Opini
Pak Prabowo! Setelah Judi Online, Mohon Pinjol Juga Diberantas
Oleh: Neno Warisman*
JAKARTA - Berita bahwa judi online akan diberantas sungguh membesarkan hati masyarakat. Ini adalah kabar baik dari kabinet Merah Putih. Ibu Menteri Kominfo Meutya Hafid beserta jajaran aparat penegak hukum terkait akan sangat epik jika berhasil mengemban amanah Pak Presiden, yaitu membekuk dan meringkus para bandar judi yang hidupnya bak bergelimang darah dari rakyat kecil yang mengadu nasibnya secara keliru.
Bandar-bandar ini menikmati kehidupan penuh kemewahan, berpesta-pora di atas penderitaan para penjudi yang utamanya dari kalangan jelata, yang mentalnya rusak oleh mimpi palsu untuk menang dan memiliki uang banyak, padahal sebenarnya mereka diceburkan dalam api nafsu berjudi yang menghanguskan dirinya, keluarganya, bahkan masa depannya.
Saya nggak tahu, mana yang lebih mudah: menumpas para bandar judi atau menindak para rentenir online (PINJOL)?
Heran loh, sebagai rakyat biasa mendengar perputaran uang judi online sampai Rp600 triliun, dan ada 5.000 rekening terindikasi judi. Timbul pertanyaan: Kalau sudah terindikasi, kenapa tidak diblok semua? Bangunlah unit cybercrime yang memang mumpuni, kumpulkan ratusan bakat-bakat muda bertalenta dan bayar tinggi untuk memberantas itu semua.
Soalnya, menurut curhatan para ibu-ibu di kota dan desa yang saya satroni selama ini, sama-sama membawa dampak yang sangat merugikan rakyat. Apalagi judi online, apalagi bagi umat Muslim, sudah jelas hukumnya haram. Negara seharusnya mampu memberikan perlindungan atas praktek keagamaan yang bertujuan menghindarkan masyarakat dari hal-hal yang membahayakan perikehidupan mereka.
Sekali lagi, tidak terbilang keluhan yang saya dengar dari keluarga di banyak tempat bahwa judi dan pinjol ini terbukti menghancurkan kesehatan mental, merusak ketahanan keluarga, serta memicu kekerasan dan kriminalitas. Kalau meminjam syair dari legenda musik Haji Rhoma Irama, “Aku melarat karena judi... aku sengsara karena judi... judi yang membawaku mati…” betapa syair ini adalah cerminan nyata dari kondisi sekarang.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari temuan di lapangan dan curhatan di media sosial, ternyata banyak di antara peminjam dana dari pinjol yang melakukan pinjaman karena mereka sudah terlilit judi online. Terlebih, banyak para penyawer terbesar di platform Live tertentu yang ternyata bandar judi. Itu lho, yang video viral satu kampung joget dan disawer!
Ini yang membuat kita bertanya, “mana ayam, mana telur?” Dengan kata lain, apakah berjudi yang mendorong mereka ke pinjol, atau pinjol yang menjadi pintu masuk bagi judi? Perlu dipahami dengan dalam bahwa ini sebuah ekosistem, dan sebuah ekosistem tidak bisa diberantas setengah-setengah.
Yang jelas, perilaku berjudi, bagi siapapun, dari kalangan manapun, adalah perilaku yang akan membuahkan rentetan keburukan. Tapi herannya, judi online justru semakin marak, semakin diminati, dan seolah dibiarkan.
Menurut saya, perintah presiden untuk memberantas bandar-bandar besar judi online adalah bentuk kasih sayang yang konkret kepada rakyat. Saya pribadi merasa terdorong untuk ikut mendoakan Presiden dan para pemimpin lainnya setiap usai salat, memohon agar mereka selalu teguh, lurus, dan dilindungi Allah dalam menuntaskan misi yang sangat penting ini demi keselamatan rakyat.
Bayangkan, jika hal ini didukung oleh sebagian besar masyarakat dengan doa-doa tulus demi good system and clean government, siapa yang bisa meragukan bahwa doa-doa ini pasti akan dikabulkan oleh Allah? Meskipun sebagian anggota masyarakat berpendapat bahwa tidak ada gunanya mendoakan mereka yang kinerjanya belum jelas, apalagi sebagian dari mereka berasal dari pemerintahan sebelumnya yang banyak manipulatif dan korup, saya tetap mengajak kita semua untuk menanam satu biji, walau besok akan kiamat.
Kepedulian kita tetap penting. Sikap positif kita dalam mendukung pemberantasan judi online dan pinjol ilegal, apalagi jika dijalankan secara simultan dan agresif, akan membawa dampak yang besar.
