Features
Susahnya Air Bersih di Utara Jakarta, Tinggal di Ibu Kota Rasa Gurun Sahara
JAKARTA - Terik matahari siang itu terus menyinari, hangatnya suhu udara ditambah debu dari aspal jalanan yang menyatu, mengisi udara di kawasan utara Jakarta. Ratusan kendaraan bersusun dan berlapis-lapis menunggu giliran di Jalan Kapuk Muara, pemandangan yang biasa terlihat setiap hari.
Ratusan kendaraan tersebut menunggu kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dari sejumlah pabrik atau gudang barang yang berada di kawasan tersebut menuju ke arah perkotaan di daerah yang tidak lagi menjadi ibu kota negara itu. Seorang pria paruh baya melangkah dengan mantap sambil mendorong gerobak kayu dengan kedua pegangan yang dipegang erat. Gagang gerobak itu seperti prinsip hidupnya, dipegang kuat dan tidak ingin dilepas, terus ditarik menyusuri jalanan yang membuat tubuhnya selalu basah oleh keringat.
Gerobak yang ditarik Adek (47 tahun) setiap hari untuk mencari nafkah dengan menjual air bersih kepada para pelanggan. Air itu diambil dari lokasi dengan sistem perpipaan dan dijual kepada warga yang tidak memiliki akses ke sumber air bersih. Air tersebut dibawa dalam 10-12 jeriken yang dijual dengan harga Rp4 ribu hingga Rp6 ribu per jeriken kepada masyarakat. Jika stoknya habis, ia akan mengisi ulang dan kemudian menjual lagi kepada pelanggan langganan setiap harinya.
Pelanggannya terdiri dari warga yang tinggal di kawasan Kamal Muara dan juga pedagang yang berjualan di lokasi yang merupakan kawasan pabrik dan gudang barang tersebut. Kebutuhan akan air bersih yang tinggi dan ketersediaan yang masih kurang memadai menjadi kendala bagi masyarakat Kamal Muara Jakarta Utara dalam memperoleh air bersih.
Yanti, seorang warga RT02 RW 03 Kamal Muara, mengatakan bahwa ia tinggal di kawasan tersebut dalam kontrak. Meskipun ada rencana untuk memasang sistem perpipaan di sana, namun hingga saat ini belum terlaksana, padahal ia sangat menantikan kehadiran sistem tersebut. Sebelumnya, pemilik rumah mengakui bahwa memang ada rencana untuk memasang sistem perpipaan untuk air bersih, namun hingga saat ini belum terpasang.
Saat ini, Yanti hanya bergantung pada air sumur, dan jika air sumur tersebut kotor, ia terpaksa harus membeli air bersih dari penjual langganan. Menurut Yanti, saat hujan, air sumurnya menjadi naik dan bau yang tidak sedap, sehingga tidak dapat dikonsumsi. Namun, saat cuaca cerah seperti sekarang, air sumurnya bersih dan masih bisa dikonsumsi. Ia berharap agar lebih mudah untuk mendapatkan fasilitas air bersih yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Rosniwati, seorang warga RT01 RW 02 Kamal Muara, mengaku telah menggunakan air PAM sejak lama karena kondisi air sumurnya tidak layak lagi. Ia sudah menggunakan fasilitas air tersebut sejak lama dan meminta suaminya untuk berlangganan air bersih menggunakan sistem perpipaan saja.
Dulu, air sumurnya berbau seperti bau got sehingga tidak sehat dan tidak layak dikonsumsi. Rosniwati juga mengatakan di kawasan permukiman mereka, ada yang sudah menggunakan sistem perpipaan dan ada yang belum. Masalah biaya yang dianggap cukup mahal untuk mendapatkan layanan tersebut mungkin menjadi alasan mengapa beberapa warga belum menggunakan sistem perpipaan. Padahal, ada layanan perpipaan yang disediakan oleh Pemerintah, namun belum terealisasi di sana. Dahulu, biaya berlangganan cukup murah untuk mendapatkan fasilitas air bersih, namun sekarang harganya sudah berbeda.
Upaya Pemerintah
Penggunaan air tanah di Jakarta Utara sudah dilarang karena kondisi air tanahnya sudah tidak layak dan masuk kategori berbahaya. Pelarangan tersebut diatur oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Pada Pasal 2 disebutkan sejumlah kriteria dan sasaran zona bebas air tanah dan mulai berlaku pada 1 Agustus 2023.
Salah satu penyebab pembatasan adalah kualitas air tanah yang semakin memburuk karena sumur bor dibangun dekat dengan jamban serta padatnya penduduk di kawasan tersebut membuat air tanah terkontaminasi bakteri dan lainnya. Pemprov DKI Jakarta juga menaruh perhatian untuk Jakarta Utara agar instalasi perpipaan PAM Jaya dapat terpasang untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga.
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memastikan pemasangan jaringan pipa di wilayah Kamal Muara tidak dipungut biaya dan meminta warga menjaga serta merawat air PAM Jaya dengan bijak. Di Kamal Muara terdapat 4.000 keluarga namun yang tersambung jaringan perpipaan sekitar 3.000 keluarga. Saat ini pemasangan pipa masih berjalan untuk memenuhi kebutuhan warga.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Jakarta Utara menargetkan pada tahun 2030 seluruh masyarakat di wilayah tersebut tak lagi menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Pihaknya berupaya mengonversi sumber air warga setempat dari sumur bor atau air tanah menjadi air minum perpipaan yang ditargetkan rampung pada 2030.
Saat ini, menurut Ali, sistem perpipaan yang dibangun PAM Jaya sudah ada dari ujung timur yakni Tangerang Banten hingga ujung barat Bekasi. Mulai dari Marunda Kepu hingga perbatasan Tangerang sudah terpasang dan siap melayani masyarakat untuk memenuhi air bersih. Air tanah di Jakarta Utara, menurut dia, sudah tidak layak lagi dikonsumsi dan pihaknya akan melakukan sosialisasi bersama dengan PAM Jaya kepada masyarakat agar program ini dapat berjalan dengan baik ke depan sehingga tidak ada lagi warga yang mengonsumsi air tanah.