Opini
Analisa di Balik Genosida oleh Israel: Geostrategi dan Geopolitik
SETELAH gencatan senjata yang dimediasi Qatar dan Mesir berakhir, Israel kembali melakukan pengeboman di wilayah Gaza. Gencatan senjata yang diharapkan bisa permanen, ternyata dimanfaatkan oleh Israel sebagai reposisi untuk memperluas operasi militernya di Gaza hingga ke sebelah selatan kota Khan Younis.
Sebulan lebih peperangan dengan Hamas, Israel telah menjatuhkan lebih dari 18.000 ton bom, melakukan penyerangan membabi buta, menghancurkan rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, kamp pengungsian, dan pemukiman sipil.
Kekejaman Israel menewaskan kurang dari 18.000 warga Palestina, dimana 83% adalah warga sipil, dan lebih dari separohnya adalah anak-anak, balita dan wanita (data Komisi Hak Asasi Manusia - EuroMed).
Dunia disuguhi pemandangan yang mengerikan dari mayat bayi dan anak-anak maupun yang terluka. Gelombang protes mengutuk kebrutalan ini, tidak hanya datang dari negara muslim, tetapi tersebar di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang - negara-negara supporter Israel.
Bahkan Craig Mokhiber, direktur Hak Asasi Manusia PBB mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai ungkapan kemarahannya, dengan mengatakan ini adalah kasus genosida.
'Erase Gaza' dengan retorika genosida menjadi wacana mainstream di Israel. Dimulai dari pidato PM Netanyahu di Majelis Umum PBB pada 22 September yang menunjukkan peta ‘Timur Tengah Baru’ tanpa Palestina. Peta ini digunakan untuk memperkenalkan jalur ekonomi baru sebagai bagian dari program normalisasi berdasarkan Abraham Accord, yang menghubungkan India, UEA, Arab Saudi, Yordania, Mesir, dan Israel dengan Eropa.
Koridor ekonomi ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas regional sekaligus menghentikan ambisi ‘One Belt One Road’ China. Untuk itu, genosida dan pemindahan penduduk Palestina ke Sinai menjadi sebuah keniscayaan, sebagaimana tertuang pada dokumen yang bocor dari kementerian intelijen Israel.
Pernyataan senada datang dari Avi Dichter, Menteri Pertanian yang mengatakan,“Kami sekarang sebenarnya meluncurkan Nakba Gaza.”
Sementara Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant pun menegaskan bahwa bahwa operasi militer ini untuk ‘menghilangkan segalanya’. Lebih lanjut, AS juga telah meminta Mesir untuk mengijinkan pemindahan warga Palestina ke Sinai, dengan imbalan penghapusan utang nasionalnya.
Nakba merujuk peristiwa pembantaian dan ethnic cleansing penduduk Palestina yang dilakukan zionist tahun 1948. Peristiwa ini memakan korban lebih dari 15.000 jiwa, serta 750.000 (80%) warga Palestina terusir dari tanah airnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa genosida Israel dari sudut pandang ekonomi -geostrategis dan geopolitik.
Rusia
Ketika berbicara tentang energi, sesungguhnya berbicara tentang elemen penting dari geostrategis dan geopolitik. Setelah cadangan minyak dunia menipis, gas alam (LNG) memiliki daya tawar politik dan ekonomi yang berpengaruh pada keamanan regional.
AS sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia, melihat ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia menjadi ancaman serius bagi kepentingan regional. Rusia pemasok 40% kebutuhan gas Eropa. Karenanya, perang Ukraina selain memperluas dominasi NATO, utamanya adalah untuk mengendalikan dan memutuskan pasokan gas Rusia ke Eropa.
Walaupun pada akhirnya NATO gagal mengalahkan Rusia, namun sanksi yang dikenakan pada Rusia berupa pelarangan suplai gas ke Eropa, dan penghancuran Nord Stream 1 dan 2, jaringan gas utama Rusia-Jerman, telah menyebabkan krisis energi di Eropa.
Jerman berhasil dipisahkan dari Rusia. Uni Eropa (EU) pun bertekad mencari alternatif sumber gas baru demi mengurangi ketergantungan pada Rusia. Pada titik ini, strategi kebijakan luar negerinya AS dianggap berhasil.
Iran
Iran memiliki sejarah panjang menjadi ancaman bagi kepentingan AS, baik dari sisi ideologi maupun kekayaan sumber alamnya. Iran memiliki cadangan gas kedua terbesar di dunia. Ketika Iran mengumumkan nuklir programnya tahun 2015, Iran sesungguhnya telah mematuhi semua point yang diajukan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Namun AS tetap menjatuhkan sanksi untuk mencegah Iran mengekspor LNG-nya, termasuk ke Eropa.
Krisis energi di Eropa memberikan peluang bagi Israel menggantikan posisi Rusia melalui penandatangan kesepakatan gas Israel-EU tahun 2022. Israel kemudian melakukan kerjasama energi dengan AS, dimana AS akan membantu Israel dalam pengembangan sumber daya alam, menjaga kepentingan regional, serta menjamin masalah keselamatan dan keamanan Israel.
