Opini
Oligarki dan Pagar Laut: Akankah Pemerintah Berpihak pada Rakyat?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

DALAM Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI pada Selasa (4/3/2025), Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat telah mengungkap sejumlah nama di balik skandal pagar laut dan sertifikat laut di Perairan Tangerang Utara. Nama-nama yang disebut adalah Ali Hanafiah Lijaya, Mandor Memet, dan Eng Cun alias Gojali. Mereka adalah aktor utama yang memungkinkan terbitnya sertifikat hak atas laut dan berdirinya pagar laut sepanjang 30,16 kilometer. Proyek ini melibatkan 12 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang serta satu kecamatan (Tanara) di Kabupaten Serang.
Mereka bukan pemain tunggal. Ketiganya merupakan pintu penghubung ke Agung Sedayu Group (ASG), korporasi yang menggarap proyek PIK-2 milik Aguan dan Anthony Salim. Dengan kata lain, pagar laut ini bukan hanya sekadar proyek infrastruktur, tetapi cerminan bagaimana oligarki mengangkangi hukum dan merampas ruang hidup rakyat.
Tuntutan Hukum Harus Menyentuh Korporasi, Bukan Sekadar Kambing Hitam
Meski hingga kini pemerintah belum secara resmi membatalkan proyek PIK-2, bahkan Presiden Prabowo Subianto justru mengundang Aguan dan Anthony Salim ke Istana, perjuangan rakyat harus tetap diarahkan pada dua agenda besar:
Menuntut penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Kasus pagar laut dan sertifikat laut harus diusut hingga ke korporasi yang diuntungkan, bukan hanya individu-individu kecil yang dijadikan tumbal.
Agung Sedayu Group (ASG) sebagai pelaksana proyek PIK-2 harus ikut bertanggung jawab.
Jangan sampai hanya Arsin Kades Kohod dan beberapa orang lainnya yang dikorbankan, sementara otak utama dibiarkan bebas.
Mendesak netralitas TNI-Polri dari pengaruh oligarki.
Jika institusi kepolisian dan militer benar-benar bekerja untuk rakyat, maka proyek ilegal seperti pagar laut ini sudah bisa dicegah sejak awal.
Fakta bahwa pagar laut ini bisa berdiri hingga 30,16 km tanpa intervensi aparat menunjukkan adanya kooptasi kekuasaan oleh oligarki terhadap institusi negara.
TNI-Polri dalam Bayang-Bayang Oligarki
Ali Hanafiah Lijaya, yang disebut sebagai orang kepercayaan Aguan, diketahui memiliki hubungan dekat dengan pejabat tinggi Polri dan TNI. Bahkan, laporan yang kami terima menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap rakyat Banten yang menolak melepas tanahnya dikendalikan oleh Ali Hanafiah Lijaya melalui jejaringnya di kepolisian dan militer.
Dokumen yang kami dapatkan menunjukkan kedekatan Ali Hanafiah Lijaya dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo serta Jenderal Purnawirawan TNI Dudung Abdurahman. Publik pun wajar mencurigai bahwa kasus ini sengaja dilokalisasi hanya di Desa Kohod, sementara Ali Hanafiah Lijaya dan ASG tetap tak tersentuh hukum.
Oligarki tidak boleh memiliki kendali atas institusi negara! Tidak boleh ada kendaraan berplat TNI yang dipakai untuk kepentingan pengusaha seperti yang pernah diungkap oleh Tempo. Tidak boleh ada pejabat Polri dan TNI yang berfoto mesra dengan para taipan, sementara rakyat diperlakukan sebagai musuh di tanahnya sendiri.
Presiden Prabowo Harus Bersikap!
Sebagai kepala negara, Presiden Prabowo Subianto harus mengambil tindakan tegas. Institusi negara yang didanai oleh pajak rakyat tidak boleh dijadikan alat untuk melayani kepentingan segelintir elite bisnis. TNI dan Polri harus dikembalikan pada tugas aslinya: menjaga kedaulatan negara dan melindungi rakyat, bukan menjadi alat penjajah bagi oligarki.
Masyarakat harus terus bersuara. Jika kita diam, maka ini hanya akan menjadi preseden bagi oligarki lainnya untuk terus menguasai sumber daya negeri ini tanpa konsekuensi hukum. Rakyat tidak boleh kalah!
Penulis adalah Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat/ TA-MOR PTR
#LawanOligarki #SelamatkanTanahRakyat #HukumJanganTajamKeBawah #ReformasiPolriTNI #BongkarPagarLaut