Laporan Khusus
Tagar yang Membalikkan Arah
Catatan Analisa Data Medsos oleh Agus M Maksum

DPR sedang kuat. Isu pemakzulan Gibran mulai diproses serius. Ruang sidang panas, publik menunggu. Tapi tiba-tiba arah berubah. Di media sosial, muncul serangan balik: #BubarkanDPR. Bukan lagi istana yang jadi sorotan, melainkan DPR sendiri yang diseret ke meja gugatan publik.
Benihnya sederhana: isu tunjangan rumah Rp50 juta. Lalu akun anonim menyalakan api. TikTok menggandakan nyala itu: @wahyu_sibua_19, @hendrixfendi. Video pendek, satir, gampang viral. Twitter menyalakan mesin mobilisasi: @Heraloebss dengan thread panjang ajakan aksi. Facebook menambah bahan bakar, menyebarkan daftar tuntutan. Instagram aktivis memperkuat dengan legitimasi moral.
Dan bola salju itu bergulir. Pada 25 Agustus, massa turun ke jalan. Bukan hanya Jakarta, tapi juga Palembang, Medan, kota-kota besar lain. Polisi bertahan, gas air mata beterbangan. Api menyala. Kota terbakar. Nama Affan muncul, sebagai korban jiwa.
Inilah ironi zaman digital. DPR sedang sibuk memproses aspirasi rakyat, justru diserang dengan tagar yang melemahkan legitimasinya. Narasi digital berhasil membelokkan arah: publik yang seharusnya fokus ke pemakzulan Gibran, malah marah ke DPR.
Tagar bukan lagi sekadar mainan. Ia bisa jadi peluru politik. Bisa mengubah lawan jadi korban. Bisa memindahkan kemarahan rakyat dari satu target ke target lain.
Akhirnya, yang tumbang bukan hanya narasi DPR, tapi juga rakyat sendiri. Affan jadi simbol, bahwa pertarungan elite di layar ponsel bisa berakhir dengan darah di jalanan. (penulis adalah ahli teknologi informasi)