu,  sekaligus elemen untuk menunjukkan Israel mampu menghadapi tekanan internasional.
  2. Pemerintahan Trump dianggap sangat pro Israel yang dibuktikan dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel pada periode pertamanya.  Dukungan  ini dimanfaatkan sayap kanan Israel untuk aneksasi tepi barat sekaligus mempermulus terlaksananya rencana pembangunan Gaza pasca perang yang tertuang pada blue print  mega proyek ‘Gaza-Trump Riviera’.
  3. Kritik garis keras-pro Israel terhadap ‘Lobi Qatar’ yang meningkatkan skeptisme terhadap dukungan AS terhadap Israel. Dalam sebuah wawancara Agustus lalu, Netanyahu menuduh Qatar  atas peningkatan antisemitisme masyarakat  Amerika. Qatar juga disinyalir memberikan donasi miliaran dollar  pada berbagai universitas dan lembaga think tank di AS, serta melakukan berbagai investasi bisnis untuk memperoleh pengaruh politik.
  4. Serangan ke Qatar digunakan Netanyahu sebagai upaya  meredam kritik politik dari investigasi Qatargate yang sedang berlangsung terkait aliran dana yang diterima bawahannya untuk kepentingan Qatar serta pengalihan issue kasus korupsi pada dirinya.
  5. Serangan ke Qatar yang berjarak 2000 km lebih, adalah bentuk ancaman sekaligus kampanye atas superioritas teknologi dan militer Israel untuk menyerang negara manapun yang melindungi Hamas serta berseberangan dengan kepentingan Israel.
    Strategi Tindakan Balasan Qatar

Belajar dari blokade 2017, Qatar secara substantial meningkatkan kemampuan mediasi dan jaringan kekuatan politiknya. Kemampuan bernegosiasi dan mediasi dalam berbagai konflik di seluruh dunia, termasuk di US-Taliban, Russia-Ukraine, Kongo, Darfur, Lebanon, Yaman, Venezuela, Colombia, dan Gaza, berhasil membangun reputasi  Qatar sebagai ‘top international mediator’. 

Pendekatan yang digunakan  adalah memprioritaskan penyelesaian damai dan kemampuan memelihara hubungan dengan berbagai aktor negara dan non-negara yang seringkali tidak dapat dilibatkan secara langsung oleh kekuatan lain.  The Guardian menjuluki Qatar sebagai ‘the global capital of diplomacy’. Report dari Quincy Institute juga menunjukkan Qatar sebagai salah satu lobi asing berpengaruh di AS.

Pasca serangan 9/9,  PM Qatar menegaskan, akan melakukan pembalasan kepada Israel dan tidak mentolerir setiap tindakan intimidasi dan agresi militer Israel. Untuk itu, dalam jangka pendek strategi yang digunakan adalah  mengoptimalkan  kekuatan soft power-nya  berupa diplomasi, hukum, dan narasi. Beberapa langkah yang telah dilakukan adalah:  

  1. Di sela-sela kunjungan kepala negara GCC ke Doha menyampaikan solidaritas dan dukungannya, Qatar meminta collective response terhadap agresi militer yang membawa kawasan teluk dalam bahaya. Kolektif respon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kajian yang dipersiapkan tim hukum untuk mengadili Netanyahu atas pelanggaran hukum internasional.
  2. Selain mendapatkan dukungan dan komitmen diplomatic measures melawan agresi Israel, Qatar juga memperluas kerjasama dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan dan investasi, energi, keuangan, food security, pendidikan pada pertemuan ‘The GCC-Russia Strategic Dialogue’ (11-12/09/2025). Langkah  strategis  ini makin meningkatkan  daya tawar Qatar dan alternatif aliansi di kancah internasional.
  3. Qatar mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk serangan Israel ke  Doha, serta menyerukan de-eskalasi. Pernyataan ini disetujui oleh semua anggota yang berjumlah 15 negara, termasuk sekutu utama Israel dan Amerika,  (11/09/2025). Dalam isinya  juga disebutkan dukungan terhadap kedaulatan dan integritas Qatar, serta menggarisbawahi peran penting Qatar sebagai  mediator utama antara Israel dan Hamas.
  4. Serangan  9/9 ini  semakin meningkatkan global sentimen negatif terhadap Israel, mendorong lahirnya resolusi bersama menuju solusi dua negara pada sidang umum PBB (12/09/2025). Deklarasi New York mendapatkan dukungan mayoritas 142 suara, 10 suara oponen termasuk Israel dan AS, serta 12 abstain, berisi langkah-langkah konkrit, terikat waktu, dan tidak dapat diubah pada pembentukan dua negara.
  5. Dalam waktu singkat, Qatar mampu menyelenggarakan The Arab-Islamic Extraordinary Summit (14-15/9/2025) yang dihadiri oleh kepala negara dan perwakilan dari 57 anggota OKI dan 22 anggota Liga Arab, mendiskusikan  solusi konkrit dari situasi terkini serangan 9/9. Menariknya, pertemuan ini berhasil menghadirkan key players regional seperti Iran, Turki, Pakistan, Arab Saudi, UAE yang fatsun politiknya berseberangan. Dalam skala yang lebih luas, ini adalah pertama kalinya negara-negara Islam bersatu, duduk bersama  merancang langkah strategis menghadapi musuh bersama Israel.

