Opini
Siapa yang Antek Asing?
Oleh: Tata Kesantra*
NEW YORK - Saya dapat pesan pendek melalui WA dari sahabat dan teman diskusi, wartawan senior Hersubeno Arif, pada Jumat malam sekitar pukul 21.00 waktu New York. Katanya "wuihh ada apa nih kok Anda jadi trending nomor 2 di X (twitter) dalam beberapa jam terakhir?". Saya cukup kaget karena saya tidak punya akun di X dan lebih kaget lagi karena saya jadi trending karena di anggap sebagai antek asing, anti-Pancasila dan provokator.
Saya bertanya tanya agenda apalagi ya? Pengalihan issu? Tapi masak iya. Ini pasti kerjaan buzzer yang buat heboh agar dana mereka bisa dicairkan. Sejak pembubaran acara Silaturahmi Kebangsaan FTA di Hotel Grandkemang pada September lalu, memang nama saya dan FTA kerap dikait kaitkan sebagai antek-antek asing/antek Amerika dan punya agenda mengekspor demokrasi liberal ke Indonesia.
Apa yang jadi dasar pemikiran semua label-label tersebut? Apakah karena saya sebagai diaspora yang sudah cukup lama menetap di New York sehingga dianggap tidak punya lagi rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tanah air sehingga dilabel sebagai antek asing? Ataukah FTA yang hampir lima tahun belakangan ini banyak mengkritisi penguasa, dan kebetulan saya adalah pendiri dan ketua umumnya, dianggap mengganggu kepentingan orang-orang tertentu?
Apa pun alasannya, saya pastikan pihak-pihak yang membuat tuduhan terhadap saya sebagai diaspora lupa akan sejarah perjuangan serta peran mahasiswa dan warga Indonesia yang hidup di luar negeri. Baik itu sebelum kemerdekaan, maupun setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Artinya kita tidak bisa mengecilkan peran para diaspora dalam perjuangan meraih dan mengisi kemerdekaan.
Bagaimana perjuangan diaspora pelajar di Mesir yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Raya di bawah pimpinan Prof. Abdulkahar Muzakkir. Mereka berjuang dengan menulis pada majalah-majalah, seperti Seruan Al-Azhar, Pilihan Timur, Merdeka, dan Usaha Pemuda. Karena terlihat membangkitkan semangat perlawanan berlebih, maka Belanda dan Inggris sebagai negeri yang berkuasa pun melarang peredarannya di Indonesia.
Demikian juga dengan Persatuan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) di Mesir yang mengutus ketuanya Janan Thaib ke Belanda untuk menemui Ketua Perhimpunan Indonesia Mohammad Hatta dalam rangka koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri. Selain Hatta, pemuda yang tampil dalam organisasi Perhimpunan Indonesia tersebut antara lain adalah Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Sukiman Wirjosandjojo. Merekalah yang kelak memimpin jalannya laju negara Indonesia selepas merdeka.
Hal ini menunjukkan perjuangan diaspora para pelajar Indonesia sudah bersatu meski terbentang jarak ribuan kilometer dan tinggal jauh dari tanah air. Bahwa sebagai anak bangsa yang ingin melihat kehidupan saudara-saudaranya di tanah air menjadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil. Maka, sebagai wujud kepedulian dan menunjukkan rasa kebersamaan dari diaspora terhadap situasi dan kondisi di tanah air adalah mengangkat isu dan permasalahan yang dihadapi oleh saudara saudaranya ke forum internasional.
Perjuangan dan suara warga negara Indonesia di luar negeri atau lebih dikenal dengan sebutan diaspora, yang sekalipun hidupnya jauh dan taraf sosial ekonomi di atas rata rata saudara saudaranya di tanah air, masih memberi perhatian dan konsen dengan keadaan di tanah air. Mestinya itu dilihat sebagai hal yang positif dari dalam negeri, bukannya malah di cibir dan dilabel sebagai antek-antek asing.
Demikian halnya dengan keberadaan Forum Tanah Air. Suatu forum diskusi aktivis diaspora bersama aktivis di tanah air mesti dilihat sebagai salah satu wadah perjuangan untuk menyuarakan keadaan di tanah air. Serta, untuk mencari solusi dari situasi dan kondisi yang terjadi dengan memberi ide, gagasan dan pikiran alternatif yang di perlukan guna lebih memaksimalkan upaya-upaya perbaikannya.
