Opini
Mudik sebagai Ritus Kultural dan Spiritual.

DI NEGERI ini, mudik atau pulang kampung telah menjadi ritus tahunan. Tradisi ini biasa dilakukan tiap menjelang perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri. Ritus ini biasanya dilakukan oleh mereka yang tinggal di kota besar. Makanya tradisi ini disebut mudik (asal kata dari udik yang artinya kampung).
Setelah hijrah mencari nafkah di kota, kaum urban ini biasanya kembali ke kampung halaman, tempat mereka tumbuh dan dibesarkan. Sungkem kepada orangtua menjadi simbol kembalinya mereka kepada akar budaya, tempat mereka pertama kali memperoleh nilai-nilai kebaikan. Oleh karena itu, mau sehebat dan sesukses apapun orang itu, dia pasti akan duduk bersimpuh dan meminta maaf kepada orangtua atas segala kekhilafan yang telah dilakukan. Di hadapan orang tua, semua ego dan kesombongan pun rontok karena kesejatian eksistensi mereka dikenali dan diteguhkan lagi.
Selain bersilaturahmi kepada orang tua dan sanak saudara, mereka, para pemudik ini, juga rindu suasana kekerabatan yang mungkin sulit ditemui di tempat lain. Berbeda dari masyarakat Barat, bagi sebagian besar masyarakat Timur, termasuk Indonesia, rumah tidak semata sebagai sarana tempat tinggal untuk makan dan tidur. Ia memiliki konsep primordial. Ia menjadi rumah budaya bagi suku-suku yang tersebar di ratusan pulau ini. Dengan kembali ke kampung halaman, mereka seolah menemukan kembali peradaban sebagai orang Jawa, Bugis, Batak, Ambon, Sunda, dan sebagainya.
Mudik hendaknya juga jangan dilihat sebagai gejala kultural semata, tapi juga spiritual. Melalui ajang silaturahmi inilah manusia berkesempatan menziarahi kembali ruang batin mereka. Menafsirkan kembali fitrah sebagai makhluk Tuhan. Sejatinya, setiap orang tua tentu tidak mau anaknya menjadi seorang maling atau koruptor. Mereka pasti berharap yang terbaik bagi putra-putrinya. Begitu pun sebaliknya, kita tidak ingin mengecewakan mereka dan berupaya menjadi pribadi yang baik.
Momen Idul Fitri kiranya bisa jadi sarana penyucian atau pemurnian diri. Terlepas setelah itu mereka kembali berbuat dosa atau maksiat, itu perkara lain. Setidaknya, ajang silaturahmi saat Idul Fitri dapat menjadi momentum untuk mengakui dan memohon ampun atas segala bentuk laku buruk kita selama ini. Apalagi, selama Ramadan, manusia telah ditempa untuk menahan berbagai godaan nafsu duniawi dan dititahkan berlomba-lomba melakukan kebaikan. Itu sebabnya mengapa Idul Fitri kerap dimaknai sebagai Hari Kemenangan. Pemenang sejati tentu saja mereka yang mampu menjaga kemurnian hati, bukan semata sampai tibanya Hari Raya tapi juga untuk hari-hari selanjutnya.
Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh menyepelekan ritual ini. Mereka harus terus memfasilitasi warganya yang hendak bersilaturahmi ke kampung halaman dengan menyediakan sarana infrastruktur dan moda transportasi yang memadai. Fenomena ini juga jangan dianggap sebagai beban. Ritus ini mesti dilihat sebagai upacara kolektif ‘penyucian diri’, selain tentunya juga dapat menjadi mesin penggerak roda ekonomi.
Penulis adalah jurnalis senior dan pemerhati budaya