   Semua mata dunia tertuju pada satu titik, menantikan hasil dan implikasinya.

Resolusi  The Arab-Islamic Summit dan Implikasinya 

Pertemuan darurat antara negara Arab dan Islam  selama dua hari dilakukan secara tertutup di Doha. Negara kita diwakili Menlu Sugiono, sementara negara jiran,  PM Anwar Ibrahim hadir langsung. Pertemuan ini menghasilkan 21 poin kesepakatan bersama, dimana ada tiga poin utama yang bisa dielaborasi, yaitu;

  1. Persatuan  negara Arab dan Islam menghadapi  segala ancaman dan agresi.
  2. Dukungan penuh kepada Qatar atas segala strategi dan langkah yang diambil merespon serangan Israel
  3. Mengaktifkan mekanisme keamanan bersama kawasan. 

 Banyak pihak yang skeptis terhadap hasil summit ini, karena dianggap minim tindakan nyata. Namun yang tidak banyak orang sadari, sesungguhnya konflik baru Israel-Qatar  mengubah lanskap dan memberikan  implikasi yang luas secara geostrategi dan geopolitik. Ini bukan sekedar mengutuk, tetapi secara sistematis bergerak bersama-sama.

Bahkan Israel sendiri telah menyadari potensi kerusakan atas balasan  yang dilakukan Qatar. Pada hari yang sama ketika  summit berlangsung, Netanyahu di depan konferensi tahunan kementerian keuangan di Yerusalem,  memperingatkan bahwa Israel ke depan akan semakin menghadapi isolasi internasional. 

Apa yang dilakukan Qatar bukanlah pembalasan serangan militer, namun pengepungan narasi, politik dan ekonomi, yang justru memberikan dampak kerusakan sistemik bagi stabilitas negara Israel, mengubah medan peperangan bukan hanya lokal, tapi regional bahkan global. Ini pertarungan ideologis yang mengancam fondasi kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Karenanya, Amichai Chikli, salah satu menteri dalam kabinet Netanyahu mengatakan bahwa poros Turki-Suriah-Qatar sebagai The axis of evil baru.

Pertanyaan berikutnya, dalam bentuk apa kira-kira balasan yang akan dilakukan oleh Qatar beserta negara Arab sekutunya?

Pembangunan Narasi

Sesungguhnya, selama bertahun-tahun, kekuatan  Israel selain didukung oleh kekuatan militer dan dukungan AS tanpa batas, juga terjadi karena perpecahan negara-negara Arab. Serangan ke Qatar membangkitkan kesadaran bersama untuk bersatu menghadapi common enemy. Persatuan ini akan memberikan sinergi optimalisasi  pemanfaatan soft powernya.  Melalui platform digital modern, media, diplomasi, lobi  menggalang opini publik dan merancang narasi global untuk mendelegitimasi   posisi Israel di kancah internasional.

 

Tekanan Ekonomi

GCC adalah pusat energi dunia, elemen penting dari geostrategy dan geopolitik. Bayangkan ketika mereka mengancam melakukan boikot, dampaknya akan dirasakan seluruh dunia. Kita bisa berkaca dari pengalaman krisis minyak 1972, dengan magnitude yang jauh lebih besar. Dengan kelangkaan energi, apakah Eropa akan memilih tetap setia terhadap Israel. Tentu ini juga berpotensi menimbulkan keretakan pada NATO. 

Kalau kemudian AS mengancam dan melakukan perang, apakah mereka masih memiliki sumberdaya yang cukup, karena sudah terbagi-bagi di berbagai front, menghadapi China, Rusia, India , Iran, Venezuela, dan sekarang, aliansi baru GCC dan Arab. Sementara di dalam negeri, AS juga menghadapi kelesuan ekonominya, dengan hutang US$37T yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 bulan mendatang.

