Opini
100 Hari Pertama Prabowo dan Sumpah Pemuda yang Bergelora
Oleh: Neno Warisman*
JAKARTA - Di lantai 21 pada subuh hari ini dengan jendela kaca terbentang luas, gedung-gedung Jakarta yang biasanya menjulang tampak sepantar dengan kamar. Titik-titik nyala rumah dan bangunan bertaburan sampai ke kabut pagi. Langit bersusun warna keabuan dan bakal jingga; matahari menjelang terbit.
28 Oktober. Raib sumpahnya. Hilang Pemudanya. Tinggallah Partai Gelora yang milad hari ini, dan saya mengingatnya. Selamat milad, Partai Gelora. Teruslah menggelorakan jiwa-jiwa. Dan teruslah gaungkan elan "Langitmu teramat tinggi, sedang cita-citamu terlalu rendah." Saya suka itu.
Kebetulan, hari Sumpah Pemuda juga bertepatan dengan dimulainya kerja para menteri setelah tiga hari pembekalan di Magelang yang sangat berkesan. Saya memandang panorama ini sambil membayangkan diri seolah seorang menteri yang baru kembali dari penggemblengan The Military Way, lalu memilih istirahat di hotel terbaik di Jakarta.
Soal harga hotelnya mungkin mahal banget, tapi nggak papa karena, kan, seharusnya nggak pakai uang negara. Pakai uang sendiri. Gapapa! Masalahnya muncul kalau senang-senang dan nikmati fasilitas di luar tugas pakai uang rakyat. Nah, itu.
SEBUAH IDE SEDERHANA
Anggaplah, pegal dan agak flu itu semua sudah dilewati dengan sukses. Setelah dihujan-hujankan, dan sebagainya, akhirnya selesai. Lulus semua. Walau netizen banyak yang teriak, "Kalau para menteri outbound, lalu siapa yang urus pemerintahan?"
Ehehehe. Kenapa sih pada resek banget? Pakek imajinasi dikit, dong. Dihujan-hujankan itu bagus. Diperlihatkan parade
defile, itu keren. Di Military Way-kan, meminjam kalimat Jenderal Gatot Nurmantyo dalam podcast beliau, "INI WAKTU YANG TEPAT!!"
Saya setuju banget dengan penanaman ulang jiwa patriotik; saya sangat menikmati pengindraan ulang atas anasir-anasir kepahlawanan yang disentuhkan kembali pada jiwa para menteri. Saya yakin, di antara mereka, banyak yang telah memiliki jiwa pahlawan. Netizen juga banyak yang setuju dengan out of the box-nya Presiden dalam menempa kebersamaan dan kekompakan para pembantunya dengan cara outing itu.
Apalagi bagi para penyuka dirgantara dan terjun payung, military and outerspace, dan defile serta drum band akmil dan akpol yang selalu keren. Sebagian masyarakat mendapat kesan bawah sadar bahwa mereka akan memiliki negara yang lebih aman kedaulatannya. Terlebih, acara 3 hari outbound di Akmil Magelang ini katanya dibayar dari kantong sendiri oleh presiden dan tidak pakai APBN.
Berarti, saya dan Prabowo sama-sama berpandangan bahwa pengorbanan harta untuk perjuangan, lakukan di publik dan tanpa ditutup-tutupi! Cocok!
Tapi yang paling diinginkan oleh seluruh masyarakat adalah, pembekalan-pembekalan itu semua membekas dan berdampak langsung pada cara pandang para menteri Merah Putih mulai hari ini sampai sepanjang menjabat 5 tahun ke depan.
Saya pribadi berpendapat, selain pendekatan yang disebut "Military Way" selama 3 hari kemarin, ada baiknya ada program lanjutan dari penanaman ulang jiwa patriot mereka. Jangan sekali ini saja. Sudah puluhan atau belasan tahun hidup bergelimang kemudahan fasilitas sebagai birokrat pejabat; pastilah gaya dan selera patriotisme serta rela berkorban berjuang semata untuk rakyat itu sepertinya "jauh panggang dari api" selama ini.
Kalau boleh mengajukan pemikiran sederhana, lakukan lagi secara periodik, tetapi biaya yang depan-depan 100% ditanggung bersama oleh pribadi-pribadi menteri supaya ada jihad harta juga, untuk memanggang lemak-lemak keegoan diri dan kanker-kanker pemikiran kapitalis ekstrem yang terlanjur beranak-pinak di otak dan hati. Mohon sekali lagi: JANGAN PAKAI UANG RAKYAT ATAU NEGARA. Itu jauh akan sangat berkenan bagi kami, masyarakat.
Khusus di bagian ini, bukan percakapan imajinasi, ya.
SINYAL PERUBAHAN, ADA?