TENTANG PINJOL: LEGAL DAN ILEGAL SAMA BERBAHAYANYA
Memang benar bahwa ada pinjol yang legal dan diizinkan oleh OJK, tetapi jumlah pinjol ilegal jauh lebih banyak dan sama-sama berbahaya. Kenapa? Karena banyaknya pinjol merupakan tanda tiadanya sistem pengamanan ekonomi bagi masyarakat kelas bawah.
Berdasarkan data OJK pada Juni 2024 pinjaman melalui peer-to-peer lending (P2P) tercatat jumlahnya sudah menembus Rp 66,79 triliun. Jika ada sistem pengaman yang baik, istilahnya social security atau yang lebih lengkap disebut sebagai welfare state, maka pinjol tidak akan mengakar di Indonesia.
Ibaratnya, masyarakat kita sebenarnya tidak ingin “dipenggal lehernya” dengan guillotine, tapi kepala itu terpaksa “disorongkan” karena kebutuhan hidup sehari-hari yang mau tak mau memaksa mereka siap sama saja “dipenggal” oleh utang yang tidak mungkin mampu mereka bayar.
Dan untuk membayar tagihan itu, mereka kembali terjerat pinjol di tempat lain. Begitu terus, sampai utang mereka mencapai belasan atau puluhan juta, dan berakhir dengan pilihan tragis, yaitu bunuh diri karena merasa tidak ada jalan keluar. Sangat menyedihkan, sangat tragis.
Model koperasi sebenarnya sangat cocok sebagai solusi yang nasionalis, humanis, prospektif, dan sejati milik bangsa ini. Tapi kenapa sepanjang waktu koperasi terus terlemahkan (baca: dilemahkan) untuk yang akar rumput, tetapi sangat kuat untuk koperasi-koperasi kepegawaian dengan pungutan wajib pada tingkat nasional?
Mungkin jawabannya hanya pada “rumput yang bergoyang.” Andaikan dalam lima tahun ke depan, Kementerian Koperasi mampu menjadikan koperasi tingkat kecil ini sebagai jejaring penyelamat rakyat, menyediakan pinjaman tanpa bunga, dengan pengembalian terstruktur, terawasi, dan tanpa kebocoran, betapa bahagianya rakyat.
Mungkin perlu dibentuk tim ahli yang terdiri dari para teknokrat dan praktisi, kemudian meneliti kenapa selama ini sistem dan insentif koperasi kurang menarik.
Ya, walaupun banyak yang meragukan pemerintah sekarang, saya memilih untuk tetap bersikap positif dan berdoa, agar menteri koperasi berani menggagas langkah revolusioner dengan menjadikan koperasi sebagai pengganti pinjol yang jelas-jelas mencekik leher rakyat dan menghancurkan mental moral anak bangsa secara masif. Iklan-iklan pinjol yang indah dan mudah diakses ini, sebenarnya adalah pintu menuju jurang yang dalam, di dasar jurang itu, telah menunggu ular-ular besar yang siap melumat tulang-tulang mereka yang terjerat.
HARAPAN KEPADA PARA PEMIMPIN
Jika boleh berharap (lagi!), semoga para pemimpin hari ini benar-benar memahami bahwa rakyat sedang mengalami bencana besar. Cobalah hidup tiga hari saja di antara rakyat jelata di negeri kaya raya ini, rasakan bagaimana mereka hidup, makan, dan tidur bersama di tempat mereka, tanpa rekayasa demi konten iklan atau pencitraan blusukan.
Rasakan aroma got-got di sekitar pemukiman kumuh mereka, naik KRL, Transjakarta, dan transportasi umum yang berdesak-desakan, saksikan bagaimana mereka berjuang mati-matian untuk mencari nafkah, kemudian renungkan bagaimana gaya hidup yang dipertontonkan oleh kalangan berada itu menjadi sumber tekanan bagi generasi muda yang ingin menirunya.
Ya, ini soal budaya juga. Memangnya dikira pamer-pamer di TV dan media sosial itu tidak berdampak kepada judi online dan pinjol?
Padahal untuk sekadar biaya makan dan transportasi saja sudah sangat berat.
Syukur bahwa akhirnya ada niat baik dari pemerintah untuk memberantas judi online. Penyakit masyarakat berupa judi dan pinjaman online sudah sampai ke tahap yang sangat akut!
Harus segera ada kebijakan yang benar-benar menyelamatkan kehidupan banyak orang, dan ini hanya bisa dilakukan dengan langkah yang tegas dan konkret.
Seperti di tulisan saya sebelumnya, ini tinggal soal hati. Bukan data, bukan politik, apalagi kepentingan pribadi.
(*penulis adalah aktivis sosial, pendidikan, dan budayawan)