Opini
Misteri Ijazah Jokowi: UGM di Ujung Tanduk, Publik Menuntut Transparansi Total!
Oleh: Ida N.Kusdianti

KETIKA seorang pemimpin tertinggi negeri ini digugat soal keabsahan ijazahnya, itu bukan sekadar persoalan pribadi—ini persoalan moral, etika, dan integritas bangsa! Lebih dari sekali gugatan terhadap ijazah Presiden Joko Widodo digelar di pengadilan, baik di PN maupun PTUN. Namun, semuanya berakhir menggantung, penuh keanehan, dan seperti dikoreografi oleh tangan-tangan tak terlihat.
Ada hakim yang tiba-tiba diganti menjelang putusan. Ada sidang yang digelar secara daring dengan alasan ganjil. Ada pula momen saat hakim seolah "dibedol desa" secara massal, tak lama sebelum palu keadilan diketok. Ini bukan skenario film. Ini adalah kenyataan demokrasi kita yang sedang dipertontonkan secara telanjang.
Rakyat Berhak Tahu, Rakyat Berhak Mempertanyakan
Rakyat tidak meminta hal yang aneh. Mereka hanya ingin diyakinkan bahwa presidennya adalah sosok yang jujur, transparan, dan sah secara hukum serta moral. Bukankah untuk menjadi PNS, anggota DPR, bahkan Ketua OSIS saja, ijazah yang sah adalah syarat mutlak? Mengapa untuk jabatan Presiden, yang memimpin 270 juta jiwa, justru muncul ketidakjelasan yang terus dibiarkan menggantung?
Satu kebohongan—jika benar terjadi—tak akan berhenti di sana. Ia akan menular, menjalar, dan menyeret banyak lembaga ikut berbohong. Dan jika ini benar, maka kita sedang menyaksikan tragedi moral dalam skala nasional.
UGM Harus Bicara Jujur atau Diam untuk Selamanya
Kini, reputasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ikut dipertaruhkan. Bukan sekadar sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai penjaga integritas ilmu pengetahuan dan sejarah bangsa. Dalam pernyataan mengejutkan, UGM melalui Prof. Dr. Markus Priyo Gunarto menyebut bahwa ijazah Jokowi asli, tapi... hilang. Ya, Anda tidak salah baca: hilang.
Ijazah Presiden Republik Indonesia—hilang.
Lebih absurd lagi, disebutkan bahwa dokumen pengganti telah dibuat. Tapi publik tak bodoh. Mana bukti laporan kehilangan? Mana verifikasi forensik terhadap ijazah pengganti itu? Apakah prosedurnya sesuai dengan standar akademik dan hukum?
Damai Hari Lubis, pengamat publik, secara lugas menyebut pernyataan Markus sebagai pembelokan substansi, bukan klarifikasi. Sementara TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) menilai UGM telah gagal menjaga prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Jika UGM tetap memilih bungkam atau menyajikan pernyataan setengah hati, maka bukan hanya reputasi UGM yang hancur, tapi kepercayaan publik terhadap seluruh institusi akademik negeri ini akan runtuh. UGM harus memutuskan: apakah ia lembaga ilmiah, atau hanya panggung drama kekuasaan?
Rakyat Tak Minta Banyak, Hanya Minta Jujur
Yang dituntut rakyat sederhana: tunjukkan ijazah asli, atau akui bahwa tidak ada. Jika memang tidak ada, dan Jokowi jujur mengakuinya, justru simpati akan mengalir. Kejujuran adalah bentuk keberanian tertinggi, dan rakyat Indonesia—di lubuk hati terdalamnya—bisa memaafkan kejujuran. Tapi mereka takkan pernah memaafkan kebohongan sistematis.
Besok, 15 April 2025, kita akan menyaksikan apakah UGM memilih berdiri tegak di atas integritas akademik atau tenggelam dalam kubangan kepentingan politik. Keputusan ini akan tercatat dalam sejarah: apakah UGM berdiri bersama rakyat atau menjadi bagian dari konspirasi diam.
Penutup: Bangkitkan Moral Bangsa!
Negeri ini sudah terlalu lama dibelit benang kusut kebohongan. Anak-anak bangsa butuh teladan, bukan sandiwara. Jika seniornya memberikan contoh buruk, maka jangan salahkan jika generasi mendatang menjadikan tipu daya sebagai budaya.
Kini waktunya UGM dan Jokowi menjawab. Bukan dengan drama, tapi dengan keberanian menghadirkan kebenaran.
Penulis adalah aktifis sosial, politik dan Sekjen Forum Tanah Air
#IjazahJokowi #UGMDipertaruhkan #TransparansiNegara #KrisisIntegritas #DramaPolitikNasional #IjazahPresiden #UGMBersuara #JokowiTransparanDong #IntegritasNasional #HancurnyaMoralBangsa #SkandalIjazah #IndonesiaBeraniJujur #UGMvsKebenaran