Nasional

BW: KPK Berhak Tangani Anggota TNI di Non Pemerintahan

Redaksi — Satu Indonesia
30 Juli 2023 18:14
BW: KPK Berhak Tangani Anggota TNI di Non Pemerintahan
KPK BERHAK - Bambang Widjojanto

JAKARTA - Bambang Widjojanto, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat, KPK berhak menangani dan menetapkan status tersangka terhadap anggota TNI yang bertugas di lembaga non pemerintahan seperti Basarnas. Sikap pimpinan KPK yang menyalahkan penyelidik sehingga kemudian menyerahkan kasus ini ke TNI, adalah sikap yang sangat disesalkan. Ia pun minta agar pimpinan KPK diberhentikan. 

"Lembaga Basarnas adalah Lembaga non pemerintahan, bukan Lembaga militer. Siapapun kepalanya (TNI maupun sipil), adalah pimpinan non pemerintahan. Dia adalah penyelenggara pemerintahan dan bukan komandan dari suatu institusi militer," kata Bambang Widjojanto (BW) kepada satuindonesia.co, Minggu (30/7/2023)

BW menjelaskan mengenai dasar argumennya sebagaimana UU Nomor 19 Tahun 2014 yang menyebutkan, 'Basarnas adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan sesuai UU No. 29 Tahun 2014 Tentang Pencarian dan Pertolongan'.

Pada Pasal 5 dinyatakan dengan sangat jelas, negara bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pencarian dan pertolongan dimana pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Basarnas sesuai Pasal 1 angka 7 UU di atas.

Selain itu, tambah BW, ada hal penting lainnya di pasal 11 ayat (1) huruf a yang dengan tegas bahwa KPK mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tipikor yang melibatkan  penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat atau penyelenggara negara.

“Jadi jelas di situ disebutkan kewenangan KPK, bisa menangani kasus Basarnas yang melibatkan anggota TNI,” tegas BW. 

BW juga mengutip isi Pasal 42 UU KPK tentang kewenangan KPK untuk mengkoordinasikan, mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Dugaan tindak kejahatan yang dilakukan Kepala Basarnas adalah tindak korupsi yang dilakukan penyelenggara negara, bukan komandan militer di institusi kemiliteran. Serta seandainya, pelaku masih aktif di militer tapi kejahatan dilakukan bersama dengan pihak yang tidak tunduk pada peradilan militer, KPK tetap dapat otoritas untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan proses pemeriksaan atas kejahatan dimaksud," papar BW.

Atas argumen tersebut, BW menilai pimpinan KPK layak diminta mundur atau diberhentikan. Dia menilai ada kesalahan fatal yang dilakukan pimpinan KPK.

"Berpijak pada beberapa alasan di atas, Pimpinan KPK harus dinyatakan melakukan kesalahan fatal dan pelanggaran berat atas etik dan perilaku sehingga kehilangan kepantasan untuk menjadi pimpinan KPK dan sangat layak diminta untuk mengundurkan diri atau diberhentikan," tegas BW.

BW menyoroti pernyataan pimpinan KPK, Yohanis Tanak, yang melimpahkan kesalahan OTT Basarnas kepada penyelidik. Menurut BW, pernyataan Tanak itu keliru.

"Pernyataan pimpinan KPK, Yohanis Tanak, bahwa OTT dan penetapan tersangka Ketua Basarnas dengan menyatakan adanya kekhilafan dan kelupaan dengan menuding kesalahan ada pada tim penyelidik adalah keliru, naif, konyol, absurd, dan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat. Begitupun ketika kasus OTT itu dinyatakan, diserahkan pada TNI, bukan KPK yang menangani," kata BW.

BW menilai ada kesalahan sangat fatal dan mendasar dari pimpinan KPK atas pemahaman mengenai Basarnas serta tugas dan kewajibannya. Tindakan pimpinan KPK juga dapat dinilai melanggar prinsip akuntabilitas dan mengindikasikan terbatasnya kompetensi. 

Sehingga, menurut BW, hal itu dapat dikualifikasi sebagai suatu perbuatan tercela dan dimintai pertanggungjawaban karena telah melempar kesalahan pada bawahan dengan memberikan hukuman pada penyelidik KPK.

"Pimpinan KPK harus mencabut kembali pernyataannya dan memeriksa kembali kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK. Panglima ABRI diminta menolak menerima pelimpahan kasus serta tidak melakukan tindakan yang justru dapat dinilai sebagai perbuatan yang melindungi kejahatan korupsi. Institusi ABRI selama ini sudah dipersepsi publik dengan sangat baik sehingga harus terus menjaga martabat dan kewibawaan," ujar BW.

Dikatakan, tindakan Pimpinan KPK seperti diuraikannya, dijadikan dasar untuk menghukum Pimpinan KPK agar mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Presiden RI melalui pemeriksaan awal yang dilakukan Dewan Pengawas KPK, melibatkan informal leader yang integritasnya tidak diragukan lagi," tegas BW.

POLEMIK STATUS TERSANGKA

Dalam OTT di Basarnas, ada lima orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Kelima tersangka itu terdiri atas tiga pihak swasta selaku pemberi suap dan dua oknum TNI masing-masing Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto selaku penerima suap.

Pengumuman tersangka kepada dua anggota TNI itu direspons pihak Puspom TNI. Mereka keberatan atas langkah yang dilakukan KPK.

Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko mengatakan, penetapan tersangka KPK dalam hal ini keliru. Sebab, lanjut dia, penetapan tersangka hanya bisa dilakukan oleh Puspom TNI karena statusnya masih perwira aktif.

"Penyelidik itu kalau polisi, nggak semua polisi bisa. Hanya penyelidik polisi. KPK juga begitu, nggak semua pegawai KPK bisa, hanya penyelidik. Di militer juga begitu, sama. Nah, untuk militer, yang bisa menetapkan tersangka itu ya penyelidiknya militer, dalam hal ini Polisi Militer," jelasnya.

Dari sini polemik OTT di Basarnas dimulai. Rombongan TNI dipimpin Marsda Agung lalu menyambangi gedung KPK pada Jumat (28/7/2023) sore untuk menanyakan bukti hingga penetapan Kabasarnas sebagai tersangka.

Setelah melakukan audiensi, KPK diwakili Wakil Ketua KPK Johanis Tanak didampingi petinggi TNI memberikan keterangan mengenai hasil audiensi. Johanis Tanak lalu menyampaikan permohonan maaf kepada TNI terkait penanganan kasus korupsi di Basarnas.

"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan bahwasanya mana kala ada melibatkan TNI, harus diserahkan kepada TNI, bukan kita, bukan KPK yang tangani," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam jumpa pers di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (28/7).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata buka suara soal kisruh OTT dugaan suap di Basarnas. Alexander menyatakan tidak pernah menyalahkan penyelidik atas polemik yang telah terjadi di kasus tersebut.

"Saya tidak menyalahkan penyelidik/penyelidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya," kata Alexander dalam keterangan kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).

Alexander juga menjadi pimpinan KPK yang mengumumkan kelima tersangka tersebut dalam konferensi pers yang digelar KPK pada Rabu (26/7). Dia menyatakan penetapan tersangka itu telah memenuhi kecukupan alat bukti.

Menurut Alexander, pihak TNI nantinya secara administratif akan menerbitkan surat perintah penyelidikan (sprindik) untuk menetapkan Kabasarnas dan Koorsmin sebagai tersangka.

"Secara substansi/materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Secara administratif nanti TNI yang menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK," ujar Alexander.

"Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," ujar Alexander mencoba meluruskan. (sa)


Berita Lainnya