Selama sekitar tiga tahun sejak lahirnya di bulan Februari 2020, FTA telah melakukan dialog dan diskusi dengan berbagai pihak. Baik dengan tokoh, pakar, akademisi, praktisi, politisi dan juga aktivis untuk memetakan permasalahan di tanah air yang dirasa perlu untuk diperbaiki. Akhirnya pada awal 2023, FTA mengeluarkan Manifesto Politik yang berisi 10 tuntutan yang perlu mendapat perhatian untuk dibenahi demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur di semua strata sosial.
Bukan suatu kebetulan bila beberapa waktu belakangan ini, tuntutan-tuntutan dalam Manifesto Politik mulai mendapat perhatian dari elite dan lembaga terkait di tanah air. Beberapa di antaranya adalah soal ambang batas 20% untuk pencalonan kepala daerah.
Ambang batas pencalonan kepala daerah yang tadinya perlu dukungan minimal 20% dari kursi partai politik atau koalisi partai politik akhirnya diturunkan berkisar pada 6.5% hingga 10%, disesuaikan dengan jumlah penduduk di masing masing daerah tersebut. Para pengamat dan ahli hukum tata negara melihat perubahan ambang batas untuk kepala daerah bisa membuka jalan bagi penghapusan atau setidaknya penurunan ambang batas pencalonan presiden (PT 20%) yang sejauh ini sudah dimintakan judicial review ke MK oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk FTA, namun ditolak oleh hakim MK. PT 20% memberi peluang bagi partai-partai politik untuk bermain di antara mereka dan menjadi pintu masuk politik uang dari oligarki.
Tuntutan lainnya adalah memisahkan Polri dari presiden, yang berpotensi penguasa di eksekutif (presiden) berpeluang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan polisi. Melalui Perpres No139 Tahun 2024, Polri tidak lagi berada di bawah presiden dan kedudukannya sejajar dengan TNI.
Tuntutan untuk merevisi UU MD3 khususnya tentang hak PAW (Pergantian Antar Waktu) bagi anggota DPR oleh partai politik. Wacana untuk merevisi UU MD3 sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional DPR. Sekalipun, belum jelas urgensi dan ketentuan apa dalam undang undang tersebut yang akan diubah.
Mengembalikan naskah UUD 1945 asli yang merupakan hasil kompromi para pendiri bangsa dari hasil empat kali amandemen. Sehingga hasil karya, cita cita, tujuan dan kesepakatan para pendiri bangsa tetap lestari. Adapun hal-hal yang belum diatur dalam UUD 1945 yang asli akan dibuatkan dalam bentuk amandemen/adendum yang disesuaikan dengan kebutuhan serta situasi dan kondisi bangsa dan negara selama tidak menyimpang dari naskah asli UUD 1945.
Sejauh ini upaya tokoh dan aktivis untuk kembali ke UUD 1945 menemui kesulitan. Karena, gerakan kembali ke UUD 1945 masih berjalan sendiri-sendiri. Belakangan para tokoh dan aktivis sepakat untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan pandangan dan bersama-sama, bersatu padu memperjuangkan gerakan kembali ke UUD 1945. Para tokoh dan aktivis bersepakat untuk membuat kelompok kerja (pokja) untuk mempercepat realisasi kembali ke UUD 1945. FTA ikut aktif mengambil bagian dalam pokja tersebut. Saya sendiri masuk sebagai salah satu dari dewan penasihat.
Mungkin terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa adanya beberapa perubahan dan upaya memperbaiki situasi dan kondisi bangsa adalah buah dari hasil tuntutan FTA dalam Manifesto Politik. Namun satu hal yang tidak bisa di nafikan serta dipungkiri bahwa upaya dan perubahan sistem untuk memperbaiki situasi dan kondisi bangsa sudah di suarakan dan tertuang dalam Manifesto Politik FTA yang di luncurkan di awal 2023.
Dengan demikian bila ada pihak yang melabeli saya dan/atau FTA kelak, maka wajib ditanyakan kepada mereka sejauh mana mereka tahu tentang FTA dan perjuangannya selama ini. Apakah mereka sudah pernah membaca dengan seksama Manifesto Politik FTA? Jangan-jangan merekalah yang antek-antek asing.
Salam perjuangan dari New York. (*Ketua Umum FTA)