Opini
Politik Emosi yang Harus Diakhiri
MEMAINKAN emosi dan terus berkubang dalam polarisasi serta keterbelahan merupakan teknik untuk memainkan politik di Indonesia. Kehidupan bernegara yang harusnya sudah dewasa, malah menurun, bak anak sekolah yang hobinya tawuran.
Demokrasi seperti ini memang akan memangkas biaya operasional partai. Karena jika emosi yang sudah dimainkan, maka memobilisasi massa untuk show force (unjuk kekuatan) di lapangan menjadi sangat mudah. Terjunkan pasukan-pasukan siber yang membuat potongan-potongan video yang iramanya menuju salah satu paslon. Irama mem-bully, memutar balikkan fakta maupun membuat seolah menjadi blunder opininya.
Mereka membuat grup-grup chat, menerjunkan influencer kecil sampai besar untuk ikut menjadi bagian dari permainan emosi yang sudah dua kali pemilu dimainkan. Ada influencer yang entah apa kapasitasnya, sehingga bisa mengomentari berita maupun opini yang beredar dengan membawa temuan-temuan dari berita lain, tanpa ada konfirmasi dari dua belah pihak, langsung saja membuat video serangan dan dengan amunisi pas-pasan. Seolah terlihat sangat mumpuni untuk mengomentari sepihak karena membela paslonnya.
Atas dasar kesamaan emosi maka netizen pun ikut menyebarkan video ataupun tulisan yang terkadang kita tidak tahu apa latar belakang dan siapa yang menulisnya. Perilaku media sosial seperti ini mencerminkan bahwa masih banyak pengguna telepon pintar namun belum pintar. Karena masih terus ke-gocek dengan berita hoaks dan belum sadar, emosinya dipermainkan dengan debat kusir di medsos, maupun termakan berita hoaks dan opini yang menyesatkan.
Tujuannya cuma satu, memainkan emosional rakyat agar terus bergulir polarisasi dan keterbelahan bangsa ini. Dari isu primordial, agama, klenik, sampai “cocokologi” pun dimainkan.
Politik harus punya identitas. Tapi jika identitas ini dimainkan secara berlebihan akan menimbulkan kultus bahwa paslon yang dia dukung itulah yang paling benar. Yang jika dihina maka paslon akan dibela sampai harus istri bercerai dengan suami, keluarga bisa putus tali silaturahmi. Pertemanan pun menjadi permusuhan, bahkan yang paling berani adalah sampai menganggap beda pilihan berarti beda keimanan.
Tidak bisakah kita berpolitik rasional yang memang benar-benar memilih tanpa pengaruh emosi, tapi benar-benar kita independen dalam memilih tanpa harus diprovokasi atau karena cinta berlebihan sampai harus saling caci?
Pilihlah paslon yang jelas semua karyanya, apa latar belakangnya, siapa partai pendukungnya apakah partai pendukungnya selalu memegang rekor korupsi atau tidak dan semua yang sekiranya memang cocok bagi kita maupun bagi rakyat Indonesia.
Jika sudah menemukan, kan tinggal mencoblos. Kalau kita memang punya pandangan harus mengajak, ya tinggal ajak orang lain tanpa mengejek. Jika tidak mau diajak karena beda pilihan dan pandangan, ya jangan berdebat kusir. Tinggal tunggu hasil. Jika ada kecurangan, ikuti mekanisme pengaduan. Jika ingin bermain dengan hak angket, tinggal dorong anggota dewan yang memiliki kewenangan untuk melakukan itu.
Masyarakat bisa membangun opini dengan membuat petisi online. Para ahli bisa memberikan opini di media massa. Para pemuka agama bisa ikut menyejukkan. Pro dan kontra bisa dibuatkan forum diskusinya, berdialog dan sampaikan aspirasi sesuai dengan jalur yang elegan. Jika harus turun ke jalan, pastikan bukan karena emosional tapi murni ingin mencari keadilan.
Maka bersuaralah tanpa mencaci maki dan menghina, tapi kongkrit bertemu dengan para anggota dewan yang akan memberikan audiensi untuk menyerap aspirasi agar bisa menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Biarkan kali ini politisi, tim hukum dan para anggota dewan yang bergerak dan rakyat ikut dukung saja dengan doa, surat terbuka maupun petisi.
Masyarakat harus menyadari dan mengedepankan sila ketiga Pancasila dan membiarkan mekanisme sila keempat yang menyelesaikan. Rakyat jangan lagi dilelahkan dengan emosi yang membuat produktivitas menurun. Yang kecenderungannya malah berbenturan dengan sesama anak bangsa.
Jangan berfikir rakyat patriot adalah orang-orang yang memperjuangkan kemenangan paslon dan menumbangkan lawan. Karena rakyat yang membela lawan dari paslonnya juga akan berfikir sama, yang akhirnya akan dibenturkan.
Ada juga rakyat yang apatis, apriori,bahkan sudah di titik muak dengan kondisi perpolitikan dan cara berdemokrasi seperti ini. Angka golput pemilu 2024 diperkirakan antara 18%-20%. Belum lagi rakyat yang bersikap masa bodoh. Usai nyoblos, ya udah, kita kerja lagi.
Jadi variabel masyarakat kita ini banyak tidak bisa kita merendahkan satu dengan yang lainnya. Merasa lebih karena menjadi rakyat yang membela paslon adalah patriot dan yang justru sebenarnya bukan patriot.
Padahal paslon juga menginginkan kekuasaan yang mekanismenya diatur oleh undang-undang. Sehingga setiap kebijakan pasti berdasarkan undang-undang yang dibuat dan undang undang tersebut akan disesuaikan lagi dengan kebutuhan penguasa yang seharusnya memang untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Saya berharap kita belajar banyak dari pemilu 2019 dan 2024 ini kedepannya. Agar pihak-pihak yang menikmati politik emosi ini kedepannya tidak akan laku jika kita semua menjadi cerdas, faham sistem, paham strategi dan paham bahwa rasionalitas dan independensi dalam memilih pemimpin menjadi tuntunan ke depan dalam memilih.
Semoga keterbelahan ini segera berakhir, tanpa ada rasa sakit hati dan dendam yang berkelanjutan. Karena apapun polemiknya, jangan lagi rakyat yang harus menanggung bebannya di kemudian hari. Cukuplah setelah kita memilih maka ikut memantau jika ada temuan kecurangan pahami mekanisme pelaporan dan bagaimana undang undang untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bergeraklah sistematis, efektif dan efisien. (penulis adalah wartawan satuindonesia.co)