Opini
Proyek PIK-2 dan Dugaan Cuci Uang: Pembangunan atau Legalitas Kejahatan Finansial?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

DI TENGAH euforia pembangunan dan investasi besar-besaran di Indonesia, khususnya proyek reklamasi dan properti skala jumbo, publik perlu lebih kritis terhadap apa yang terjadi di balik gemerlapnya pencakar langit. Salah satu proyek yang layak dikuliti adalah PIK-2. Mega proyek yang kini tengah menggeliat di tanah Banten ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar soal keadilan sosial, tetapi juga mengandung indikasi kuat sebagai sarana pencucian uang (money laundering).
Harga Tanah Tak Masuk Akal dan Ketimpangan Sosial
Bagaimana bisa tanah yang sebelumnya dibeli dari warga dengan harga Rp 50 ribu per meter kini dijual Rp 29 juta per meter? Ini bukan sekadar bisnis properti biasa—ini eksploitasi legal atas ketimpangan ekonomi. Masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan membeli kembali tanah mereka sendiri. Pertanyaannya, siapa yang sesungguhnya menjadi target pasar PIK-2?
Jawabannya bisa dilihat dari PIK-1. Kawasan elite itu mayoritas dihuni oleh kalangan non-pribumi dan warga asing. Cek saja KTP para pemilik propertinya—berapa persen yang benar-benar warga Banten?
Dana Gelap Rp 60 Triliun dan Jejak Konsorsium Asing
Informasi yang beredar menyebutkan proyek ini mendapat suntikan dana dari konsorsium Bangkok dan Hongkong sebesar Rp 60 triliun. Rp 16 triliun di antaranya telah dicairkan, sementara sisanya tertahan karena perlawanan rakyat Banten. Apakah ini hanya bisnis biasa? Ataukah ada motif lain yang lebih dalam dan kelam?
Modus Cuci Uang dalam Properti: Real Estate Carousel dan Investasi Tertentu
Menurut jurnal resmi KPK, salah satu modus klasik pencucian uang adalah dengan memutar uang haram melalui transaksi jual beli properti secara berulang-ulang antar perusahaan yang dimiliki kelompok yang sama. Istilahnya: Real Estate Carousel.
Agung Sedayu Group (Aguan) dan Salim Group (Anthony Salim)—dua nama besar di balik proyek ini—memiliki jaringan anak usaha properti yang saling terhubung. PT CIS dan PT IAM hanyalah dua contoh dari banyak perusahaan terafiliasi. Transaksi bolak-balik antar perusahaan ini membuat aliran dana haram menjadi sah di mata sistem perbankan.
Ada pula modus investasi tertentu, seperti membeli bahan bangunan mahal dari luar negeri, atau benda-benda bernilai tinggi seperti lukisan, lalu dijual dengan harga gila-gilaan. Keuntungan dari transaksi ini seolah sah, padahal sesungguhnya hanya kamuflase dari aksi pencucian uang.
Pemerintah Menutup Mata?
Video rapat antara oligarki properti dengan pemerintah sebelum lahirnya PP No. 18 Tahun 2021 memperlihatkan dengan gamblang bagaimana kepentingan pengusaha lebih diprioritaskan ketimbang moralitas hukum. Bahkan ada permintaan agar pemerintah "tidak terlalu mempersoalkan asal muasal uang para pembeli properti"—dalih yang sangat berbahaya karena memberi karpet merah bagi pencucian uang.
Tolak Pembangunan yang Merampas!
Penting digarisbawahi: kita tidak anti-investasi, tidak anti-pembangunan. Namun, rakyat berhak menolak keras segala bentuk pembangunan yang menjadi kedok kejahatan keuangan dan merampas hak rakyat. PIK-2 bukan sekadar proyek properti, ini potensi legalisasi uang haram yang berdampak sistemik.
Saatnya Rakyat Melawan Oligarki
PIK-2 bukan hanya masalah reklamasi atau infrastruktur. Ini soal keadilan, kedaulatan, dan keberanian menolak dominasi uang haram dalam sistem ekonomi bangsa. Jika pemerintah tidak segera bertindak, rakyat harus bersatu menyuarakan penolakan. Hentikan proyek PIK-2 sekarang juga!
Proyek PIK-2, Cuci uang properti, Money laundering Indonesia, Agung Sedayu Group, Skandal properti PIK, Oligarki tanah, Investasi asing ilegal, Penolakan rakyat Banten, Salim Group, PP No. 18 Tahun 2021
Penulis adalah
Advokat, Aktifis Sosial dan Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)
#TolakPIK2 #SaveTanahRakyat #AntiCuciUang #StopOligarki #BantenMelawan #SkandalProperti#CuciUangProperti #MegaProyekIlegal #JanganRampasTanahKami #LawJusticeForBanten