Citizen Journalism
Di Marketing, Politik Identitas itu ‘Positioning', Salahnya Dimana?
Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada mendukung sikap Ketua Umum DPP Partai Ummat Ridho Rahmadi yang secara terbuka menegaskan bahwa parpolnya adalah parpol dengan politik identitas, yang berdasarkan Pancasila. Sikap ini paling tidak meluruskan kesalahan berpikir sebagian kalangan, yang menjadikan narasi politik identitas sebagai sesuatu yang terlarang, bahkan cenderung membunuh karakter seseorang atau kelompok tertentu.
“Salut untuk Mas Ridho Rahmadi, yang melawan arus kesalahan berpikir,” kata Eko Satiya Hushada, kepada media, Kamis (16/2/2023).
Ramai diberitakan, Ketum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengakui diri (partai) sebagai politik identitas. Politik identitas menurut dia adalah politik yang justru politik yang pancasilais.
“Kita akan secara lantang mengatakan,’Ya! Kami, Partai Ummat, ya, kami adalah politik identitas!’” tegasnya, dalam Rakernas perdana Partai Ummat, baru-baru ini
Ridho menjelaskan, bahwa tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan akan terjebak dalam moralitas yang relatif dalam etika yang situasional. Ia pun menyebut bahwa Partai Ummat secara khusus akan melawan dengan cara beradab dan elegan terhadap narasi latah yang kosong dan menyesatkan soal politik identitas ke masyarakat.
Menurut Eko, semua parpol selama ini justru menggunakan politik identitas, sebagai upaya mengidentifikasi parpolnya. Karena memang politik identitas itu adalah strategi pemasaran politik, yang tidak bisa dihindari dalam sebuah kontestasi politik.
Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menyebut dirinya sebagai partai nasionalis. Kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bahkan tegas politik identitasnya, dengan mengusung logo Ka’bah. Sudah dapat dipastikan, arah politik PPP dan siapa target pemilih yang disasar.
Dalam menentukan pasangan calon di pemilihan kepala daerah (Pilkada) pun menurut Eko, selalu ada narasi memasangkan figur yang nasionalis dan agamis. Maksudnya, dicari figur yang punya jiwa nasionalis, kemudian dipasangkan dengan tokoh yang dikenal agamis.
“Ini narasi yang selalu saya tolok selama ini. Pertanyaannya, emang kalau nasionalis, kemudian gak punya agama? Gak agamis? Sebaliknya, kalau dia taat dalam beragama, kemudian tidak punya nasionalisme sebagai orang Indonesia? Ini kan narasi yang salah. Saya selalu lawan itu. Tapi ya itulah, politik identitas yang berlaku selama ini,” tegas Eko.
Menurut Eko, tidak ada yang salah dengan politik identitas. Di pemasaran politik, politik identitas itu adalah positioning, yakni upaya pemilik merek memposisikan mereknya di benak target marketnya, atau target pemilihnya. Positioning harus dibangun atas sesuatu yang berbeda dan kreatif. Dengan positioning yang kuat, akan menentukan merek yang kuat pula, untuk mencapai level top of mind.
“Coba Anda riset, tanyakan ke responden, ketika disebut partai nasionalis, responden akan menjawab PDIP, Gerindra atau Demokrat. Kemudian, partai Islam, responden kemudian menjawab PPP, atau PKS. Itu yang namanya positioning. Yaitu itu dia politik identitas,” tegas Eko.
Lebih jauh Eko bicara soal positioning atau politik identitas. Menurut dia, kontestasi politik sama halnya dengan persaingan produk di pasar. Pemilik merek harus menciptakan produk terbaik untuk memenuhi kebutuhan target market atau konsumennya. Untuk sekedar jualan air minum dalam kemasan saja, berbagai macam jenis minuman. Karena masing-masing konsumen memiliki kebutuhan yang berbeda, termasuk daya beli.
“Begitu juga misalnya ketika kita jual makanan, ada makanan kesehatan yang halal. Tapi ada juga yang jual makanan kesehatan tapi tidak halal, karena ada unsur vitaminnya yang berasal dari sesuatu yang tidak halal. Nah, yang halal tentu dijual dengan target market muslim. Yang tidak halal, dijual kepada non muslim. Mereknya berbeda. identitasnya berbeda. Bisa disebut juga sebagai identitas marketing. Lantas, apakah ini dilarang? Salahnya dimana?” tegas Eko.
Ia mengajak masyarakat khususnya kepada elit untuk tidak menjadikan narasi politik identitas sebagai alat untuk menyerang pribadi atau kelompok yang dianggap lawan politik, kemudian membunuh karakternya. Bahkan kata Eko, sekarang narasi tersebut semakin berkembang, bahwa pengusung politik identitas itu adalah figur atau kelompok yang jika nanti menang, akan mendirikan negara Islam, pendukung teroris dan sebagainya.
“Ini menurut saya kebodohan berjamaah. Elitnya bodoh, cupat, masyarakat yang termakan narasi itu dan ikut menyuarakannya juga ikut bodoh. Jadilah kebodohan berjamaah. Sudahlah, hentikan!” ajak Eko. (*)