Nasional

Sederet Pertanda Buruk di Balik Harga Emas Meroket dan Rupiah Anjlok

Dani Tri Wahyudi — Satu Indonesia
13 April 2024 07:29
Sederet Pertanda Buruk di Balik Harga Emas Meroket dan Rupiah Anjlok
Ichsanuddin Noorsy

JAKARTA - Harga logam mulia emas produksi Antam saat ini mencapai rekor tertingginya. Pada Jumat (12/4/2024) harga emas kembali naik sebesar Rp18.000 per gram, hingga melonjak ke angka Rp1.324.000 per gram.

Sedangkan sebelumnya, harga emas batangan berada di posisi Rp1.306.000 per gram pada Selasa (9/4/2024). Harga jual kembali (buyback) emas batangan pada Jumat, yakni sebesar Rp1.215.000 per gram.

Sementara itu nilai tukar rupiah kian tertekan dolar Amerika Serikat (AS) hingga level Rp16.000 per dolar Amerika Serika. Bahkan selama sepekan ini, rupiah sudah melemah 0,88% dan selama sebulan hampir 3%. Padahal pada 1 Januari 2024, rupiah masih berada di level Rp15.400. Sehingga kenaikan sampai saat ini secara year to date (ytd) sebesar 4,14%.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menganalisis secara global kenaikan harga logam dan anjloknya nilai tukar rupiah tersebut. ”Yang tanya pertanda apa dengan naiknya harga logam mulia dan melemahnya rupiah, buanyak banget,” ungkap Ichsanuddin, Sabtu (13/4/2024)

Menurut Ichsanuddin naiknya harga logam mulia karena sederet faktor geopolitik sebagai berikut.

1. Perang dagang AS dengan RRC berlanjut, termasuk perang nilai tukar dan perang ICT (Information and Communications Technology.

2. Permintaan pangan dan energi tetap tinggi di tengah mata rantai pasokan terganggu. Ini karena perang Ukraina (NATO) vs Rusia dan resesi di Uni Eropa. Juga perang Hamas vs Israel yangg berdampak pada jalur pasokan di Laut Merah.

3. Fedrate bertahan hingga akhir tahun yang berarti inflasi tinggi terus berlanjut.

4. BRICS diminati 5 negara di Asia (perang nilai tukar dan sistem pembayaran).

5. Rusia bersiap perang nuklir.

Dengan penyebab geopoltik itu, maka naiknya logam mulia dan melemahnya rupiah merupakan pertanda:

1. Fundamental makro Indonesia rapuh.

2. Permintaan barang impor (untuk barang publik) oleh Indonesia tetap tinggi di tengah pasokan terganggu.

3. Indonesia lebih banyak membutuhkan dolar AS pdhal dolar AS dihasilkan melalui ekspor yang pasarnya terganggu karena situasi disrupsi terus berlangsung.

4. Maka, ULN (utang luar negeri) naik.

5. Intervensi BI gagal karena rupiah tetap melemah.

6. Masuknya Indonesia ke OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) tidak menolong karena memang fundamental makro yang lemah.

7. Harga umum (pangan dan energi) akan naik.

8. Pajak naik.

9. Suku bunga naik, perkreditan menurun.

10. Ketimpangan naik, paling tidak stagnan

11. Pengangguran naik

12. Kemiskinan naik.

13. Biaya pendidikan dan kesehatan makin mahal.

14. Transportasi naik.

15. Situasi politik akan kisruh.

”Jika situasi abnormal selalu berulang  terus menerus dalam lima tahun, maka yang abnormal itu menjadi normal. Padahal tidak normal. Untuk Indonesia itu terlihat pada nilai tukar, tidak stabilnya harga barang dan jasa publik (public goods n public services), timpangnya pendapatan, sektoral dan regional, mahalnya biaya investasi,” cetus Ichsanuddin. (dan)


Berita Lainnya