Daerah
Wartawan Bersatu Tolak RUU Penyiaran
MAKASSAR - Sejumlah organisasi pers di Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) dengan tegas menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang dibahas DPR RI. Mereka berpendapat RUU tersebut mengandung sejumlah pasal kontroversial yang dapat membungkam kebebasan pers dan berekspresi serta menghambat proses demokrasi.
"Ini sangat kacau jika disahkan. Lembaga penyiaran akan menjadi alat bagi legislatif untuk menekan jurnalis, yang merupakan ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan pers," kata Ketua Pengda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Andi Mohammad Sardi, di Makassar, Senin.
Andi mengungkapkan beberapa pasal yang merugikan termasuk Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif liputan investigasi, serta Pasal 50 B ayat 2 huruf k, Pasal 8 A ayat 1 huruf q, dan Pasal 51 E. Pasal 8 A ayat 1 huruf q menyatakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Namun, menurut Undang-Undang Pers, Dewan Pers yang berhak menyelesaikan sengketa pers.
Ketua Pengda Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, Syafril Rahmat, juga menolak revisi RUU Penyiaran tersebut karena dampaknya akan menghambat kerja investigasi jurnalis dalam menyampaikan kebenaran dari temuan liputannya. "Liputan investigasi adalah fungsi kontrol penting bagi jurnalis terhadap pemerintah maupun swasta. Pasca reformasi, pers menjadi salah satu pilar demokrasi yang memberikan kemerdekaan tanpa sensor. Bila RUU ini disahkan, kebenaran akan dibungkam," tegas Syafril.
Secara terpisah, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar, Sulawesi Barat, Rahmat FA, juga mengkritik revisi RUU Penyiaran yang memuat pasal-pasal kontroversial yang dapat membunuh kebebasan pers dan berekspresi. Dua pasal yang disoroti adalah Pasal 50 B ayat 2 poin c yang melarang media menayangkan konten investigasi eksklusif dan Pasal 8 A poin q yang mengatur sengketa jurnalistik.
Rahmat menambahkan AJI Indonesia telah mengingatkan DPR untuk menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam menyusun pasal-pasal terkait penyiaran jurnalistik. Namun, dalam draft RUU Penyiaran, Undang-Undang Pers tidak disebutkan, sehingga mereka mendesak agar pasal-pasal kontroversial tersebut dihapus.
"Tidak ada dasar yang jelas bagi DPR untuk melarang media menayangkan konten investigasi eksklusif. Selain itu, hal ini akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara KPI dan Dewan Pers," tegas Rahmat.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan penayangan liputan investigasi dan eksklusif tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Ada yang merusak kebebasan pers. Kami belum tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers ini," ujarnya.
Upaya merenggut kebebasan pers, lanjut Yadi, telah berlangsung sejak 2007 dan terus berlanjut hingga RUU KUHP tahun 2024. Dewan Pers telah mengumpulkan data terkait intervensi terhadap kebebasan pers yang terus terjadi. (ant)