Ladang Gas Palestina
Wilayah pendudukan Palestina terletak di atas cadangan minyak dan gas alam yang besar, membentang dari Tepi Barat sampai pantai Mediterania, Gaza. Diawali ketika British Gas Group (BGG) tahun 1999 menemukan ladang gas dengan cadangan mencapai 1,4 triliun kaki kubik.
Berdasarkan Perjanjian Oslo II (1995), 60% persen dari cadangan tersebut adalah milik Palestina melalui pengakuan yurisdiksi maritim kepada Otoritas Palestina (PA) atas perairannya hingga 20 mil laut dari pantai. PA kemudian menandatangani kontrak eksplorasi gas selama 25 tahun dengan BGG.
PM Ehud Barak, memberikan otorisasi keamanan kepada BGG untuk mengebor sumur pertama, Marine I, sebagai bagian dari pengakuan politik Israel, bahwa sumur tersebut berada di bawah yurisdiksi PA.
Namun sejak invasi 2008, Israel menguasai seluruh wilayah darat, laut dan udara Palestina, menjadikan sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.
Israel kemudian membatalkan kontrak antara BGG-PA 1999, sementara ladang gas Palestina sepenuhnya berada di bawah kendali Israel. Sejak itu BGG hanya berurusan dengan pemerintah Israel.
Pada tahun 2010, ditemukan ladang raksasa di cekungan Leviathan, yang terletak sepanjang pantai Palestina, Lebanon dan Suriah. Cadangan gas diperkirakan mencapai 22 triliun kaki kubik, bernilai US$524 miliar. Namun menurut laporan PBB 2019, Israel tidak memiliki hak tunggal atas ladang gas tersebut dan harus dibagikan kepada semua pihak terkait.
AS dan Israel berusaha menguasai ladang gas tersebut untuk mempertahankan hegemoni ekonomi dan politiknya. Karenanya, Israel beberapa kali melakukan pengeboman di Pelabuhan Latakia-Suriah untuk melumpuhkan aktivitas maritim dan menghambat eksplorasi gas.
Di sisi lain, AS juga menguasai seluruh ladang minyak Suriah. Pelabuhan Beirut pun tiba-tiba meledak secara misterius tahun 2020. Praktis, tinggallah pelabuhan Haifa yang beroperasi, dan Israel sekarang menguasai seluruh jalur distribusi gas. Dalam kurun 20 tahun, Israel ingin mewujudkan mimpinya, bertransformasi, menjadi negara pengekspor minyak dan gas dunia.
Untuk bisa memenuhi kebutuhan gas Eropa 2024, Israel mengalokasikan kelebihan produksi di ladang gas Karish di timur Mediterania yang beroperasi sejak September 2022. Sisanya dijadwalkan dari ladang gas Leviathan di wilayah Gaza yang sedang dalam pembangunan transportasi infrastrukturnya.
Netanyahu menegaskan, kerjasama ini sebagai proyek terbesar dalam sejarah Israel. Israel berkejaran dengan waktu untuk bisa memenuhi janjinya, karenanya Gaza harus segera dibersihkan, dan kedaulatan atas ladang Gaza menjadi sangat urgent.
Ini dibuktikan dengan pemberian 12 ijin eksplorasi gas kepada enam perusahaan pada tanggal 29 Oktober 2023, di tengah pembantaian rakyat Palestina sedang berlangsung.
Inilah yang sesungguhnya alasan utama genosida terhadap Palestina harus dilakukan. Ini menyangkut persoalan penguasaan atas multibillion dollar cadangan gas, menyangkut persoalan hegemoni ekonomi dan politik.
Bahkan, kelompok radikal di kabinet Netanyahu menginginkan ‘doktrin Nakba’ diperluas sampai Lebanon Selatan, yaitu sampai sungai Litani (sumber mata air utama Lebanon). Setelah Hamas dilenyapkan, maka target IOF selanjutnya adalah melumpuhkan Hizbullah.
Untuk pengamanan distribusi gas ke Eropa, maka pada KTT G20 di New Delhi diperkenalkan Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa (IMEC). AS berharap IMEC menjadi jalur konektivitas antara Asia, Afrika dan Eropa, menghadang hegemoni BRICS yang makin menguat.
Jalur perdagangan ini akan melewati India, UAE, Saudi Arabia, Yordania, Mesir, Israel, Greece dan Eropa. Dalam konteks inilah, normalisasi Israel dan Arab Saudi menjadi sangat vital, karena diharapkan akan diikuti negara muslim yang lain seperti Indonesia.
Mengetahui rencana Israel tentang ‘the New Middle East’ berikut rencana normalisasi dengan Saudi Arabia, maka tidak ada pilihan bagi Hamas kecuali melawan. Karena ini menyangkut eksistensi Palestina yang akan hilang selamanya, bila tidak bergerak sekarang. (penulis adalah peneliti di Qatar University, tinggal di Doha, Qatar/perwakilan satuindonesia.co di Doha)