Di hari pertama para menteri langsung bekerja, mereka akan ada di ruang-ruang yang luas dan nyaman.
Memandang Jakarta (seperti saya tadi di lantai 21!) dari jendela-jendela lebar akan terlihat gedung-gedung, jalan-jalan, rumah-rumah, dan bangunan-bangunan. Jika penggemblengan di Lembah Tidar itu benar-benar bermakna dan dipahami, maka di benak para pemimpin terpilih ini akan muncul perubahan besar dalam cara pandang.
Apa yang seharusnya tampak di relung mata, saat memandang kawasan kota dengan gedung-gedung megah?
Adalah justru orang-orang yang hidup di balik kemewahan gedung-gedung itu.
Mereka adalah masyarakat yang leher-lehernya dijerat oleh pinjaman online yang mematikan, nasib guru-guru honorer di pedalaman yang sudah lama ditindas keadaan, anak-anak yatim duafa yang potensinya harusnya dikembangkan oleh negara, serta jutaan pengangguran terselubung yang jumlahnya kian membengkak.
Terpikirkan juga air sungai yang kotor, sampah yang tak terkendalikan, udara yang cemar, dan masyarakat yang berjuang di tanah negeri yang kaya raya ini.
Perubahan itu masuk ke dalam penglihatan hati dan kemudian tercermin dalam perhitungan kebijakan para menteri. Yang tadinya lebih sering menghitung aset pribadi demi terus menambah nilai investasi, kini diharapkan bisa menjadi "pertapa" bagi peradaban Merah Putih yang baru. Pikiran yang diutamakan sekarang seharusnya bukan lagi untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk mencapai tujuan besar: "Rakyat tersenyum, Wong cilik iso gemuyu" itu.
Yang terlihat dari jendela ruang kerja yang luas ini sekarang bukan lagi sekadar bangunan-bangunan megah, tapi juga gubuk-gubuk, bedeng, rumah kontrakan, pekerja pabrik, penduduk desa miskin, petani, nelayan, pekebun, para pekerja kasar, janda-janda tua, dan remaja-remaja yang jiwa dan kecerdasannya semakin kurus.
Mereka adalah anak-anak yang kehilangan arah, terseret kecanduan, dan rusak, sementara kriminalitas meningkat mencapai titik puncak dalam tindak kejahatan yang ekstrem. Juga terbayang rakyat di bawah garis kelayakan hidup di Papua, Maluku, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan di ribuan pulau perairan kita.
Tidak hanya di Jawa. Pola pikir Presiden ke-8 menginginkan wilayah Tengah dan Timur betul-betul diprioritaskan. Maka lakukanlah!
TINGGAL SOAL HATI
Berbeda dengan tulisan saya sebelumnya, tidak ada penggunaan istilah-istilah sulit. Semua working paper, data, riset, laporan, dan istilah-istilah sulit itu sudah tersedia di ruangan kerja masing-masing menteri dan
kepala lembaga. Yang tersisa hanyalah soal hati, soal nurani. Itu aja.
Di jendela besar di lantai 21, ingatan saya tertuju pada tiga buku, trilogi yang ditulis sekitar setahun lalu oleh Bung Fahri Hamzah. Trilogi ini mengupas tentang pembangunan dan karakter manusia Indonesia dalam kerangka besar kesejahteraan rakyat. Sarat dengan data dan pemikiran, buku ini sangat layak menjadi bacaan wajib bagi seluruh menteri di Kapal Kabinet Merah Putih. Apa yang diimpikan oleh Pak Prabowo ada di Buku Trilogi Fahri Hamzah. Buku ini memperkaya khazanah para menteri dan wakilnya, selain buku PARADOKS INDONESIA, yang seharusnya sudah dikhatamkan oleh setiap patriot baru di jajaran kabinet Pak Presiden Prabowo Subianto.
Akhirnya, meski ada sedikit pertanyaan, mengapa Bung Fahri Hamzah "hanya" ditugaskan sebagai wakil, karena kita semua tahu dan kenal bahwa integritas dan kapasitas Bung Fahri sebenarnya lebih cocok di pucuk kementerian mana pun yang sesuai dengan keahliannya. Namun, ini semua pasti yang terbaik.
Kapan-kapan, saya ingin menulis tentang rumah untuk rakyat.
Dari lantai 21, di bawah sinar dhuha, kita panjatkan doa bersama, memohon bimbingan untuk para menteri kabinet Merah Putih yang baru. Dalam semangat patriotisme ini, kita juga mengucapkan Selamat Milad Partai Gelora, semoga selalu menginspirasi jiwa kebangsaan yang sejati. Semoga ini menjadi era baru yang penuh harapan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salam Merdeka!
FIN
(*penulis adalah aktivis sosial dan budayawan)