 Sovereign wealth yang berlimpah dari negara GCC memberikan leverage finansial atas kepemilikan yang sangat besar di perusahaan-perusahaan ternama barat. Jika kemudian mereka memanfaatkan investasi ini untuk menekan perusahan tersebut, memutus atau minimal mengurangi bisnis dengan Israel, bisa dibayangkan skala kerusakannya.   Pun, bagaimana jika Qatar membatalkan komitmen investasi di AS sebesar US$ 1.2Triliun, Saudi US$ 1 Triliun,  dan UAE  US$1.4 Triliun untuk membantu terpuruknya ekonomi AS. Apakah AS akan tetap bersikukuh  menjadi pelindung Israel?

 Belum lagi jika GCC masuk dalam aliansi BRICS, dimana UAE pun sekarang sudah menjadi anggotanya. Ini akan memberikan pukulan mematikan; pasar energi akan terguncang, mata uang akan berubah, aliansi baru muncul, melahirkan tatanan dunia baru.

 Tekanan Politik dan Hukum

Dengan membangun narasi  secara terus menerus berupa pelanggaran kemanusian, genosida, pelanggaran hukum internasional di berbagai forum internasional, universitas, think tank, media, dan desakan publik di jalanan, akan menjadikan dukungan kepada Israel oleh sekutu-sekutunya, berubah menjadi beban dan merugikan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan  jaringan lobi di Washington. dan Eropa  untuk mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Qatar telah mengirimkan  legal action ke ICC atas serangan 9/9; menambah semakin panjang daftar dakwaan terhadap Israel.

Aksi-aksi ini akan  melemahkan/isolasi hubungan diplomatik, mengurangi dukungan di badan-badan  internasional seperti PBB, dan menyebabkan embargo senjata atau sanksi lainnya. Seperti yang sekarang terjadi, dimana terjadi perubahan opini publik di sejumlah negara Eropa yang dulunya sekutu Israel.  Irlandia, Italia, Belanda,  Spanyol telah memberlakukan embargo berbagai produk Israel, senjata, dan melarang kapal yang membawa bahan bakar untuk militer Israel melewati pelabuhannya. Sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengusulkan sanksi termasuk penangguhan perjanjian perdagangan bebas Uni Eropa-Israel.

Diversifikasi Sistem Pertahanan

Serangan 9/9 ini juga menjadi wake up call bagi Qatar  dan negara-negara Arab akan perlunya diversifikasi sistem pertahanan negara, sebagai akibat runtuhnya kepercayaan pada perlindungan AS terhadap stabilitas kawasan. Qatar sendiri melakukan review aliansi militernya dengan AS pasca serangan, dengan menjajaki berbagai cara untuk memperkuat keamanan nasionalnya, termasuk memperkuat kerja sama pertahanan dengan Turki dan Pakistan. 

Sejalan dengan itu, Saudi Arabia telah menandatangani aliansi pertahanan dengan Pakistan serta  pengembangan nuklirnya. Ini adalah perjanjian defensif komprehensif mencakup semua sarana militer. Mengingat sebagian besar persenjataan Pakistan dipasok dari China, berimplikasi bahwa Saudi beraliansi dengan industri militer China secara tidak langsung.

 Lebih lanjut, koalisi Arab juga makin  intensif melakukan diskusi pembentukan  mekanisme pertahanan kolektif, semacam NATO Timur Tengah. Tentu ini akan memberikan kekuatan baru untuk melawan tekanan AS, Israel maupun negara-negara sekutunya.

Penutup

 Serangan 9/9 telah mengubah Qatar sebagai mediator netral, bergerak masuk ke konflik, mengobarkan perang melawan Israel. Ini menjadi pertanda kesabaran sudah habis. Dunia Arab dan negara Islam bersatu berkumpul di bawah bendera perlawanan Qatar. Arab tidak lagi tercerai berai, dunia Islam tidak lagi lahan empuk untuk di-bully dan diintimidasi.

Dengan dukungan sumber energi, kekayaan yang berlimpah, diplomasi dan jaringan politik yang dimiliki, aliansi baru ini akan mengubah keseimbangan kekuatan  dunia. Ini  adalah perang ideologi yang mengguncang langsung sendi-sendi kapitalisme dan imperialisme barat. Saat ini kita menyaksikan  titik balik dalam sejarah yang akan mengubah kekuatan mana yang akan menetapkan aturan untuk dunia. (penulis adalah akademisi dan peneliti independen kajian Timur Tengah, perwakilan satuindonesia.co di Qatar). 

 

 


Berita Lainnya