Daerah
Keluarga Korban Kanjuruhan Tuntut Ganti Rugi Rp17,5 M
SURABAYA - Tragedi maut di Stadion Kanjuruhan memasuki babak baru. Sebanyak 73 dari total 135 korban meninggal, yang diwakili oleh keluarga mereka, menuntut lima terpidana kasus ini untuk membayar restitusi sebesar Rp17,5 miliar.
Puluhan keluarga korban berkumpul di halaman Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan mengenakan kaus hitam bertuliskan "Justice For Kanjuruhan" dan "Menolak Lupa 1 Oktober 2022." Beberapa kaus juga menampilkan wajah para korban tragedi tersebut.
Daniel Siagian, pendamping hukum dari LBH Pos Malang, menjelaskan permohonan restitusi ini diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas nama 73 keluarga korban. "Permohonan ini diajukan sejak Oktober 2023 oleh LPSK yang mewakili para keluarga korban," ujar Daniel, Kamis (21/11/2024) di PN Surabaya.
Menurut asesmen LPSK, nilai restitusi dihitung berdasarkan kerugian material dan imaterial yang dialami keluarga korban. Lima terpidana yang diminta bertanggung jawab atas pembayaran tersebut adalah:
Abdul Haris, Ketua Panpel Arema FC
Suko Sutrisno, Security Officer pertandingan Arema FC vs Persebaya
AKP Hasdarmawan, mantan Danki 1 Brimob Polda Jatim
AKP Bambang Sidik Achmadi, mantan Kasat Samapta Polres Malang
Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Kabag Ops Polres Malang
Restitusi yang Tertunda
Permohonan restitusi sebenarnya telah diajukan sejak Februari 2023, saat proses pidana terkait tragedi ini masih berlangsung di PN Surabaya. Namun, jaksa penuntut umum tidak mencantumkan tuntutan restitusi dalam dakwaan terhadap lima terpidana. Setelah putusan kasus ini berkekuatan hukum tetap (inkrah), Mahkamah Agung memerintahkan agar permohonan restitusi tersebut disidangkan di PN Surabaya.
Jauhar Kurniawan, pengacara publik dari LBH Surabaya, menekankan bahwa restitusi adalah upaya hukum resmi untuk meminta pertanggungjawaban para terpidana, berbeda dengan santunan di luar proses hukum. "Restitusi ini adalah bentuk kompensasi yang diminta melalui jalur hukum," jelasnya.
Tuntut Penembak Gas Air Mata
Rizal Putra Pratama, salah satu keluarga korban asal Tumpang, Malang, menyatakan ia belum merasakan keadilan meski telah berjuang selama dua tahun terakhir. Rizal kehilangan ayahnya, Muhammad Arifin, serta dua adiknya, Muhammad Rizky Aditya Arifianto dan Cahaya Maida Salsabila, dalam tragedi tersebut.
"Saya juga berada di stadion dan merasakan tembakan gas air mata. Kami yang duduk di tribun tidak tahu apa-apa, tetapi justru ditembak gas air mata. Seharusnya yang di lapanganlah yang diamankan," ujar Rizal.
Ia berharap agar para pelaku penembakan gas air mata serta aktor intelektual di balik tragedi ini dapat dihukum seberat-beratnya. "Kami hanya menginginkan keadilan dan hukuman maksimal untuk mereka yang bertanggung jawab," pungkasnya. (dan)